Chereads / Blue Aloe / Chapter 13 - Bab 12

Chapter 13 - Bab 12

Pukul 22.15

"Libur?!"

Aku terkejut. Aku juga bertanya-tanya. Apa yang disampaikannya barusaja membuatku merasa tidak nyaman.

Entahlah… aku tidak mengerti juga mengapa Billy bisa mengungkapkannya dengan mudah. Tidak semudah aku yang harus mengorbankan waktu dan tenagaku malam ini. Termasuk adrenalin yang hampir mempertaruhkan nyawaku.

"Mari sebut saja seperti itu." Dia meneguk satu gelas kecil vodka. "Tuan tidak pernah mengizinkanku minum di saat aku bekerja." Billy menaikan alis sebelahnya sambil tersenyum. Kemudian dia memanggil pelayan bar untuk meminta tambah.

Billy membawaku ke sebuah bar yang sangat mewah di sebuah hotel yang dekat dengan area JRT. Tempat ini adalah tempat yang bukan seharusnya aku datangi. Aku masih kurang tua saja berada di tempat ini.

"Apa yang akan kau lakukan?" tanyaku sambil memutar-mutar gelas kristalku. Aku cukup beruntung bahwa aku ditraktir Billy minum setelah keborosanku tadi malam.

Tidak hanya aku, kelima bawahannya juga ditraktirnya malam ini. Mereka semua sekarang sedang berpencar dan berenang-senang dengan cara mereka masing-masing.

Seorang pelayan manusia datang dan menuangkan minuman ke gelas Billy. Di saat itulah dia menjawab.

"Tentu saja aku akan kembali ke Kalimantan."

"Kukira kau akan pergi ke suatu tempat untuk berlibur."

"Hey." Billy sedikit menyelaku. "Tempat ini dapat disebut sebagai tempat untuk berlibur. Di rumah juga tidak buruk."

Hal yang selalu membuatku takjub adalah Billy dan anak buahnya yang selalu menyebut Reccon Palace sebagai rumah. Itu seperti mereka sudah begitu nyaman tinggal di sana. Dan bagiku, Reccon Palace tetap menjadi tempat untuk pelarianku jika ada nenek sihir di rumah.

"Apa yang akan kau lakukan tanpanya?" tiba-tiba pertanyaan itu keluar dari mulut Billy. "Kau menjadi anak yang tiba-tiba tidak menyukai pergaulan. Biasanya anak-anak seumuranmu, yang sama-sama kaya juga, pasti menghabiskan waktunya untuk berpesta tiap minggunya. Aku memikirkan bagaimana nonaku bisa mengikuti hal-hal gila itu."

Kurasa Billy mulai sedikit mabuk dan membual sendirian. Tapi itu tidaklah buruk karena dia akhirnya bisa sedikit lebih terbuka.

"Dia tidak terbiasa dengan kehidupan anak muda seusianya yang harus bersenang-senang dengan uang itu. Dia harus hidup terisolasi dan mandiri. Dasar. Bagaimana tuan bisa sebegitu teganya dengan putrinya. Bahkan semangat untuk melakukannya saja menjadi tidak tertanam padanya."

Apa yang dikatakan oleh Billy itu benar. Kelly memang tidak pernah bergaul dengan orang-orang yang seusianya, sehingga dia tidak pandai bergaul. Dia hanya bisa mengatakan teman kepada dua orang saja di sekolah: aku dan Lina. Itupun, aku dan Kelly harus memiliki drama sendiri sehingga kami bisa sedekat itu—hingga sekarang makin lebih dekat. Dan pada waktu itupun, dia sangat menginginkan teman sehingga membuat dirinya seperti terlihat anak kampungan.

Sedangkan aku? Aku langsung dikurumi oleh banyak orang semuranku karena mereka mengenalku. Aku hanya sebatas iya dan mengikuti arah pertemanan itu yang pada akhirnya berakhir dengan tidak mengenakan. Bukan kenangan yang baik di mana aku pernah menjadi anak yang sangat nakal. Menggodai anak-anak perempuan di sekolah karena nama besarku, bertingkah seperti tuan muda angkuh yang berhak melakukan apapun, dan seperti apa kata Billy, berpesta dengan teman-teman di hotel bintang lima. Itu semua kenangan yang pahit. Hingga akhirnya aku tertampar oleh Kelly karena aku mencoba untuk melecehkannya.

Awalnya itu hanya taruhan dengan teman-temanku. Ternyata pada akhirnya, aku harus memberikan taruhan nyawa saat bermain-main dengannya.

