Chereads / Reach My Star Again / Chapter 4 - Bab 3. Lelah

Chapter 4 - Bab 3. Lelah

Selamat membaca

"Itu ditaruk di sana, Mas," seruku pada kurir pengirim barang yang aku pesan online. Jaman semakin canggih, kita bisa belanja tanpa harus datang ke toko. Tinggal pilih barangnya, barang datang tak lama. Tentu saja aku memilih toko yang sekota denganku supaya tak perlu menunggu lama datangnya.

"Apa-apaan ini Run?" tanya suamiku begitu pulang dari kantor langsung disuguhi aneka barang yang belum beres dirapikan.

"Eh, Mas. Sudah pulang? Capek ya?" tanyaku sok nggak merasa bersalah. Aku ambil tas kerjanya, dan membimbingnya duduk di sofa embuk biar amarahnya ambyar. Dengan senyuman semanis gula aren kupijit tengkuknya yang tegang.

"Eh Mas, tadi aku ketemu sama sekretaris kamu lo pas di salon. Kok dia make kartu kamu sih buat bayar? Mana masih jam kerja pula," aduku berusaha tak menampakkan amarahku.

"Atau kamu nggak tau ya dia pergi? Jangan-jangan dia nyuri kartu kamu, Mas. Bahaya kalau kayak gitu. Pecat aja, Mas," cerocosku lagi, sengaja menggiring opini salah kaprah.

"Eh... Itu... Kamu bener, aku nggak tau kalau dia mangkir di jam kerja. Kalau kartu debitku memang kemarin ada acara kantor, aku suruh dia ambil duit. Aku lupa ambil lagi dari dia." Suamiku bergerak tak nyaman di sofa. Kelihatan sekali bohongnya. Ck, apa selama ini dia selalu bohong sama aku dan aku tak menyadarinya? Mungkin kalau aku tak melihat sendiri perselingkuhan suamiku, aku akan tetap jadi istri yang dibohongi. Miris sekali hidupku.

"Gitu ya? Kok bisa sih Mas, kamu nggak nyariin sekretaris kamu. Dia kan lama di salonnya?" cecarku dengan nada tak percaya. Huuuh, kuhela nafas panjang agar emosiku mereda. Sungguh, bersikap baik-baik saja kala mendapati perselingkuhan suami itu sungguh menyiksa. Kayak berusaha duduk diam padahal pantat berbisul besar dan bernanah siap meledak kalau sedikit saja tergencet atau salah atur posisi. Huuuh, pingin makan orang rasanya.

"Aku lagi ada meeting sama klien, Sayang," sanggahnya berusaha berkelit. Namun dia salah pilih lawan.

Aku memicing penuh selidik. "Tumben meeting-nya nggak sama sekretaris? Enak banget ya Mas jadi sekretaris kamu, mau aku gantiin dia," ujarku dengan senyuman mengembang.

"Ya sekali-sekali nggak pake sekretaris kan nggak papa, kasihan dia capek habis aku ajak lembur beberapa hari yang lalu," belanya. Aku mengumpat dalam hati, "iya, kamu aja lembur di atas ranjang bergoyang."

"Oh pantesan waktu itu kamu pulangnya pagi, harusnya nggak usah pulang sekalian, Mas. Kamu pasti capek kerja keras. Nanti kamu bisa minta aku bawain pakaian ganti aja."

Iya kerja keras main kuda-kudaan. Dan smakdown-an.

Miris, di kala aku disibukkan dengan rengekan ketiga anakku yang bertanya, "kok Papa belum pulang, Mom?" suamiku malah lagi asik skidipapap.

"Papa," sapa ketiga buah hatiku yang baru pulang diantar ibuku. Kini aku berusaha menampilkan senyuman terbaikku di depan ketiga anakku dan juga ibuku. Ketiganya menghambur dalam pelukan suamiku. Ini yang membuatku berat memutuskan langkahku kelak. Bagaimana aku merampas hak mereka untuk mendapat kasih sayang dari ayah mereka. Namun untuk tetap bertahan dan berpura-pura tak ada masalah itu bukan hal yang mudah bagiku. Tak akan pernah mudah.

"Hei sayangnya Papa," seru suamiku terkesan berlebihan. Aku memicing sinis. Apa kamu pikir bisa berkelit selamanya? Tunggu saja, pembalasan istri yang terluka.

Ketiga buah hatiku masih setia memeluk ayah mereka yang lama tak mereka temui. Entah sejak kapan, aku malas menghitung berapa malam aku menunggu kehadirannya dari kantor. Dia datang saat kantuk tak bisa lagi kutahan. Bahkan seringkali aku sudah terlelap begitupun ketiga putra putriku. Bisa dikatakan hanya weekend saja mereka bisa bertemu dan bermanja dengan ayah mereka. Namun, seringkali dengan alasan pekerjaan dia pergi bahkan saat weekend.

