Selesai mengurusi orang-orang yang bertanya-tanya pada mereka. Mereka pun akhirnya pulang, tapi pulang ke rumah May. Ferand sudah menyewa beberapa orang untuk mengangkut barang-barang dari rumah May ke rumah Ferand. "Hah ... Ada-ada saja orang-orang ini, selalu saja sibuk ingin mengurusi masalah orang lain," kata Ferand yang terduduk di kursi sembari memijat pelipisnya. May pun merangkul pundaknya, "Sudahlah Ferand, mungkin sebaiknya kita tidak bisa bersama. Batalkan saja pernikahan kita ... Aku kan sudah bilang dari awal, ini akan jadi hal buruk untuk kamu." Ferand menatapnya sendu, sebelah tangannya pun menyentuh rambut panjang hitam milik May. "Tidak May, aku ingin bersama kamu ... Kita pasti bisa menghadapi semua ini. Percayalah sama aku."
May hanya mengangguk, memberikan senyuman manis. "Gampang sekali menarik hatinya, dari kata-katanya dia sudah pasti. Rasanya tidak akan sabar menunggu hari itu." Barang-barang milik May selesai dipindahkan, mulai hari ini May akan tinggal di rumah Ferand, begitu juga dengan Alana. "Maaf ya Ella, apakah kamu mau berbagi kamar dengan Alana?" tanya Ferand, soalnya di rumah itu hanya saja 2 kamar saja. Tanpa lama-lama berpikir, Ella mengangguk kepalanya dan mengajak Alana ke kamarnya.
"Senang sekali mereka berdua semakin dekat, layaknya saudara kandung," kata May.
"Ya begitulah, setidaknya Ella tidak kesepian karena sudah ada Alana disini sebagai kakaknya sekaligus temannya ...." Keesokan harinya, orang-orang banyak berdatangan ke rumah untuk membantu Ferand dan May yang akan menjalankan pernikahannya besok. Walaupun sebagian dari mereka tidak suka, mau tidak mau, terpaksa juga ikut membantu. Dekorasi rumah dipasang satu persatu, ada pita bahkan ada bunga-bunga yang belum sempat dirangkai. "Undangan ini untuk Raja Felix, tolong kamu kirimkan ya," pinta Ferand kepada seorang pengantar surat.
Di negeri tempat Ella tinggal, ada seorang raja yang memimpin dengan penuh kebijaksanaan. Sampai-sampai, semua rakyatnya makmur dan tidak pernah berkekurangan. Konon katanya juga, sang raja memiliki seorang putra, yaitu pangeran yang sangat tampan, yang nantinya akan naik tahta menjadi pengganti sang raja. Namun sampai sekarang, orang tidak tahu bagaimana rupa sang pangeran tersebut. Bahkan ia tidak pernah terlihat ketika bersama ayahnya atau hadir dalam acara tertentu bahkan acara penting sekalipun.
"Apakah raja Felix akan datang, ayah?" tanya Ella.
"Ya, dia akan datang. Ayah baru saja mengirimkan undangannya. Ayah pergi dulu ya, untuk mengambil kue."
"Baiklah ayah." Ella pun tidak tahu harus mengerjakan apa sekarang, karena orang-orang disini juga sibuk membersihkan dan menata isi rumahnya. Ia lalu pergi ke dapur untuk meminum segelas air. Burung hantu yang sempat ia obati kemarin pun datang dan hinggap di tempat yang sama. "Ada perlu apa kamu datang kesini, teman?"
Ella mencoba mengelus bulu burung itu, tapi ia langsung pergi begitu saja. "Eh, tunggu ...." Ia bergegas keluar rumah, mengejar kemana terbangnya burung hantu tersebut. Saat Ella melihatnya, ia merasa ada sesuatu yang aneh dengan burung itu, seperti ingin memberitahu sesuatu, tapi apa? Ella berlari semakin jauh dari tempat tinggalnya, ia berlari masuk menerobos hutan dan akhirnya burung hantu itu berhenti di sebuah pohon dengan seseorang berpakaian serba hitam duduk di dekat pohon tersebut dengan posisi membelakangi. "Mau apa kamu mengejar burung hantuku?" tanya orang itu.
"Aku hanya penasaran, kemana larinya burung hantu itu, tuan ...," jawab Ella yang sedikit demi sedikit berjalan mundur. Perasaannya tidak enak, apalagi mendengar pertanyaan nada dingin seperti tadi. "Katakan dulu siapa namamu?"
