Chereads / Pelayan Itu Adalah Pengeran Baruku / Chapter 7 - Menunggu Kedatangan Seorang Pria

Chapter 7 - Menunggu Kedatangan Seorang Pria

Sebelumnya, Citra tahu bahwa ada banyak wanita yang menyukai Satya. Dia bahkan pernah bertemu dengan seorang artis papan atas yang menunjukkan ketertarikan pada Satya yang hanya seorang pengawal pribadi. Tentu saja, Satya tidak memikirkannya terlalu serius, dan menolak semua itu dengan tenang. Padahal, artis wanita itu bukan hanya kaya raya, tetapi dia juga seorang wanita cantik dan seksi yang dikejar-kejar oleh banyak pria kaya di luar sana.

Satya selalu menjaga jarak dengan wanita. Dia membatasi dirinya dan memiliki pengendalian diri dan ketenangan yang patut diacungi jempol. Dengan kata lain, Satya adalah pria yang sulit untuk didekati.

Soal Juwita, meskipun penampilan dan latar belakang keluarganya tidak secemerlang Citra, tapi dia juga seorang putri dari keluarga kaya. Dia juga kerap menjadi idaman bagi para pria.

Citra bertanya sambil tersenyum, "Apakah kamu menyukai Satya? Mengapa kamu menanyakan tentangnya padaku?" Juwita menatap Citra dengan malu-malu, tetapi mengangguk dengan tegas, "Dia… Tidak sengaja menyelamatkanku sekali waktu itu."

Citra berkata dengan ringan, "Meskipun dia adalah pengawal pribadiku, aku tidak pernah bertanya tentang kehidupan pribadinya, jadi aku tidak tahu apakah dia memiliki pacar atau tidak. Tapi, aku ayahku mengatakan bahwa dia memiliki seorang tunangan di kampung halamannya di Kalimantan. Jika kamu tanya siapa gadis itu, aku tidak mengetahui tentangnya secara khusus."

Bahkan jika Satya adalah pengawalnya yang selalu setia mendampinginya, Citra bisa dibilang tidak tahu apa pun selain nama pria itu. Dia benar-benar tidak tahu apa-apa tentang Satya.

Juwita menatap Citra dengan penuh harap, "Citra… Bisakah kamu memberiku nomor teleponnya?" Citra memegangi kepalanya dengan satu tangan dan tidak berkata apa-apa. Dia masih berpikir.

Bening, teman dekat Citra yang sekarang sedang duduk di sebelahnya, menepuk pundak Citra dengan ringan, "Itu pengawalmu, bukan kekasihmu. Jika kamu punya, berikan saja pada Juwita. Dia adalah gadis yang baik. Kurasa pengawalmu juga dapat diandalkan dan sangat baik."

Mendengar perkataan Bening, Citra tidak berkata apa-apa pada akhirnya, dan memberikan nomor Satya pada gadis itu. Setelah itu, Citra kembali teringat dengan Yulia. Sebenarnya saat ini Citra sedang dalam kondisi hati yang buruk, meskipun dia tidak menunjukkannya di wajahnya. Tapi, hal itu terlihat jelas karena Citra yang biasanya ceria dan lincah, kini sama sekali tidak mengobrol dengan Bening atau bermain-main dengan orang-orang di sebelahnya. Dia duduk sendirian di sudut sambil minum anggur dengan wajah cemberut.

Bening memandangnya dari kejauhan. Lalu, dia berjalan dan duduk di sampingnya, "Citra, mengapa kamu terlihat tidak bahagia?" Citra meliriknya, memeluknya, dan meletakkan dagunya pada bahu sahabatnya itu. Dia berbisik dan tersenyum, "Aku senang, kok. Aku akan menikah. Pria yang telah kukejar selama empat tahun akan segera menjadi milikku sepenuhnya sebentar lagi." Meskipun Citra adalah gadis centil dan menawan, dia tidak bisa menyembunyikan kesedihan dalam kata-katanya.

Bening berkata, "Ada yang bilang jika seorang wanita bahagia, dia tidak akan banyak minum, dan jika seorang wanita banyak minum, maka itu artinya dia sedang sedih."

Citra mendengus, "Omong kosong."

"Kamu bertengkar dengan Miko?" tanya Bening seolah bisa membaca pikiran sahabatnya. Citra menggelengkan kepalanya, dan berkata dengan suara parau, "Tidak. Kami baik-baik saja."

Tadi malam, Satya merendam Cira dalam air dingin sepanjang malam. Sepertinya saat ini Citra merasa sedikit kedinginan lagi dan tubuhnya mulai demam. Biasanya saat bersama teman-temannya, Citra selalu menjadi yang paling antusias dan bahagia untuk berjoget. Tapi, kini dia tidak tertarik dan hanya duduk diam. Jika sudah seperti ini, tidak ada yang akan memaksanya untuk berpesta.

Bening menatap Citra sebentar, membelai rambutnya, dan menghela napas ringan, "Tidak apa-apa, jangan terlalu banyak minum. Lebih baik kamu segera pulang dan tidur lebih awal." Citra bersandar di sofa setelah minum setengah botol anggur merah. Dia berbaring di sofa itu dengan mata tertutup. Suasana di sekitarnya berisik, tapi hatinya terasa sepi.

