Selamat membaca
Nampak mobil Pajero berwarna hitam memasuki pelataran sebuah rumah. Semangatnya membara. Bayangan hidup berumah tangga dengan Imelda dan anak mereka kelak membuat semangat di dada Herman membara. Ibarat kata kalau di game, tenaganya sudah full siap melawan para monster yang menghadang. Dan dibayangannya kali ini, dia akan melawan induk gajah. Herman sudah merancang setiap langkah yang akan dia terapkan dalm misi menaklukkan sang monster alias istrinya sendiri. Mengambil kembali harta berharganya lalu menceraikan Aruna secepatnya. Itulah rencana cerdiknya. Anak dalam kandungan Imelda tak bisa menunggu lebih lama lagi. Dia tidak mau anaknya dilabeli 'anak haram'.
Setelah dia sampai di depan pintu rumahnya dia mengernyit bingung karena rumah begitu sepi. Pintunya juga terkunci. Semua jendela terkatup rapat. Seakan tak berpenghuni. Kemana istri dan ketiga buah hatinya. Sebulan dia memang tidak pernah pulang dan memblokir nomer telpon istrinya. Apa selama ini mereka baik-baik saja? Ada sejumput rasa khawatir di dadanya atas keselamatan mereka. Bagaimana kalau terjadi sesuatu yang buruk pada keluarganya? Rasa panik kembali memenuhi rongga dadanya. Betapa tak bertanggungjawabnya dirinya sebagai suami dan juga ayah.
Rasa khawatir dan juga penyesalan berubah menjadi amarah kala tanpa sengaja dia melihat palang kayu yang berdiri kokoh di depan halaman rumahnya.
Kenapa saat masuk tadi dia tak melihatnya.
Dia mendekat ke arah palang kayu tersebut. Emosi membakar jiwanya saat matanya menelisik tulisan yang tertera nyata di sana.
'Rumah ini akan dilelang oleh pihak Bank' dan tulisan dan yang kurang menarik perhatiannya. Atensinya berpusat di tulisan tersebut.
"Bagaimana mungkin rumah ini dilelang?" gumamnya tak mengerti.
"Aruna. Ya, wanita itu harus menjelaskan semuanya padaku," geram Herman. Dengan langkah menghentak penuh amarah, dia menuju mobilnya.
Dengan derum yang memekakkan telinga, Herman meninggal pelataran rumah.
🌅🌅🌅
Celoteh anak-anak menyambut kedatangan Herman di kediaman orang tua Aruna. Aruna terlalu mudah ditebak.
Dengan langkah pasti dia memasuki rumah tanpa salam atau ketukan pintu. Sungguh tingkah yang tak patut dicontoh.
"Aruna!" bentaknya kala matanya melihat penampakan sang istri yang baru keluar dari arah dapur. Wajahnya penuh tepung dengan adonan yang masih melekat di kedua telapak tangannya. Herman bisa menerka kalau istrinya habis membuat adonan roti kegemaran ketiga buah hatinya. Donat. Dengan penampilan yang super duper berantakan wanita itu menyapanya yang datang dengan berteriak lantang.
Bagaimana dia dulu begitu tergila-gila pada sosok yang penuh adonan itu? Sampai dia rela dipukul ayah mertuanya. Karena tetap ngotot melamar sang putri dengan hanya berbekal cinta.
Cinta? Benarkah dulu pernah cinta pada wanita itu?
Herman bergidik jijik membayangkannya ketololannya dulu. Untung saja sekarang sudah ada Imelda yang super duper sexy dan wangi.
"Mas, mas kemana aja kok nggak pulang-pulang?" tanya Aruna dengan senyum menghiasi wajahnya. Herman menggeram mengingat istrinya berani menjual rumahnya. Ya, rumahnya. Karena dalam sertifikat tanah tertera namanya sebagai pemiliknya.
Aku tak mau menjawabnya karena ada anak-anak. Seperti mengerti dengan jalan pikiranku Aruna mengajakku ke kamar kami.
"Apa maksudnya rumah kita harus dilelang?" amukku langsung tanpa basa-basi sesaat setelah pintu kamar tertutup.
"Aku kehabisan uang, Mas," cicit Aruna dengan mata mulai menggenang.
"Mas, menghilang selama sebulan. Si bungsu kemarin sempet kena DBD. Aku panik, ya gitu deh. Aku gadaiin aja rumahnya. Habisnya Mas kutelpon nggak bisa-bisa. Kata Karin Mas ngeblokir no aku. Kenapa? Sekarang pulang-pulang Mas bisanya cuma marahin aku," ucap Aruna masih dengan airmata berlinang.
"Lalu uang di kartu aku ke mana semua Run?" raung Herman tak percaya uang di kartunya sampai habis dalam waktu sebulan. Berapa sih biaya rawat inap dan pengobatan DBD? Pikirnya tak percaya. Namun, selama ini Aruna tak pernah berbohong padanya.
"Sebentar ... sebentar ... Kenapa kamu tak ada perubahan? Kemana larinya semua uang aku Run," gerung Herman marah. Bagaimana mungkin dia akan merelakan uang yang dia kumpulakan dengan kerja keras habis begitu saja dalam sebulan.
Herman tak hanya marah. Dia murka tingkat dewa. Kalau nggak ingat di mana kini dia berada. Dan juga kehadiran anak-anaknya, bisa dipastikan dia akan memukul Aruna.