Sejak bersama Kelly, aku mencoba untuk menolak ajakan tersebut. Tidak sedikit yang mengajakku untuk mengobrol dan nongkrong bersama. Namun aku menolaknya seakan-akan waktu kosongku hanya kuserahkan kepada Kelly. Semuanya.

Hingga aku sadar setelah menghilangnya Kelly dan Billy menyebutnya sebagai liburan, aku menjadi bingung dengan apa yang akan kulakukan. Dia memang tidak pernah menghilang selama itu, dan Kelly juga lebih sering menghabiskan waktu di Jakarta selama dua tahun ini. Kami hanya berpiah selama beberapa hari, itupun aku yang memiliki kesibukan di luar.

Otakku menyuruhku untuk melakukan banyak hal untuk mengurangi overthinking tentang Kelly. Dan itupun terasa hampir tidak mungkin. Bahkan kejadian malam tadi masih teriang-iang di dalam kepalaku.

Kuteguk akhirnya minumanku. Ini bukan pertama kalinya aku minum minuman berakohol. Aku sudah sering meminumnya sejak SMA. Tapi aku harus menghindari mabuk untuk perjalanan aman ke apartemenku.

"Hey. Aku bertanya padamu."

"Entahlah."

Billy tiba-tiba menatapku dalam-dalam. Dia memasang ekspresi datar sehingga aku tidak bisa menebaknya.

"Kau tahu, tuan tidak melarang kau untuk bergaul sebenarnya. Dan tuan juga tidak ingin mengganggu kehidupanmu. Jika kau ingin tahu, tuan melakukan hal ini semua salah satunya agar kau bisa menjalani kehidupan normalmu bersama nona. Itu akan membantunya untuk berteman, kau adalah perantara yang bagus."

Mungkin sekarang bukan itu masalahnya. Aku hanya bisa menjawabnya dalam hati. Fokus Kelly sekarang tidak lagi mencari teman. Dia seperti memiliki tujuannya sendiri yang berhubungan dengan kariernya.

Lalu apa fokusku? Aku hanya menemani Kelly selama ini tanpa memikirkan diriku sendiri. Ini cukup membuatku frustasi.

Lagi-lagi aku meminta tambah.

"Hey. Kau bisa mabuk jika kebanyakan." Billy menghentikan gelasku yang ketiga. Dia mengambilnya dan menjauhkannya dariku.

"Salah satu anak buahku akan mengantarkanmu pulang sekarang." Katanya.

"Kau mengusirku? Tempat ini bahkan bukan milik kakekmu." Cibirku.

Billy tertawa cukup keras hingga membuat kepalaku yang berputar menjadi pusing. "Dasar anak muda. Aku mengajakmu kemari karena ini adalah aset dari kakekku. Yah, aku memang bukan owner-nya, tapi aku masih bisa menikmati tempat ini sesukaku."

"Kau gila? Aset apa?"

Billy memang kacau. Bagaimana bisa orang mabuk sepertinya mengatakan hal yang tidak bermutu. Memangnya aku tidak tahu asal-usulnya? Kelly memberitahuku kalau dia adalah mantan agensi rahasia pemerintah Indonesia. Orang-orang seperti mereka kuyakin adalah orang-orang yang tidak sembarangan memiliki keluarga yang bisa dipertaruhkan. Dan jikapun ada, Billy tidak akan tinggal di Reccon Palace sekarang. Tempat tinggal itu seperti sebuah panti asuhan yang sangat besar untuk orang-orang dewasa yang tidak memiliki keluarga.

Itu sudah menjadi rumor yang beredar di kalangan beberapa perusahaan besar di Kalimantan—mungkin di tempat lain juga. Itu tidak akan mengejutkan jika memang seperti itu yang sebenarnya.

Tiba-tiba Billy menunjuk dadaku dengan jari telunjuknya. Aku menyingkirkannya dengan menyamparnya namun dia kembali menunjuk dadaku. Dia benar-benar mabuk.

"Aset terbesar yang diturunkan."

Setelah menghabiskan gelas ke empat, Billy menghentikanku dan menyuruhku untuk pulang. Dia meminta salah satu bawahannya mengantarkanku pulang dengan mobilku, tapi aku menolaknya karena mobilku bisa auto driving. Aku bsia menggunakan jalur sedang khusus dan sampai ke apartemenku lebih mudah. Selain itu, mereka juga sedang liburan sebentar bukan?

Billy memberitahuku sebelum aku bangkit berdiri. Ini membuatku menjadi sedikit cemas.

"Behave yourself, BJ."

Seperti kata-kata perpisahan darinya, meski untuk seminggu ini.