Orang yang merasa kesepian sebaiknya mencari tempat yang tenang dan membiarkan dirinya sendirian. Jika tidak, dia juga bisa duduk di tengah keramaian dan hiruk pikuk karena kebisingan terkadang dapat membuat orang yang kesepian merasa aman dan damai.

Tanpa terasa, Citra tertidur di sofa yang ada di bar itu. Ketika dia bangun, dia mengangkat pergelangan tangannya dan melirik ke arloji emas pucat yang melingkar sempurna di sana. Dia menguap sedikit. Dia mengeluarkan ponsel dari tasnya dan langsung menelepon Satya.

Satya tidak menjawabnya.

Alis Citra berkerut. Dia berpikir apakah Satya tidak akan menjawab panggilannya? Selama Satya menjadi pengawal pribadinya, hal ini belum pernah terjadi sebelumnya.

Citra menelepon Satya lagi dan dengan cepat terhubung kali ini. Pria di telepon itu menjawab dengan cuek seperti biasanya, "Ya, nona?" Citra terkejut, tidak tahu apakah itu hanya ilusi, tetapi dia mendengar bahwa Satya seolah tidak ingin menjawab telepon darinya.

Citra tidak peduli, dan berkata dengan ringan, "Aku tidak enak badan. Aku ingin pulang agar bisa tidur lebih awal. Datang dan jemput aku sekarang."

Setelah hening beberapa saat, pria itu menjawab, "Urusan saya di sini belum selesai, nona. Saya akan meminta orang lain untuk menjemput Anda dan mengantar Anda pulang."

Citra tidak peduli sama sekali. Dia hendak menyetujui perkataan Satya, tetapi tiba-tiba teringat sesuatu, dan menjawab, "Tidak perlu. Aku akan menelepon Miko dan memintanya untuk menjemputku di sini."

"Baiklah, nona. Maafkan saya, saya akan menjemput Anda besok pagi untuk ke sekolah," jawab Satya. Citra adalah seorang bintang, tapi dia juga seorang siswa di sebuah sekolah akting. Ketika dia tidak syuting, dia pergi ke sekolah. Karena sibuk mengurus rencana pernikahannya dengan Miko, dia terpaksa harus cuti dari sekolah selama enam bulan.

"Oke," jawab Citra dengan singkat. Setelah menutup telepon, Citra menelepon Miko. Dia harus menunggu lama sebelum telepon terhubung. Suara pria itu jelas lelah, "Citra, ada apa?"

"Aku sedang di Bar Castillo, dan Satya tidak bisa menjemputku karena dia harus mengurus sesuatu. Miko, bisakah kamu datang dan menjemputku?" tanya Citra berusaha membujuk Miko agar menjemputnya di bar.

Setelah hening beberapa saat, Miko menjawab, "Oke, aku akan tiba di sana dalam setengah jam." Citra segera tersenyum, "Oke, aku akan menunggumu."

Setelah menutup telepon dan melihat jam di layar telepon, Citra memainkan game di ponselnya. Setelah lebih dari 20 menit, dia berdiri, menyisir rambut panjangnya dengan jari-jarinya dan tersenyum malas. Dia bergumam pada dirinya sendiri, "Aku masuk angin dua hari yang lalu, sepertinya aku belum pulih sekarang. Benar kata Bening, aku harus pulang dan tidur lebih awal hari ini."

Bening yang melihat Citra sedang duduk di luar bar, langsung menghampirinya. Dia berkata dengan suara gelisah, "Citra, kamu belum pulang dari tadi? Apa kamu mau aku panggilkan seseorang untuk mengantarmu pulang?" Citra tersenyum manis, "Tidak perlu, Miko akan menjemputku."

Bening yang mendengar itu langsung menggodanya, "Ah, aku lupa jika kamu punya pacar. Ya sudah kalau begitu. Hei, tapi jangan menunggunya di luar sini, kamu bisa masuk angin!"

Citra tidak terlalu memedulikan omongan sahabatnya, "Iya, iya. Sebentar lagi dia datang. Lain kali kita berpesta lagi, ya!" Setelah mengatakan itu, sopir Bening datang dan dia segera beranjak pulang.

Citra minum anggur terlalu banyak. Demamnya juga masih belum sembuh. Dia merasa pusing dan berdiri dari kursinya dengan gemetar. Miko belum juga datang sampai sekarang. Ketika angin dingin bertiup, dia merasa sangat kedinginan. Di saat yang sama, Citra membayangkan sebuah jaket terbentang di bahunya. Citra menundukkan kepalanya dan bernapas seolah dia bisa mencium aroma tubuh Satya yang sedang memasangkan jaket padanya. Namun kenyataannya, Satya tidak ada di sana.

Sebuah lampu mobil terlihat dari jauh. Citra mendongak dan melihat Lamborghini berwarna abu-abu melaju mendekatinya. Itu adalah mobil Miko, dan Citra melompat kegirangan. Dia mempercepat langkahnya dan berjalan mendekat. Dia membuka pintu mobil dengan tidak sabar, "Miko! Akhirnya kamu datang juga!"

Suara kegembiraan itu tiba-tiba berhenti. Pria di kursi pengemudi bukanlah Miko.