"Maksud Mas apa? Mas pikir aku bohong?" tantang Aruna tak terima.
"Aku udah muak sama kamu Run! Muak! Kita cerai aja," gerung Herman. Ingin rasanya dia menampar pipi Aruna, hingga istrinya itu sadar. Bahwa kehancurannya karena wanita itu. Istrinya.
"Muak? Cerai?" sinis Aruna. Dihapusnya air mata yang entah datangnya dari mana? Meski Aruna sudah mengetahui perselingkuhan suaminya jauh-jauh hari, tapi sesak di dada tak juga bisa hilang. Bahkan kini rasanya Aruna sudah tak tahan lagi.
"Iya! Aku talak kamu!"
Jeder!!! Dan arasy berguncang.
Cerai sejatinya perkara yang halal, tapi dibenci oleh Allah. Oleh karena itu di saat suami menalak istri hingga gugurlah ikatan janji suci antara suami dan istri maka saat itu pula arasy berguncang. Sebisa mungkin, hindari perceraian. Banyak solusi dari setiap masalah. Tak ada satupun makhluk sempurna di dunia ini. Maka, bersyukurlah. Sejatinya dengan bersyukur, yakinlah Allah akan menambah nikmat. Maha benar Allah dengan segala firmanNya.
"Sebulan ini kamu tinggal dengan selingkuhan kamu kan? Kamu lupakan tanggung jawab kamu hanya karena gairah setan kamu." Getir terdengar suara Aruna. Sebisa mungkin wanita beranak tiga itu mencoba untuk tegar. Namun, dia hanyalah manusia biasa. Menangis kala kegetiran hidup tak juga mau pergi.
"Ngaco kamu! Aku mau pisah sama kamu karena sudah bosan dan muak sama kamu. Bukan karena wanita lain," ujarnya berkilah. Aruna tersenyum sinis menanggapinya. Suaminya, terlalu banyak berbohong.
"Aku melihat kamu lagi main kuda-kudaan di kantor kamu sebulan yang lalu, untuk itulah aku merubah perilakuku seperti wanita sosialita yang doyan shoping. Aku ingin membuka mata kamu. Selama enam tahun pernikahan kita, pernahkah aku mengeluh saat kamu belum dapat pekerjaan? Kita makan nasi pake kerupuk saja aku sudah bersyukur. Aku berusaha meringankan bebanmu dengan tidak meminta ini itu. Hingga kita bisa beli rumah dan mobil. Apa kamu pikir itu semua ada karena kerja kerasmu saja? Tidak, Mas. Aku memutar otak aku supaya gaji kamu bisa mencukupi kebutuhan kita sekeluarga. Aku rela tak beli baju baru. Cukup beli kemeja dan celana kamu saja supaya kamu tak malu saat kerja. Aku rela memasak dan memenuhi kebutuhan kamu dan anak-anak sendiri tanpa meminta kamu buat cari pembantu dan bebbysitter. Aku rela nggak datang lagi ke salon meski hanya sekedar potong rambut. Aku rela tak memakai aksesoris atau perhiasan mahal. Karena apa Mas? Karena aku mau kita bisa beli rumah, supaya kita tidak ngontrak lagi. Aku juga pingin kita bisa beli mobil supaya kamu kerja nggak kepanasan dan kehujanan karena make motor. Apa bagimu pengorbananku nggak ada harganya bagimu?"
"Dulu kamu mengemis cinta dariku, melamarku dengan janji akan membahagiakanku. Apa begini caramu ngebahagiain aku, Mas?"
"Jawab, Mas!"
"Pikir! Apa nantinya selingkuhanmu yang penampilannya bak sosialita itu mampu bikin kamu bahagia dan sukses? Enam tahun kita merangkak dari bawah bersama hingga kamu sesukses sekarang. Aku nggak rela jerih payahku dinikmati wanita lain. Sebulan ini aku hidup bak sosialita bukan tanpa sebab Mas. Aku ingin tunjukin ke kamu gaya hidup wanita yang jadi simpanan kamu. Pergi ke salon hampir dua minggu sekali. Pakaiannya harus yang bermerk. Aksesoris dan perhiasannya yang mahal. Make upnya ratusan ribu satu piecesnya, semua barang yang melekat di tubuhnya harus kualitas terbaik. Aku mengikutinya dan lihat uang tabungan kita selama enam tahun langsung habis tak bersisa. Wanita seperti itu ternyata yang ingin kamu perjuangkan. Hingga kamu rela mendepak istri yang setia menemanimu saat kamu susah." Aruna menarik nafas panjang karena dadanya kian sesak. Menyadari perjuangannya berakhir sia-sia.
"Kamu saja yang tidak pandai mengatur uang. Kalau Imelda pasti bisa mengatur uang dengan baik," bela Herman pada selingkuhannya. Aruna berdecih kesal karena dibanding-bandingkan dengan pelakor itu.
Nehi ya. Nggak sudi!
"Baiklah, aku akan tunggu nasibmu setahun lagi. Aku ingin lihat bagaimana pintarnya selingkuhan kamu itu mengatur uang."
Bersambung
Duhh si bambang bikin kesel deh. Apakah nasibmu akan menggelandang???
Bantu kasih like dan komen ya. Jangan lupa follow
Makasih banyak cinta.