Aku meninggalkannya di bar hotel dan pergi pulang. Kuhabiskan untuk tidur saat di perjalanan karena kepalaku sudah berputar. Untung saja kali ini aku tidak sampai mual-mual dan mengotori mobilku. Cukup malas membawanya ke tempat pencucian mobil karena baunya yang mengerikan.

Hingga paginya, aku terbangun karena sinar matahari langsung menerpa wajahku dan dengan suara berisik dari ponselku. Sepertinya semalam aku tidak sempat menutup korden sehingga sinar terik ini bisa masuk dan menusuk kedua mataku. Sial. Kepalaku juga terasa sakit. Aku sudah tidak ingat lagi apa yang terjadi denganku setelah meninggalkan hotel dan bagaimana aku bisa kembali ke kamarku.

Apakah aku mual? Itu yang kutakutkan. Jika aku muntah di area apartemen ini, pihak apartemen pasti akan mengirim surat peringatan langsung kepada orang tuaku. Ini buruk. Orang tuaku tidak pernah tahu bahwa aku pernah minum.

Jika bukan karena Billy yang menraktirku, aku pasti bisa menahan diriku untuk tidak minum. Dan mengapa aku juga menerima tawarannya?

Suara ponsel yang menjadi pengiring suara pagi ini sangat mengganggu. Dengan kesal aku bangkit duduk dan mengambilnya lalu menghidupkan layar hologram agar aku tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Trending topic lagi?! Asal suara itu muncul dari banyaknya tag yang diberikan kepadaku di komentar di postingan Ms. JN. Postingan kali ini lebih mengerikan.

*

Possesive GirlFriend

Diupload oleh Ms. JN, pukul 05.30

[Foto BJ saat dia akan masuk ke dalam mobil. BJ mengetahui bahwa foto itu diambil saat dia menjemput Kelly di JFTU setelah dia sampai di Jakarta dua hari yang lalu]

Golongan dari konglomerat yang dibutakan dan dimanfaatkan. Brandon J. bahkan dikabarkan menjauhi banyak orang di JFTU dan menolak semua 'invitation'. Benarkah karena kekasihnya yang posesif? Atau karena memang dia tidak suka bergaul dengan kita? Apakah seleranya yang terlalu rendah?

2247 likes 823 dislikes 3412 comments

*

Tanpa aku harus melihat lebih jauh, aku sudah tahu bahwa semua komen itu berisi tentang hujatan kepada Kelly. Mau dilihat dari sisi manapun, mereka sudah menganggap Kelly sebagai antagonis yang tidak memiliki hak untuk dibela. Masalahnya memang Kelly tidak mememiliki teman yang mengenalnya secara pribadi sehingga inilah yang terjadi. Hanya sangat sedikit—dan hanya bisa dihitung jari—dari semua orang-orang di JFTU yang benar-benar mengenalnya dan hanya bisa diam saja.

Apa yang aku lakukan tentang ini? Aku hanya bisa diam. Pembelaan yang kulakukan akan membuat Kelly dipandang lebih buruk.

Segera aku mematikan notifikasinya. Benda ini akan terus berbunyi seharian jika aku tidak mematikan notifikasinya. Dan aku merasa sangat 'bodo amat' kepada mereka yang memanggilku lewat sosial media kampus.

Tiba-tiba layar hologram di depanku tergantikan oleh sebuah panggilan. Tidak banyak akun yang bisa meneleponku, dan itu hanya orang-orang yang kukenal cukup baik.

Aku mengangkatnya

"Hallo, gimana Son?"

Dia adalah Jason, teman SMA-ku yang juga kuliah di JFTU.

"Lo akhirnya angkat juga!!" dia jelas-jelas berteriak dengan heboh. Kepalaku makin sakit dibuatnya.

Sejak dua tahun pindah ke Jakarta, dia menjadi bersikap lebih ke anak perkotaan Jakarta.

"J, LO HARUS DENGER!"

"STOP TERIAK, B*NGS*T!!" Balasku kesal dengan teriakan juga.

"Lo habis minum ya?! Kebiasaan sih lo marah-marah pagi-pagi kalau habis minum semalem." Dia tertawa. Mungkin ini hiburan baginya.

Konyol.

"Udah! Mau apa sih?"

"Temui gue di kantin G3 pusat nanti saat makan siang."

"Gak. Tadi kamu nyuruh buat dengerin dulu. Apa emangnya?"

"Nanti gue jelasin. Pokoknya, nanti lo harus datang."

Aku memikili feeling tidak enak tentang ini.

"Ya ya… nanti aku datang."

"Oke, bye!"

.

Bab 12

The quarter of a moon I