Suara Satya yang rendah mulai terdengar, "Kenapa nona tidak memakai alas kaki?" Sebenarnya jawaban dari pertanyaan Satya adalah karena Citra malas. Dia hanya mengandalkan karpet di apartemennya, dan jarang memakai sandal rumah, meskipun saat ini sudah masuk awal musim hujan dan cuaca agak dingin.
Citra menatap Satya tanpa menjawab pertanyaannya. Dia tidak melihat perbedaan apa pun di wajah pria itu, bahkan setelah dia melihatnya telanjang tadi. Masih ada perasaan bingung di dalam hati Citra, dia tidak tahu bagaimana harus memperlakukan Satya sekarang. Dengan sedikit salah tingkah, Citra bertanya, "Kamu… Kamu… Kenapa kamu tidak pergi?"
Satya baru saja sadar dari lamunannya dan langsung menjawab dengan acuh tak acuh, "Apa yang terjadi barusan, tolong maafkan saya, nona. Itu salah saya karena tiba-tiba keluar dan masuk tanpa bilang pada nona."
Citra sejujurnya tidak ingin Satya menyebutkan tentang kejadian itu karena dia menganggapnya sebagai sebuah kecelakaan. Bagaimanapun, Citra tidak bisa menyalahkan pria ini karena tadi seharusnya dia menutup pintu.
Citra mendongak, masih menyembunyikan rasa malu, "Kenapa kamu ke kamarku tanpa mengetuk?" Satya menatap wajah kecilnya, dan menjawab dengan tenang, "Saya tadi hendak mengetuk pintu, tapi saya terlanjur melihat nona."
Peraturan utama bagi seorang pengawal pribadi maupun asisten rumah tangga adalah mereka harus mengetuk pintu sebelum memasuki kamar majikannya, terutama kamar tidur majikan perempuan, walaupun pintunya tidak tertutup. Mereka setidaknya harus mengetuk pintu dua kali untuk memastikan bahwa mereka bisa masuk. Hanya saja, jelas tidak ada kesempatan bagi Satya untuk melakukan itu tadi.
Citra memandangi wajahnya yang tampan dan tanpa cela, lalu berkata dengan cepat, "Apa yang terjadi barusan hanyalah sebuah kecelakaan. Aku akan melupakannya, dan kamu harus melupakannya juga." Beberapa detik kemudian, pria itu mengucapkan kata dengan sangat pelan, "Baik."
Ketegangan Citra sedikit memudar, tapi badannya masih terasa panas. Dia tidak berani menatap Satya. Dia memilih untuk menutup matanya dan bergumam, "Oke, kamu bisa kembali, aku akan tidur." Satya melihat wajah cantik Citra di bawah rambut panjangnya, "Nona, Anda lebih baik minum obat flu dulu."
Citra mengerutkan alisnya, "Aku akan meminumnya sendiri setelah kamu pergi." Satya yang sudah mengenal Citra lebih dari siapa pun menjawab, "Tidak, nona pasti tidak akan meminum obat ini jika saya pergi." Benar saja, Citra memang sangat tidak menyukai obat.
Wajah Citra menjadi agak kesal sekarang, "Aku sudah mendapat infus saat di rumah sakit, jadi aku tidak perlu minum obat lagi. Minum terlalu banyak obat flu tidak baik untuk tubuhku. Keadaanku pasti akan menjadi lebih baik setelah dua hari."
Pria itu menjawab dengan suaranya yang dalam dan seksi, "Nona akan mengikuti ujian besok. Saya hanya takut jika nona masuk angin dan tidak bisa mengerjakan soal dengan maksimal. Lebih baik minum obat flu sekarang agar nona bisa tidur nyenyak."
Citra menggigit bibirnya dengan keras dan berkata dengan acuh tak acuh, "Aku akan melakukannya nanti. Lagipula aku belum tentu mengikuti ujian besok. Aku sudah sering melakukannya."
Satya mengingatkannya dengan ringan, "Semua guru di sekolah Anda tahu bahwa Anda telah melewatkan sekolah hampir setengah tahun untuk mengurus pernikahan Anda dengan Tuan Miko. Jika Anda tidak mengikuti ujian besok dan membuat alasan lagi, Anda bisa saja tidak lulus tepat waktu dan harus mengulang tahun depan." Citra tertegun mendengar tanggapan bijak dari Satya.
Selama ini Citra harus syuting film selama berhari-hari dan tidak bisa pergi ke sekolah. Pihak sekolah sebenarnya ingin mencegahnya menjadi bintang besar, tapi dia memiliki ayah yang merupakan seorang walikota. Kabar bahwa Citra tidak akan syuting film dalam waktu dekat adalah sesuatu yang semua orang tahu, jadi tidak ada alasan baginya untuk tidak pergi ke sekolah besok.
