Citra menoleh untuk melihat Miko yang sedang mengemudi. Dia hanya menjawab, "Jam 11.30, akan ada satu lagi di sore hari, dan itu akan berakhir pada jam empat. Kamu bisa datang dan menjemputku untuk makan malam nanti."
"Baiklah, bagus," jawab Miko.
Mobil Ferrari putih itu melaju dengan cepat dan tenang. Setelah beberapa saat, mereka sudah tiba di depan sekolah Citra. Setelah lama terdiam, Miko merendahkan suaranya dan berkata dengan lembut, "Citra."
"Ada apa?" tanya Citra masih dengan ekspresi datar. Miko menjawab dengan suara yang agak kaku, "Jaga jarak dari Satya."
Citra merasa terkejut, "Apa maksudmu? Aku tidak mengerti. Dia adalah pengawal pribadiku. Bagaimana cara menjaga jarak darinya?" Usai mengatakan itu, Citra teringat bahwa setelah dia menikah, hubungan kerja Satya dengan keluarganya juga akan berakhir.
"Setidaknya, jangan berduaan di kamar yang sama," lanjut Miko.
"Apakah kamu bicara tentang tadi malam? Aku tidak pernah berada di kamar yang sama dengan Satya, tadi malam hanya pengecualian," jawab Citra, lalu dia tersenyum lembut. Dia melanjutkan, "Kalau saja kamu datang menemuiku tadi malam, aku tidak akan membiarkan dia tinggal bersamaku sepanjang malam."
Miko mengerucutkan bibirnya. Beberapa detik kemudian dia berkata dengan lembut, "Ketika aku lewat kamarmu tadi malam, aku melihat bahwa lampu di kamarmu telah mati. Kupikir kamu sudah tidur, jadi aku tidak menemuimu."
Miko membukakan pintu mobil untuk Citra dan mengusap kepalanya, "Ikuti ujian dengan benar dan aku akan datang menjemputmu saat makan malam nanti."
Citra berdiri di gerbang depan gedung sekolahnya, melihat Ferrari putih yang perlahan menghilang dari pandangannya. Tiba-tiba dia berpikir, apakah Miko benar-benar datang tadi malam?
___
Sebelum langit menjadi gelap, Citra menerima telepon dari Miko. Miko memanggil namanya, "Citra." Saat ini Citra sedang berada di restoran dekat sekolah. Dia sedang menikmati makan siang bersama Bening, sahabatnya. Dia mengerutkan kening saat mendengar suara Miko, "Ada apa?"
Pria itu bertanya dengan nada menyelidik, "Aku ingin bertanya, apakah kamu membiarkan kantor polisi membebaskan Yudha?" Citra kebingungan karena tidak tahu siapa yang dimaksud Miko, "Yudha? Maksudmu suami Yulia?"
Miko tidak mengatakan apa pun. Itu artinya dia membenarkan apa yang dikatakan oleh Citra. Citra bisa dengan jelas mendengar napas cepat pria di ujung telepon itu yang memperlihatkan kemarahannya, walaupun Citra tidak bisa melihatnya secara langsung.
Ketika Citra ingin menyangkalnya, dia tiba-tiba teringat apa yang Satya lakukan ketika mereka sedang dalam perjalanan pulang tadi malam. Satya sepertinya menelepon seseorang saat itu, tapi Citra tidak memperhatikannya. "Aku tidak tahu, mungkin Satya yang meminta mereka untuk melepaskan Yudha," jawab Citra sedikit ragu.
Miko mencibir, "Satya membiarkan polisi melepaskan Yudha? Citra, dia melakukan ini tanpa instruksi darimu? Apakah dia mendapat perintah dari ayahmu?" Citra menyeka bibirnya dengan tisu, dan berkata pelan, "Bagaimanapun, Satya itu orangku, dan apa yang dia lakukan tidak berbeda dengan apa yang akan aku lakukan, walaupun dia melakukan ini tanpa perintah dariku."
"Citra." Miko masih tidak terima. Dia menggertakkan gigi, "Mengapa kamu membiarkannya keluar dari penjara?" Citra sebenarnya juga tidak tahu mengapa Satya ingin polisi membebaskan Yudha, orang yang sudah menculiknya. Dia mengerutkan kening dan bertanya dengan lemah, "Apa yang terjadi jika dia dibebaskan? Apakah kamu takut Yulia dipukuli lagi?"
Miko bertanya dengan suara dingin di ujung sana, "Citra, kenapa dalam keadaan seperti ini kamu masih cemburu pada Yulia? Aku hanya khawatir jika dia dibebaskan, maka dia mungkin akan menemuimu dan mencoba memperkosamu lagi. Jika bukan karena teman Satya yang menyelamatkanmu tadi malam, kamu pikir kamu masih bisa bersekolah dan mengikuti ujian hari ini? Jika kamu memikirkan hal seperti itu, apa kamu masih yakin untuk melepaskan Yudha?"
