Selamat membaca
Tak pernah terpikir dalam anganku, jika pernikahanku dengan Mas Herman akan berakhir di sini. Di pengadilan Agama.
Suamiku tak pernah datang menghadiri sidang perceraian kami. Hanya pengacaranya yang mewakilinya. Bagiku tak masalah. Malah itu bagus untukku. Aku juga malas menatap wajah tukang selingkuh itu.
Kali ini adalah sidang putusan dari pengadilan agama.
Aku datang dengan menggunakan dress warna hitam. Biar semua orang tahu, sekelam apa hatiku.
Aku berdandan natural, dengan penampilan baruku. Aku sudah melepas semua bantalan yang mengganjal tubuhku.
Tak kuperdulikan tatapan bertanya para hakim. Mungkin mereka bingung dengan perubahanku. Tapi apa perduliku???
Apa mereka berpikir aku orang lain??
Kini, Aruna yang baru akan terlahir kembali. Ya Aruna yang mempesona.
Akan kubuat mas Herman menyesal sudah berselingkuh dariku.
Lagi, dia tak hadir di sidang putusan dari hakim.
Sebenarnya apa hukum bagi perceraian yang tidak dihadiri oleh suami?
Pengaturan masalah perkawinan di Indonesia terdapat dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ("UU Perkawinan") danPeraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 ("PP 9/1975") sebagai peraturan pelaksanaannya. Selain itu, untuk yang beragama Islam berlaku pula ketentuan dalam Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam ("KHI").
Dalam hal istri menggugat cerai suaminya, maka yang berkedudukan sebagai penggugat adalah istri dan suami berkedudukan sebagai tergugat. Adapun mengenai persidangan cerai diatur dalamUndang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama ("UU 7/1989") sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 ("UU 3/2006")dan diubah kedua kalinya olehUndang-Undang No. 50 Tahun 2009 ("UU 50/2009").
Sebelum menjawab pertanyaan tadi mengenai ketidakhadiran pihak (baik suami maupun istri) dalam persidangan perceraian, terlebih dahulu kami menyebutkan ketentuan yang harus dipatuhi oleh suami dan istri yang hendak bercerai saat menghadiri sidang perceraian yang terdapat dalamPasal 82 ayat (1) dan (2) UU 7/1989:
(1) Pada sidang pertama pemeriksaan gugatan perceraian, Hakim berusaha mendamaikan kedua pihak.
(2) Dalam sidang perdamaian tersebut, suami istri harus datang secara pribadi, kecuali apabila salah satu pihak bertempat kediaman di luar negeri, dan tidak dapat datang menghadap secara pribadi dapat diwakili oleh kuasanya yang secara khusus dikuasakan untuk itu.
(3) Apabila kedua pihak bertempat kediaman di luar negeri, maka penggugat pada sidang perdamaian tersebut harus menghadap secara pribadi.
(4) Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan."
Masih berkaitan dengan kehadiran suami istri dalam persidangan, pada Pasal 142 ayat (2) KHI juga disebutkan bahwa dalam hal suami istri mewakilkan kepada kuasanya, untuk kepentingan pemeriksaan, Hakim dapat memerintahkan yang bersangkutan untuk hadir sendiri.
Jadi, dari kedua pasal tersebut dapat kita ketahui bahwa memang pada sidang pemeriksaan gugatan perceraian, terutama pada sidang perdamaian, baik suami ataupun istri harus datang secara pribadi. Meskipun keduanya dapat mewakilkan kepada kuasanya, namun untuk kepentingan pemeriksaan, hakim dapat memerintahkan keduanya untuk hadir sendiri.
Selanjutnya, ada ketentuan dalam PP 9/1975 yang membolehkan penggugat atau tergugat untuk tidak hadir dalam persidangan dan mewakilkan dirinya melalui kuasanya, yakni ketentuan dalam Pasal 26 ayat (1) PP 9/1975 yang berbunyi:
"Setiap kali diadakan sidang Pengadilan yang memeriksa gugatan perceraian, baik penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka akan dipanggil untuk menghadiri sidang tersebut."
Selain itu, menurut Pasal 142 ayat (1) KHI, pada sidang pemeriksaan gugatan perceraian suami istri datang sendiri atau mewakilkan kepada kuasanya.
