Kata-kata terakhir Miko saat di mobil masih terngiang-ngiang di dalam pikiran Citra.
Aku bisa menikahimu, tapi aku tidak bisa mencintaimu.
Hati Citra seperti teriris saat mengingat kalimat itu lagi. Setelah menunggu lama, sampai langit gelap dan lampu pinggir jalan menyala satu per satu, Citra mengambil kacamata hitam besar dari tasnya, dan mengulurkan tangan untuk menghentikan taksi yang melintas. Setelah masuk ke dalam mobil, dia segera berangkat menuju Bar Castillo.
Bar Castillo adalah sebuah bar di Kota Medan yang menggunakan sistem keanggotaan, jadi suasana di dalamnya tidak terlalu ramai. Begitu Citra masuk ke lobi, sesosok wanita menabraknya. Wanita itu langsung jatuh ke lantai, dan Citra juga sedikit terlempar ke belakang. Dia mengerutkan kening dan menatap wanita yang jatuh itu. Dia masih sangat muda dan sangat cantik.
Citra sangat jarang memuji wanita lain, apalagi sampai menyebut mereka cantik. Tapi, wanita di depannya ini memang benar-benar cantik.
Apa dia adalah Suci?
Orang-orang selalu berkata bahwa Suci adalah wanita yang bukan hanya berasal dari keluarga terhormat, tetapi dia juga memiliki kecantikan yang luar biasa. Umurnya juga sama seperti Citra. Hanya saja Citra adalah ratu di industri hiburan yang arogan dan menawan, sedangkan Suci adalah wanita cantik yang dingin, sombong, dan misterius.
Di awal musim hujan seperti ini, Suci hanya mengenakan rok tipis yang sudah basah, sepertinya karena tumpahan anggur. Bau samar anggur juga tercium di tubuhnya. Bajunya yang sedikit transparan memperlihatkan bra di dalamnya samar-samar. Suci bangun dan berkata dengan tergesa-gesa, "Maafkan aku." Ketika dia mengangkat kepalanya, dia melihat wajah Citra dengan jelas. Dia sedikit terkejut, dan dia mengulang perkataannya, "Maaf, Citra."
Mereka tidak mengenal satu sama lain sebelumnya, meskipun mereka telah mendengar nama satu sama lain dan tahu penampilan mereka. Namun, selama ini mereka belum pernah bertemu.
Citra tidak melepas kacamata hitamnya. Sebelum dia bisa membalas permintaan maaf Suci, seorang pria datang secara tiba-tiba. Saat Citra melihat ke bawah, wajah Suci tampak sedikit pucat. Sepertinya suci memngenal pria itu.
Sebelum Citra sempat berbicara, pria itu berbicara dengan nada marah, "Oh, kamu Citra ternyata. Kacamata hitam apa yang kamu pakai di malam hari, huh?" Sembari mengatakan itu, tangan pemuda itu hendak memegang bahu Citra. Suci mengerutkan alisnya dan berkata dengan dingin, "Hentikan."
Pria pengganggu itu tersenyum dengan lancang ke arah Suci, "Mengapa kamu merasa kesal jika aku menyentuh wanita lain? Bukankah itu normal?"
Citra tertawa merendahkan setelah mendengar tanggapan dari si pria pengganggu. Bahkan melalui kacamata hitamnya, wajah arogan dan menghinanya masih bisa terlihat dengan jelas. Bibir merahnya tertarik sedikit ke atas. Dia tertawa, tetapi kata-katanya dingin, "Kamu mau menyentuhku dengan tangan kotormu? Coba saja jika bisa."
Ketika Citra mengatakan ini, perhatian pria pengganggu itu segera beralih pada tubuhnya. Dia tidak tahan melihat lekukan indah di tubuh Citra yang tepat berada di hadapannya. Sambil menyeringai, dia mengulurkan tangannya dan segera meraih dagu Citra.
Citra mengerutkan alisnya dan hendak melepas kacamata hitamnya. Segera setelah dia mengangkat tangannya, tangan ramping dan kuat lainnya tiba-tiba muncul, dan dengan cepat menampik tangan pria pengganggu itu sebelum dia sempat menyentuh Citra.
Kemudian, suara tulang yang retak terdengar jelas. Wajah si pria pengganggu berubah drastis karena menahan rasa sakit. Dia menjerit kesakitan sambil memohon agar segera dilepaskan. Segera setelah pergelangan tangannya yang patah ditarik dengan kuat, dia terhuyung-huyung ke depan. Pria yang tadi mematahkan tangannya itu segera memukulnya di bagian perut. Si pria pengganggu buru-buru mundur beberapa langkah, lalu jatuh dengan keras ke lantai yang dingin.
