Tiba-tiba, Citra mengingat semuanya dengan jelas. Dia ingat adegan saat dirinya meminta Satya untuk membelainya. Dia juga ingat bahwa Satya tidak tergoda. Bukan hanya sikapnya yang tak tergoyahkan, tapi wajah dinginnya tidak berubah dari awal sampai akhir. Citra bahkan mengutuk dirinya sendiri saat sadar bahwa tadi dia mencium pria itu dan bahkan memintanya.
Citra tidak tahu apakah dia harus kesal karena dia terpengaruh oleh obat itu dan melakukan semua hal yang memalukan, atau dia harus merasa malu karena Satya tidak bereaksi sama sekali terhadap rayuannya. Bukankah dia cantik? Tapi, kenapa Satya tidak terbuai karenanya?
Pria lain akan terus mengejar Citra seperti ikan mas di sungai. Miko mengabaikannya karena wanita yang sudah menikah. Tapi, Satya, pria itu tinggal bersamanya yang sedang dalam pengaruh obat sepanjang malam, dan tidak memiliki pikiran apa pun untuk menyerangnya.
Citra agak kesal. Dia mengepalkan tangannya, dan berkata dengan dingin, "Kamu tidak boleh mengatakan sepatah kata pun tentang masalah malam ini."
Satya menjawab dengan ringan, "Saya mengerti, Nona, jangan khawatir." Setelah terdiam beberapa saat, Satya melempar handuk dan mengambil pengering rambut untuk Citra. Suara pengering rambut itu sangat keras, dan Citra tiba-tiba memikirkan sesuatu yang tidak masuk akal. Dia tampaknya berpikir bahwa Satya adalah pria yang sangat tampan. Dia tidak tahu apakah Satya benar-benar tampan, atau dia masih dalam pengaruh obat saat ini?
Citra berbalik, ingin melihat wajah Satya lagi, tapi semuanya berubah menjadi hitam.
"Nona!" teriak Satya. Citra pingsan. Sebelum dia benar-benar kehilangan kesadaran, dia dengan jelas merasakan lengan Satya yang kuat memeluknya.
___
Citra mengalami demam. Suhu tubuhnya mencapai 39° celcius. Ketika dia bangun, hari sudah malam. Sebelum dia membuka mata sepenuhnya, dia melihat seorang pria berdiri di samping tempat tidur di bawah pencahayaan yang redup. Citra tanpa sadar mengira itu adalah pengawal pribadinya, "Satya, aku haus."
Miko merasa bingung saat gadis itu memanggil Satya ketika dia bangun. Tiba-tiba dia teringat bahwa ketika dia datang ke kamar mereka, Satya sedang berada di kamar, tapi sikap pria itu seperti biasa. Dia tetap menjadi pria yang acuh tak acuh dengan tatapan mata yang dingin. Miko mengerutkan kening, lalu berbalik dan menuangkan segelas air untuk Citra.
Setelah Citra dibantu Miko untuk duduk, dia bisa melihat bahwa orang di depannya bukanlah Satya, melainkan pria yang meninggalkannya sendirian di hotel tadi malam. Dia tidak mengambil gelas berisi air dari tangan Miko. Dia tidak berbicara dan hanya memandangnya dengan tatapan kosong.
Miko masih memegang gelas di tangannya. Melihat Citra tidak mengambilnya, dia berkata dengan suara menyesal, "Citra, maafkan aku tadi malam."
"Maaf katamu? Bagaimana jika aku tidur dengan pria lain tadi malam?" tanya Citra ketus.
Miko mendadak menjadi tegang setelah mendengar perkataan gadis itu. Dia berkata, "Aku tahu pengawalmu telah menjagamu dan tidak melakukan hal-hal aneh padamu."
Citra memiringkan kepalanya. Dia selalu tampak menawan. Tak heran jika media selama ini menganggapnya sebagai wanita yang menggoda, tapi natural. Dia tiba-tiba tersenyum dan bertanya, "Lalu bagaimana jika aku tidur dengannya?"
Wajah tampan Miko tampak tenang, "Dia sepertinya bukan orang seperti itu." Citra menunduk dan memandang ke tempat tidur yang ditutupi oleh seprai berwarna putih.
Suara Miko terdengar dari atas kepalanya, "Citra, minum air dulu." Setelah beberapa saat hening, Citra mengulurkan tangannya untuk mengambil gelas air dan meneguknya beberapa kali. Setelah selesai, dia meletakkan gelasnya di meja, mengangkat kepalanya dan melihat ke wajah tampan Miko. Pria yang dia suka dan dia kejar selama bertahun-tahun. Dia berkata sambil tersenyum, "Apa yang akan kamu lakukan jika Yulia belum menikah? Apa kamu akan kawin lari? Atau kamu akan bertanggung jawab atas kebahagiaannya?"