Wajah Citra pucat pasi mendengar perkataan Miko. Bening yang duduk di seberangnya menatap cemas pada jari-jarinya yang gemetar di atas meja. Citra tersenyum, "Kamu bertanya apakah aku membebaskan suami Yulia itu? Sekarang aku tidak harus menyangkalnya karena walaupun bukan Satya yang membebaskannya, aku akan tetap melakukannya sendiri. Aku tidak perlu takut akan dibunuh oleh orang itu karena aku yang akan membunuhnya duluan dengan tanganku sendiri."
Miko terdiam, tetapi napasnya terdengar sangat berat. Tidak ada suara untuk beberapa saat. Citra memejamkan mata dan berkata, "Kamu berjanji untuk datang dan menjemputku di malam hari, Miko, jika kamu membiarkan aku pulang sendiri lagi karena wanita itu, aku tidak menjamin ibumu tidak akan tahu tentang hal ini." Telepon tiba-tiba ditutup. Citra memegang ponselnya dengan erat. Giginya menggigit bibir merah pucatnya karena merasa geram dengan sikap Miko.
Bening melihat wajahnya dan bertanya dengan hati-hati, "Citra? Apa kamu baik-baik saja?" Citra meletakkan ponselnya, menundukkan kepalanya dan mengambil pisau dan garpu lagi, "Tidak apa-apa, ayo makan."
Bening masih penasaran, jadi dia bertanya, "Tentang Miko… Apakah dia punya wanita simpanan di luar sana?"
"Yulia sudah kembali," sahut Citra. "Yulia yang mana?" tanya Bening masih tidak mengerti. Citra merasa tidak rela mengatakan ini, tapi dia harus menjawab pertanyaan sahabatnya itu, "Mantan pacarnya."
"Oh, bukankah dia pacar Miko yang tidak direstui oleh ibu Miko, lalu akhirnya dia pergi ke luar negeri karena latar belakang keluarganya yang kurang baik?" tanya Bening memastikan. Citra hanya berdeham.
"Citra, apakah kamu benar-benar ingin menikah dengannya? Melihat sikapnya saat ini, apakah kamu yakin akan bahagia jika menikah dengannya?" tanya Bening yang peduli dengan masa depan Citra. Tangan Citra yang memegang pisau dan garpu menjadi kaku lagi. Dia meletakkan alat makannya, dan mengangkat tangannya untuk menyesap anggur merah.
Citra memperlihatkan tatapan dingin di matanya, "Aku sudah menyukai Miko selama bertahun-tahun. Lagipula, pernikahan kami akan segera dilaksanakan. Mungkinkah aku akan kalah dari mantan pacarnya yang sudah menikah itu?"
___
Pada pukul empat sore, saat ujian selesai, Citra keluar dari gedung sekolahnya dengan membawa tas di bahunya. Dia mencari mobil yang sudah dikenalnya Ferrari putih atau Lamborghini abu-abu milik Miko. Citra tidak menemukan apa yang dia cari, tetapi dia menyadari bahwa semua mobil yang diparkir di sekolahnya itu adalah mobil mewah, misalnya, sedan bisnis kelas atas, Mercedes-Benz, dan BMW.
Suara aneh dari siswa lain terdengar di samping Citra.
"Aku belum pernah melihat dia. Apa dia datang ke sini untuk pertama kalinya? Wah, gaya berpakaianmu ini memang sengaja untuk membuat siswa lain terlihat jelek, ya?" kata salah satu di antara mereka.
"Apakah kamu ingin mencuri perhatian semua orang dengan berpenampilan seperti itu?" sahut yang lainnya.
"Hei, diamlah, nanti dia marah. Lihat wajahnya, dia sepertinya sedang tidak mood," timpal yang lain dan mereka segera pergi.
Citra memutar matanya dengan malas setelah mendengar perkataan para siswa di sekolahnya itu. Mungkin dia berpakaian terlalu elegan hari ini, tapi apa salahnya? Dia mengerutkan kening dan mengeluarkan ponselnya dari tasnya. Dia memencet nomor Miko. Telepon tidak kunjung terhubung. Citra tidak menyerah, dan menelepon untuk kedua kalinya. Akhirnya, Miko menjawab panggilannya. Citra bertanya dengan santai, "Ujianku sudah berakhir, di mana kamu?"
Suara Miko terdengar sangat marah, bahkan lebih parah dari siang tadi, "Citra, trik macam apa yang kamu coba mainkan? Kamu ingin membuatku semakin membencimu?"
Citra terdiam selama beberapa detik sebelum bertanya, "Apa artinya itu? Apa yang kamu katakan, Miko?" Tentu saja Citra kebingungan. Dia mengikuti ujian sepanjang hari ini, lalu bagaimana dia bisa melakukan hal lain di waktu luangnya?