"Lo Run, itu barang apa aja?" tanya ibuku dengan tatapan mengarah ke barang hasil jarahan dari kartu debit suamiku.

"Oh, ini alat kebugaran Bu," sahutku riang.

"Kok tumben kamu beli barang ginian?" telisik ibuku penasaran.

"Runa mau langsing lagi, Bu. Takutnya Mas Herman nanti kepincut sekretarisnya yang sexy. Kan bahaya Bu. Kasihan anak-anak kalau kami pisah."

"Sembarangan kamu ngomongin pisah segala. Nggak baik, Run," tegur ibuku. Aku hanya bisa menunduk sedih mengingat badai yang memang sudah menghempas biduk rumah tangga kami.

"Istighfar—nyebut, Run! Lagian ya, suamimu pastinya bukan lelaki picik yang melihat fisik saja. Kamu bisa seperti sekarang karena kamu melahirkan ketiga anaknya. Kamu merawat dan membesarkan ketiganya dengan tangan kamu sendiri. Dan untuk itu harusnya suamimu bersyukur. Lihat katiganya sehat, pintar. Ibu dan bapak sendiri bangga sama kamu Run. Masak suami kamu enggak?"

"Iya kan, Nak Her?" taya ibuku langsung menatap tajam suamiku.

"Tentu aja, Bu." Lelaki itu tersenyum kaku.

"Ingat ya, Nak Her. Janji kamu saat melamar Aruna. Sampai kamu mengingkarinya Ibu doakan kamu impoten selamanya!"

Suamiku memucat mendengar ucapanibuku.

"Ibu ini, kan tadi Runa nggak ada bilang kalau Mas Her selingkuh. Runa cuma bilang pingin langsing lagi supaya suami nggak nyari lainnya."

"Lagian ya Bu. Mas Her mana berani selingkuh. Bisa Runa babat habis otongnya kalau berani," ucapku sambil memperagakan tangan kanan bak pisau yang mengiris tangan kiriku. Seakan aku akan mengiris sesuatu, suamik nampak begidik ngeri melihatnya. Mungkin dia membayangkan aku benar-benar memotong sesuatu di antara pangkal pahanya. Ngilu ya Mas.

"Tapi alat itu kan mahal Run," ucap ibuku lagi, pandangannya kembali ke beberapa alat yang masih teronggok di lantai begitu saja. Semua orang yang mengantar sudah pergi.

"Iya Bu, Runa tahu. Tapi menyenangkan suami juga kan pahala Bu." Aku mendesah dalam hati, kenapa ibuku mendadak cerewet sekali.

"Iya kamu bener, Ibu pulang dulu ya. Nanti ayah kamu kangen," ucap Ibu dengan senyum tiga jarinya. Aku iri sama Ibu, Ayah sangat mencintai, dan menghormati Ibu. Berbeda sekali dengan suamiku. Yang berani main belakang. Uhh, ingin ku mengumpatinya. Memberondongnya dengan sejuta tanya yang siap kusemburkan di depan wajahnya. Apalagi melihat wajahnya yang sok jadi suami idaman. Menjijikkan. Munafik.

Sepulangnya Ibu, aku langsung mendekat padanya. Menyerahkan teh hangat yang sudah kuseduhkan sedari tadi. Dia menerimanya dengan senyuman di bibirnya yang dulu jadi canduku. Namun, kini berbeda. Membayangkan bibir itu sudah mencium dan mencumbu wanita lain membuatku bergidik jijik.

"Mobilnya kapan datang, Mas?" tanyaku lembut, dan jangan lupakan senyuman paling manis andalanku. Semoga masih bisa membuat diabetes.

"Mo... Mobil ya? Mas belum sempet ke dealer," ujarnya serba salah.

"Ya udah besok Runa sama Karin aja deh yang pergi ke dealer," sahutku riang. Tak kuhiraukan muka Mas Hendra yang mendadak mendung. Makanya, punya satu istri aja belum bisa ngebahagiain sudah berani main hati. Kicep kan?

Degan ragu dia mengangguk. Aku memekik senang.

"Mas baik banget sumpah," sahutku ingin menghambur memeluknya. Namun, sekelabat bayangan perselingkuhanya mendadak langkahku berenti. Senyuman yang sedari tadi setia terpasang di wajah mendadak hilang. Aku kecewa.

"Lo nggak jadi peluk?" godanya. Biasanya aku pasti sudah merona mendengar godaannya, kini yang ada hanya lara dan senyuman masam.

"Nggak mau, bau parfum cewek," ujarku memilih berlalu dari hadapannya. Aku bergerak menuju hasil jarahanku hari ini. Ini belum seberapa Mas. Siap-siaplah menggelandang.

Bersambung

Bakal aku lanjut kalau respon bagus.

Komen next aja juga nggak papa. Makasih cinta😍