"Namaku Ella, Ella Althea ...."
"Baik, aku akan ingat baik-baik siapa namamu. Cepat pergilah, jangan sampai aku berbalik melihatmu." Bukan berbalik, rasa ingin lari dari tempatnya berpijak sekarang itu hilang. Dari nada bicara orang itu, terkesan bahwa ia sedang menahan sesuatu. "Apa dia sedang sakit? Sepertinya dia membutuhkan pertolonganku," gumam Ella. Ia kembali mendekatkan diri kepada orang misterius tersebut.
"Aku bilang cepat pergi, jangan sampai aku berbalik melihatmu. Kamu akan menyesal jika semakin mendekat kesini." Ancam itu membuat Ella takut, tapi tekadnya ingin semakin dekat. "Apa kami butuh bantuan? Kamu sepertinya sedang menahan sesuatu, katakan padaku. Barangkali aku bisa membantumu ...."
"Jangan mendekat!"
"Tidak, aku tahu kamu pasti sedang butuh bantuan. Aku akan membantumu." Hanya tinggal 3 langkah lagi, orang itu pun berbalik dan membuka kerudung hitamnya. Orang itu langsung memegang kedua bahu Ella dan membenturkannya ke pohon dekatnya. "Kamu mau apa hah?"
"Ouch ... A-aku hanya ingin menolongmu," jawab Ella menahan nyeri di punggungnya.
"Mengadulah ke semua orang disana, biar mereka tahu yang kamu lihat ini adalah monster!"
"Monster? Kamu terlihat seperti manusia normal. Hanya saja ada luka di tanganmu itu ...." Orang itu melepaskan cengkeramannya dari kedua bahu Ella. Ia sedikit heran, mengapa Ella tidak terkejut atau takut dengan wujudnya. "Ada apa?" tanya Ella lagi.
"Sudahlah, jangan berisik! Aku harus pergi sekarang."
"Baiklah ...." Ella memutarkan tubuhnya dan berjalan pulang ke rumah, setidaknya ia memiliki daya ingat cukup cepat, jadi bisa mengurangi resiko tersesat, jika ia berada di dalam hutan. Begitu juga dengan pria berpakaian serba hitam itu, sedang berpikir-pikir dengan apa yang terjadi dengannya dan ada apa dengan wanita tadi yang bernama Ella. "Bisa-bisanya dia datang kesini karena mengejar burung hantuku, ada yang tidak beres."
***
"Kamu dari mana saja Ella? Ayah khawatir denganmu. Harusnya sebelum pergi, kamu beritahu orang dulu ya ...," kata Ferand sambil memeluk Ella.
"Aku dari belakang rumah ayah, aku melihat kelinci, jadi aku pergi melihatnya," bohong Ella.
"Iya. lain kali jangab begini lagi ya." Ferand serasa sedang dihantui oleh masa lalunya, saat melihat Ella tidak ada di rumah dan pergi entah kemana. Ia tidak mau jika harus kehilangan Ella, apalagi ia sudah kehilangan sosok istrinya karena ia terlambat dan tidak peduli ketika kejadian itu. "Maafkan Ella, ayah. Ella akan memberitahu ayah jika Ella ingin pergi kemana pun."
Di dalam kamar, Ella sibuk melakukan rutinitasnya yaitu melipat pakaian. Ia masih teringat dengan sosok seorang pria tampan berpakaian serba hitam itu. Pria itu kelihatan tidak asing sekali. "Apa itu orang yang sempat aku tabrak tadi siang dan kemarin lalu ya? Dia mirip sekali dengan orang itu, namanya siapa ya ...," gumam Ella.
"Eh kenapa melamun Ella? Sedang memikirkan apa?" tanya Alana, yang sedang berakting pura-pura akrab.
"Oh, hanya memikirkan kegiatan apa yang harus aku lakukan besok, itu saja kak. Oh iya, terima kasih banyak ya kak, karena sudah mau menjadi bagian dan menerima Ella sebagai adik kakak Alana. Ella senang sekali ...."
"Iya Ella, terima kasih juga karena sudah mau menerimaku disini." Keduanya saling berpelukan dan kembali ke tempat tidur masing-masing. "Aneh sekali ...," gumam Ella yang masih mengingat pria tadi.