Citra telah melepas kacamata hitam dari wajahnya dan menoleh untuk melihat pria yang berdiri di sampingnya. Pria itu masih mengenakan pakaian hitam dan celana panjang hitam. Tubuhnya ramping dan tinggi. Dia berdiri dengan tenang dan acuh tak acuh. Auranya maskulin.
Kali ini Citra akhirnya bisa melihat bahwa pria itu adalah pengawal pribadinya, Satya. Bisa jadi Citra sudah terlalu lama bersama dan terbiasa dengan pria ini, terutama dengan ekspresi dinginnya, jadi dia tidak sadar bahwa Satya sebenarnya memiliki wajah yang sangat tampan dan perawakan yang gagah seolah mampu menumbangkan siapa pun yang mencari masalah dengannya.
Tak heran jika dalam beberapa tahun belakangan ini, identitasnya sebagai pengawal pribadi tidak membuat para selebritis remaja ragu untuk mencoba merayunya. Bahkan, beberapa selebritis berlatar belakang keluarga kaya dan terpandang rela untuk mengejarnya.
Citra melirik si pria pengganggu yang sedang mengerang kesakitan di lantai. Dia meletakkan kacamata hitam ke rambutnya, melepas mantel merah di tubuhnya, dan meletakkannya di bahu Suci. "Aku takut kamu akan kedinginan saat di keluar dari sini. Ini, pakai mantelku agar tubuhmu hangat," ujar Citra.
Suci menatapnya, lalu menatap mantel merah yang sudah melekat di tubuhnya, suaranya jernih dan lembut, "Terima kasih, aku akan mencuci pakaian dan memberikannya padamu kembali."
"Tidak perlu. Itu hanya pakaian, tidak apa-apa. Bawa saja untuk menutupi tubuhmu agar tidak kedinginan," jawab Citra dengan nada tulus.
Suci tersenyum tipis, "Tapi pakaian ini terlalu mahal. Bagaimana mungkin aku tidak mengembalikannya padamu?"
Walaupun kondisi ekonomi keluarganya saat ini tidak terlalu baik, bagaimanapun Suci pernah menikmati kekayaan keluarganya yang melimpah. Tidak heran jika dia bisa mengetahui harga sebuah baju mahal bahkan tanpa melihat mereknya terlebih dahulu.
Citra mengangkat alisnya dan mengerutkan bibir merahnya, "Terserah kamu. Jika kamu ingin mengembalikannya padaku, titipkan saja pada bos bar ini. Aku sering datang ke sini."
Suci menatap mata Citra dengan intens, "Terima kasih, aku akan selalu ingat bantuan ini." Setelah itu, dia membungkus dirinya dengan mantel yang diberikan oleh Citra dan beranjak pergi. Di sisi lain, diam-diam si pria pengganggu masih menatap dengan dingin ke arah Satya yang telah menghajarnya.
Citra melepas kacamata hitamnya dari rambut dan mengayunkannya. Dia memandang si pria pengganggu sambil tersenyum, "Kamu tidak mau pergi? Ingin dipukuli lagi?"
Si pria pengganggu memandang Citra dan Satya dengan wajah muram, dan kemudian mencibir, "Sebaiknya kamu memastikan bahwa ayahmu akan selalu berkuasa, jika tidak, kamu akan terima balasan atas perlakuanmu padaku yang seperti ini."
Citra tertawa keras, "Pria yang berani menggertak seorang wanita sepertimu masih bisa merasa bangga, ya? Benar-benar tidak tahu malu!"
Si pria pengganggu itu masih berusaha melawan Citra, "Citra, jangan mengira kamu adalah putri walikota, jadi kamu bisa menghinaku seperti ini. Lihat saja! Cepat atau lambat, aku akan membuat ayahmu lengser dari jabatannya!"
Citra tertawa, tapi kali ini sedikit malas, "Kamu ingin melengserkan ayahku dari posisi walikota? Jangan omong kosong! Kamu bahkan tidak bisa melawan pengawalku yang hanya sendirian. Sudah, tutup mulutmu dan jangan pernah datang ke sini lagi. Aku benar-benar tidak ingin melihatmu lagi!"
Satya mengerutkan kening dalam diam. Dia menggenggam pergelangan tangan Citra dan menariknya pergi. Citra terkejut, mencoba untuk melepaskan cengkeraman Satya, tetapi dia tidak bisa melawan kekuatan pria itu, "Satya, apa yang kamu lakukan?"
Citra sedikit marah karena pria ini bersikap tidak sopan terhadapnya. Saat dia berbalik, pandangannya tertuju pada si pria pengganggu yang kini sudah bersama gerombolan laki-laki seusianya di belakang. Dia berkata dengan angkuh, "Hei, apa pengawalmu yang gagah dan berani itu bisa melawan kami?"