Miko memasukkan satu tangannya ke saku celana, alisnya yang indah masih sedikit berkerut. Citra mengangkat wajahnya dan berkata dengan ringan, "Empat tahun lalu, Yulia adalah seorang Cinderella bagimu, tapi keluargamu tidak menyukainya. Sekarang dia sudah menikah dengan pria lain. Jika kamu terus bersikap baik padanya sekarang, apakah kamu yakin ibumu tidak akan marah dan melakukan hal nekat?"
Hening beberapa saat. Miko menjawab pertanyaan Citra perlahan, "Pernikahan kita tidak akan dibatalkan. Aku akan tetap menikahimu, dan urusanku dengan Yulia… Aku akan menyelesaikan semuanya sebelum pernikahan kita." Wajah Miko tampak suram. Citra merasakan sakit di hatinya, tapi dia masih tersenyum simpul, "Oke, aku percaya padamu."
Setelah berkata seperti itu, Citra membuka selimut yang membalutnya. Dia hendak bangun, "Aku lapar. Ajak aku makan malam sebagai permintaan maafmu atas apa yang terjadi tadi malam."
Miko mengulurkan tangannya dan memegang bahunya. Dia berkata dengan suara yang dalam, "Kamu masih demam, apa yang ingin kamu makan? Aku akan membiarkan seseorang membelikannya untukmu."
Citra mengerucutkan bibir merahnya dan berkata dengan genit, "Aku baik-baik saja, kok. Aku benci berbaring di rumah sakit terus-terusan, membosankan."
"Benarkah? Kamu sudah jauh lebih baik sekarang?" tanya Miko memastikan. Citra menganggukkan kepalanya dengan yakin. "Oke, aku akan mengajakmu makan malam," seru Miko.
Citra mengganti pakaiannya, lalu memanggil Satya, dan berkata dengan ringan, "Aku akan pergi makan malam dengan Miko. Aku akan memintanya mengantarku pulang, jadi kamu tidak perlu menjemputku." Setelah beberapa detik hening, sebuah kata sederhana keluar dari bibir Satya, "Baik."
Karena saat ini sudah memasuki awal musim hujan, Citra mengenakan baju hangat sebagai lapisan pertama. Untuk bagian luarnya, dia mengenakan mantel tipis berwarna merah. Rambut keriting panjangnya yang tebal seperti rumput laut menjuntai hingga pinggang. Dia membawa tas edisi terbatas dari merek terkenal di tangannya. Garis wajahnya indah, kulitnya cerah dan halus.
Pintu kamar baru saja terbuka, sebelum Citra melangkah keluar, dia melihat wanita itu berdiri di depan pintu. Citra tercengang, senyum di wajahnya dengan cepat memudar.
Itu Yulia!
Dia mengenakan baju rumah sakit berwarna biru dan putih. Rambut hitam panjangnya tidak bisa menutupi memar di wajahnya. Dia berdiri di sana dengan kepala menunduk, tampak sangat malu. Melihat Miko keluar dari kamar, dia jelas terkejut.
Citra berkata dengan lemah, "Yulia?"
Yulia menatapnya dengan tatapan seolah meminta maaf, "Maaf, Citra. Aku… aku… aku dengar dari Miko bahwa kamu dirawat di rumah sakit ini karena demam. Jadi, aku datang untuk menjengukmu." Yulia tiba-tiba teringat sesuatu, dan mundur dua langkah, "Apakah kalian akan pergi keluar? Kalau begitu, aku juga akan pulang."
Setelah itu, Yulia berbalik dan segera beranjak, tapi Citra menghentikannya lagi, "Yulia, tunggu."
Yulia berhenti dan berbalik untuk melihatnya. Dia tersenyum enggan, dan bertanya dengan lembut, "Ada apa, Citra?"
Jika Citra memiliki kecantikan seperti seorang wanita yang elegan dan cerdas, kecantikan Yulia sedikit berbeda. Wajahnya tampak seperti wanita yang lemah dan sendu. Wajah seperti itu jarang dimiliki wanita di era ini.
Miko mengulurkan tangannya dan meraih lengan Citra. Dia langsung berkata, "Bukankah kamu lapar? Ayo segera berangkat dan makan." Kekuatan cengkeraman Miko terasa sangat sakit di tangan Citra. Gadis itu menatap jari-jari Miko yang ada di tangannya. Dia berpikir apakah pria ini mengira dia akan mempermalukan Yulia di depannya?
Citra menoleh dan memiringkan kepalanya untuk melihat Yulia, "Aku dengar suamimu sering melakukan kekerasan dalam rumah tangga dan sering memukuli kamu. Kalau tidak salah ingat, kekerasan dalam rumah tangga bisa dilaporkan ke polisi, apalagi kamu sebenarnya tinggal di Amerika Serikat, 'kan?"