Satya hanya berdiri di tempatnya. Dia tidak akan pergi sebelum melihatnya minum obat. Pria ini telah bersamanya selama beberapa tahun, jadi dia bisa memahami karakter Citra. Seseorang pernah memberitahunya bahwa selain dia dan ayahnya, Satya adalah orang yang paling mengenal dan memahaminya. Banyak orang bahkan mengatakan bahwa Satya tidak cocok bekerja sebagai seorang pengawal. Dia terlalu ikut campur urusan pribadi Citra! Apakah ada pengawal yang berani memaksa majikannya minum obat?
Awalnya, Citra sangat menentang pria yang dibayar ayahnya ini untuk mengawasinya dan mengikutinya. Citra sudah melakukan segalanya untuk melawan ayahnya, tetapi pada akhirnya dia memilih untuk menerima Satya dan berdamai dengannya. Citra berjalan ke meja di ruang tamu dan mengambil obat yang Satya letakkan di atasnya. Dia menuangkan segelas air dan langsung menelan obat itu. Saat gelas kosong itu diletakkan, Citra berkata, "Sudah selesai."
Satya mengangkat bahunya sedikit, "Bagus. Rambut nona juga harus dikeringkan sebelum tidur." Melihat keheningan dari Citra, Satya melanjutkan, "Rambut yang basah akan memperburuk kondisi nona." Citra masih berdiri diam.
Satya melangkah maju menuju tempat Citra berdiri dan mengambil pengering rambut, dan menyerahkannya pada Citra. Citra berdiri diam, tidak menjawab. Sepuluh detik kemudian, dia duduk di sofa, kepalanya berbaring di sandaran tangan sofa, dan berkata, "Kamu harus mengeringkan rambutku kalau begitu."
Satya memandang wanita yang kini berbaring tengkurap di sofa. Dia tiba-tiba teringat akan kucingnya yang suka berbaring di sofa dan menunggu seseorang untuk membelai bulunya yang halus.
Setelah beberapa saat, Satya menyalakan pengering rambut itu. Angin hangat bertiup di kulit kepala Citra. Terasa hangat dan nyaman. Apalagi sofanya sangat empuk, sungguh perpaduan yang sempurna. Citra yang sedang tidak enak badan dan lelah, ditambah dengan efek obat flu, langsung mengantuk dalam beberapa menit. Ketika rambutnya benar-benar kering, pria itu mematikan pengering rambut, dan dia sudah tertidur.
Begitu suara pengering rambut berhenti, hanya ada seorang wanita yang bernapas dengan tenang dan teratur di sofa, matanya terpejam.
Satya menatap wajahnya yang berbaring dengan tenang, membungkuk, dan membawanya kembali ke tempat tidur.
Pandangan Satya secara tidak sengaja mengarah ke kaki Citra. Kedua kakinya kecil dan putih. Ketika dia tertidur, jari kakinya juga meringkuk. Satya tiba-tiba mengulurkan tangannya untuk memegang salah satu kaki Citra dengan lembut. Kaki gadis itu terasa dingin, terutama di telapak tangannya yang hangat.
Tiba-tiba Citra mengerang dengan suara pelan. Satya dengan cepat menarik tangannya dan melihat gadis yang ditutupi oleh rambut panjang dengan alis berkerut itu. Citra belum bisa tidur dengan nyenyak, tapi dia juga tidak bisa bangun. Dia bergumam dengan bingung, "Satya." Satya tidak berbicara dan hanya menatap Citra.
Citra berkata dengan suara pelan lagi, "Terima kasih karena selalu ada di sisiku di saat orang lain tidak memperhatikanku."
____
Keesokan paginya, Citra terbangun karena sinar matahari yang menyilaukan. Dia mengerang pelan, lalu melepaskan selimutnya, meregangkan tubuhnya di atas tempat tidur empuk. Setelah beberapa detik, dia tiba-tiba menyadari ada sesuatu yang salah, dan duduk, menatap dirinya sendiri. Sweater dan rok panjang, apakah dia tidur dengan ini semalam?
Ingatan tentang semalam membanjiri pikiran Citra dalam sekejap. Dia segera berjalan keluar dari kamarnya dengan cepat. Begitu pintu kamar terbuka, dia melihat Satya sedang berdiri di depan jendela ruang tamu. Dia berdiri di tengah terpaan cahaya, membuat sosoknya seolah dikelilingi dengan cahaya berwarna emas. Sebuah keindahan dunia yang hanya bisa disaksikan langsung oleh Citra.
Ketika Satya mendengar langkah kaki Citra, dia segera menutup teleponnya dan menatap Citra, "Anda sudah bangun?" Citra segera bertanya karena sangat penasaran, "Apakah kamu datang lebih awal atau menginap di sini tadi malam?"