"Aku harus bergegas menyusul mereka, sepertinya mereka semua mencariku. Harusnya aku tidak pergi ke hutan tadi," gumam Ella. Ia segera mengambil kerudungnya dan pergi. Saat langkah kakinya sudah hampir sampai di jembatan, ia melihat keharmonisan keluarga bahagia yang sudah lama ia dambakan. Tanpa ia sadari juga, air matanya mengalir. "Ternyata mereka semua bersenang-senang dan sama sekali tidak memikirkan aku. Padahal aku sangat mengkhawatirkan mereka ...," gumamnya yang langsung berbalik pulang ke rumah.
Air matanya mengalir semakin deras bersamaan dengan salju turun yang semakin lama, semakin deras. "Andaikan saja aku tidak pergi keluar rumah, pasti juga aku tidak akan terluka seperti ini. Aku pikir diriku dan ayah akan bahagia dengan lembaran baru, ternyata tidaklah berjalan sesuai yang diharapkan. Seharusnya juga aku tidak membuat ayah marah. Lalu mengapa ibu mengadukan hal kebohongan, jika ia sudah melihat yang terjadi padaku?"
Orang-orang yang berlalu lalang bahkan yang memperhatikan Ella tidak sama sekali peduli atau menanyakan apa yang terjadi padanya. Ella terus berlari, mencoba berpikir positif. "Mungkin ini semua adalah ujian, akunya saja yang belum terbiasa menghadapi ini semua. Mungkin mereka tahu bahwa aku sedang sedih, jadi mereka tidak mau menggangguku. Bukankah jika aku mau pergi kemanapun, harus beritahu ayah. Jika tidak memberitahunya, pasti dia sangat khawatir. Tapi ini tidak khawatir sama sekali ...."
Saking derasnya salju yang turun, pandangan Ella sangat terganggu. Hingga menabrak dada bidang besar seseorang. "Ahh, maafkan saya ...," kata Ella dengan kepala tertunduk dan buru-buru pergi. Namun tangannya ditahan oleh orang itu. "Ada apa denganmu? Mengapa nada bicaramu bergetar? Apa kamu sedang menangis?"
Suara dari pertanyaan seseorang itu terdengar sangat familiar sekali di telinga Ella. Ella menatap orang itu dengan pandangan samar-samar terhalang butiran salju bercampur dengan kondisi tubuh Ella yang tidak mendukung seusai pulang dari hutan tadi. Ella pun ambruk tepat di pelukan orang tersebut. Orang itu adalah Xavier. "Ada apa dengan dia? Suhu tubuhnya juga sangat panas, aku harus segera membawanya pulang ke rumah." Xavier pun berlari menerobos badai salju tersebut. "Sepertinya dia sempat menangis sebelum pingsan. Tapi menangis gara-gara apa lagi?"
Mereka berdua pun sampai di rumah Ella. Xavier pun menurunkan Ella di tempat tidur dan bergegas mencari obat. "Kira-kira dimana dia meletakkan obat? Seandainya ini rumahku sendiri, pasti aku sudah dari tadi menemukannya. Dimana ya ...." Xavier membuka semua laci dan lemari di rumah itu dan akhirnya menemukan kotak berisikan obat. Dengan gesit pula ia mengambil sebuah baskom berisi air dan kain bersih untuk mengompres Ella.
"Ayo bangunlah," gumam Xavier yang meletakkan sebuah kain basah di kening Ella. Badai salju semakin lebat, Xavier pun tersadar, karena sedari tadi ia tidak melihat anggota keluarga Ella. "Lah? Mereka semua kemana? Ini Ella juga, lagi sakit tapi malah keluyuran, menyusahkan ...."
Manik mata cokelat itu mulai melirik kesana kemari. "K-kamu? Apa yang terjadi denganku? Apa mereka semua sudah pulang? Kamu harus bergegas pergi. Jangan sampai mereka melihatmu, aku tidak ingin menambah masalah lagi," rocos Ella.