Jadi, dari ketentuan dalam kedua pasal tersebut dapat kita ketahui bahwa pemeriksaan gugatan perceraian tetap bisa dijalankan meskipun suami/istri tidak hadir asalkan telah mewakilkan kepada kuasanya.
Jika yang dimaksudkan adalah suami (sebagai tergugat) sama sekali tidak datang dan juga tidak mewakili sama sekali kepada kuasanya, maka berdasarkan Pasal 125 Herzien Indlandsch Reglement (HIR) (S.1941-44) hakim dapat menjatuhkan putusan verstek.
Putusan verstek adalah putusan yang dijatuhkan apabila tergugat tidak hadir atau tidak juga mewakilkan kepada kuasanya untuk menghadap meskipun ia sudah dipanggil dengan patut. Apabila tergugat tidak mengajukan upaya hukum verzet (perlawanan) terhadap putusan verstek itu, maka putusan tersebut dianggap sebagai putusan yang berkekuatan hukum tetap.
Mengenai status janda ini, kita mengacu pada ketentuan dalam Pasal 34 ayat (2) PP 9/1975, suatu perceraian dianggap terjadi beserta segala akibat-akibatnya terhitung sejak saat pendaftarannya pada daftar pencatatan kantor pencatatan oleh Pegawai Pencatat, kecuali bagi mereka yang beragama Islam terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Kemudian, seperti yang telah kami jelaskan tadi, apabila tergugat tidak hadir dan sama sekali tidak mewakilkan kehadirannya kepada kuasanya, maka hakim dapat menjatuhkan putusan verstek. Apabila putusan verstek tersebut tidak diupayakan banding terhadapnya, maka putusan tersebut dianggap sebagai putusan yang berkekuatan hukum tetap. Dengan demikian, jika memang putusan verstek tersebut dijatuhkan dan tidak diupayakan banding terhadapnya, maka si istri sebagai penggugat memperoleh status jandanya setelah putusan verstek tersebut dijatuhkan oleh hakim.
Putusan hakim akhirnya dibuat secara verstek (tanpa kehadiran tergugat). Bunyi amar putusan tersebut adalah, "Mengabulkan gugatan penggugat secara verstek".
Jadilah aku seorang Janda. Arsh bergetar akibat putusan dari hakim. Namun, inilah yang terbaik buatku dan juga Mas Herman. Biar dia tidak terjebak dalam hubungan perzinaan yang melemparkannya dalam kenistaan.
***
Aruna menatap getir cincin pernikahannya. Dia mengingat kembali kenangan kala pertama kali bertemu dengan suaminya. Eh, mantan suami. Setelah menimangnya Aruna menyimpan cincin itu ke dalam kotak perhiasan. Baginya kini, cincin itu hanya perhiasan biasa bukan lagi benda keramat penanda statusnya.
Mungkin kalian bertanya, kenapa tidak dibuang saja? atau dilempar ke muka Herman sang mantan suami yang rakbalnya kelewatan?
Tidak. Aruna bukanlah tipe melankolis macam itu. Dia orangnya logis. Sayang baginya kalau membuang barang mahal macam cincin pernikahannya. Mending disimpan, buat investasi. Kata Orang, investasi emas kini lagi meroket. Entahlah, Aruna hanya tak mau membuang sesuatu yang masih bernilai. Dan lagi kalau dilempar ke Herman, keenakan si Herman dong. Bisa-bisa dikasihkannya ke selingkuhannya tuh cincin. Aruna ogah.
Kini, dia harus memulai semuanya sedari awal. Dia harus bisa menata hidupnya, demi anak-anak dan keluarganya.
Sudah cukup dirinya menjadi bodoh karena rasa cintanya kepada sang suami, hingga bisa tertipu begitu lama atas perselingkuhan sang suami. Terluka tetapi tak berdarah itulah yang dirasakan oleh Aruna. Akan tetapi, semuanya memang sudah jalan hidup yang harus dia jalani. Ikhlas dan berusaha bangkit itulah kini yang sedang dia upayakan. Sulit, tetapi dia yakin Tuhan pasti akan selalu bersamanya. Dia percaya, Tuhan tak akan menguji Umat-Nya melebihi kesanggupan dari Umat-Nya.
Menata hati dan diri, menjadi Aruna yang baru. Dia sudah lama tak merasa seantusias saat ini.
Bismillah, rapalnya dalam hati.
Bersambung