"Sssttt ... Tenanglah, mereka belum pulang, sedang badai salju ini. Paling mereka masih berteduh entah dimana. Kamu pingsan tadi, ini minum obatnya." Xavier menyodorkan obat dan segelas air minum. Ella terdiam, air matanya kembali mengalir, karena kembali teringat dengan apa yang ia lihat sebelum pandangan matanya gelap. Xavier bukanlah orang yang gampang merasakan rasa iba. Tapi untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasakan rasa iba. Tangannya tergerak sendiri dan menyeka air mata itu. Ella yang sadar, menghapus air matanya dengan kasar. "Ada apa? Katakan padaku? Siapa tahu aku bisa membantumu?" tanya Xavier.
"Tidak, tidak ada apa-apa. Ini masalah pribadi, aku sedang tidak ingin berbagi cerita ...," kata Ella lirih. Ia meneguk habis obat dan segelas air itu. Xavier mengangguk mengerti dan memberikan waktu kepada Ella untuk menenangkan diri. "Diriku benar-benar aneh, aku tidak punya rasa iba juga belas kasih, terlebih lagi rasa khawatir. Wanita ini benar-benar membawa pengaruh yang cukup besar untukku. Apakah dia seorang penyihir? Atau memakai sesuatu untuk memikatku? Aku tidak boleh terlalu terbuka dengan wanita satu ini. Karena dampaknya juga akan sangat besar untukku," gumam Xavier.
Xavier memutuskan untuk segera pulang daripada dicari oleh ibunya yang super cerewet. "Aku pulang dulu, jaga dirimu baik-baik."
"Ya, pasti ...." Xavier berjalan mendekati pintu kamar Ella. "Tunggu." Xavier berbalik lagi dengan satu alis terangkat. "Terima kasih." Dirinya tidak merespon apapun dan kembali berjalan meninggalkan rumah Ella.
***
"Terima kasih."
Kata itu terus sangat terngiang-ngiang di dalam kepala Xavier. Singkat tapi membuat orang jadi gila. Sampainya ia di rumah mewah, sang ibu pun menghampirinya. "Dari mana saja kamu? Badai salju di luar sangat luarbiasa derasnya. Harusnya kamu pulang lebih awal Xavier ...."
"Iya ibu, maafkan aku. Ada beberapa hal yang membuatku kesal tadi dan aku juga sempat berteduh sejenak."
"Hah ... Sekarang kamu bersihkan dirimu. Ibu akan minta para maid menghangatkan kembali makanan untukmu."
"Baiklah ibu." Xavier berjalan menuju kamarnya, cukup susah menghadapi orang seperti ibunya itu. Tapi lebih sulit menghadapi Ella. Ia masih saja teringat dengan Ella. Bahkan ketika sedang menyantap makan malam, ia terlihat seperti orang linglung. Sang ibu yang mencurigai gerak-geriknya, mulai menduga-duga ini dan itu. Sampai akhirnya Xavier terbaring di atas tempat tidur mewah dan empuk. "Aduhhh ... Aku ingin tidur dengan tenang. Mulai besok aku tidak akan pergi ke hutan itu lagi dan aku harus menghindari mulai besok. Dia seperti hantu! Hantu yang menghantui pikiranku!" teriak Xavier. Yang suaranya di dengar oleh sang ibu.
"Hah ... Ada-ada saja ini kelakuan anak. Jangan-jangan ia bertemu dengan wanita? Atau dia lagi menyukai seseorang ya. Wah, kayaknya akan ada anggota keluarga baru nanti ...," gumam sang ibu senang.
***
Ella masih mengingat jelas dengan apa yang dilakukan oleh Xavier. Perhatian dan kelembutannya membuat Ella melihat sisi kehangatan dari tampang dingin misterius rupawan itu. Tidak lama, terdengar suara ketukan pintu. "Ah itu pasti mereka." Ella berlari membukakan pintu dan benar, itu adalah mereka. Ella menyambutnya dengan ramah. Namun sayang, ia seakan tidak dianggap sama sekali. Mereka semua masuk begitu saja. Terlebih lagi Ferand, yang tidak mengatakan sepatah kata pun pada Ella. "Apa ayah masih marah ya padaku? Bagaimana caranya aku menjelaskannya lagi. Pasti ia tidak akan percaya juga."
Dengan hati tercabik-cabik, Ella kembali ke kamarnya dan memutuskan untuk kembali istirahat. "Aku harap besok, ayah tidak akan marah lagi denganku," gumamnya dalam doa.