"Rencananya, kita mau jalan-jalan seharian. Mengunjungi tempat wisata di Surabaya, menghabiskan waktu berdua. Tapi, selesai salat subuh dia udah suruh gue beres-beres. Dia bilang, udah pesen tiket buat penerbangan pagi, Ji."
Jihan masih menatapku dengan mata bulatnya, menopang dagu dengan satu tangan yang ditekuk.
"Dia jadi aneh, Ji. Gue ngerasa, balik lagi ke waktu baru nikah. Zay ... cuekin gue." Aku menyandarkan tubuh, mengembuskan napas berat.
"Lo enggak nanya apa-apa juga sampai sekarang?" tanya Jihan.
"Ah, males gue. Gue takutnya, emang dia sakit hati gara-gara gue. Ya, maksudnya, gue penyebab ini semua."
"Jaah, blo'on emang!" umpatnya. "Kantin dulu, gue--"
"Ji!" Aku menahan lengannya.
"Apaan?"
Kukeluarkan foto dari sela buku catatan. "Ini maksud gue," lirihku.
Jihan duduk kembali. Meraih foto itu. "Ini suami lo, 'kan?"
Aku mengangguk.
"Cewek ini siapa?"
Aku menggeleng.
"Lah, terus lo dapet foto ini dari mana?"
"Ini waktu gue mau masuk kamar, ada foto ini di tempat sampah. Kebetulan belum diambil sama OB," paparku dengan nada lemah. Membayangkan saat pertama kali melihat foto itu.
"Kusut, ya? Kayak abis diremas-remas gitu?"
"Itu yang bikin gue makin penasaran. Wajah tuh cewek enggak jelas."
Jihan menatap foto itu. Dari dekat, memundurkannya kembali. Begitu terus berkali-kali.
"Kayaknya, cewek itu mantan Zay, deh. Terus dia enggak datang ke pesta pernikahan itu, gara-gara Zay ... sama gue."
"Lo yakin ini mantannya?"
"Ya abis, mereka mesra gitu!"
"Bisa aja mereka cuma TTM," celetuk Jihan.
Aku menyipitkan mata, menatapnya tajam. "Lo ngerti enggak sih, gue ngomong apa dari tadi? Gue udah muter-muter, Jihan!"
Jihan meringis. "Lo tau 'kan gimana gue? Kalau mau ngomong langsung ke intinya aja," ujarnya.
Aku mendesah. "Astaga," ucapku sambil menepuk kening. "Gue suka lupa, curhat sama siapa," gumamku. "Gini ya, Jihan. Yang gue maksud itu, gue curiga sikap Zay berubah karena cewek ini. Gue enggak peduli, dia mantannya, atau mereka pernah pacaran, atau TTM-an. Yang gue curigain ...." Aku menelan ludah, agak berat mengatakannya. "Ada kisah yang belum usai di antara mereka."
Jihan termenung. Aku pun diam.
"Artinya?" tanyanya dengan wajah polos.
Aku melotot. Mengetuk meja dengan tangan dikepal. "Amit-amit jabang bayi tujuh turunan. Ternyata ada yang lebih lemot dari gue."
"Hehehe, tapi seengaknya gue enggak pernah ngerasain cuci nilai. Seimbang kita," selorohnya.
Aku memutar bola mata. "Oke, jadi gini. Gue curiganya Zay masih cinta sama nih cewek. Dan itu alasan terbesar dia enggak pernah mau balik ke Surabaya. Ngerti?"
Jihan mengangguk. Entah dia mengerti atau tidak, tapi yang pasti aku benar-benar merasakan itu. Di saat kita sudah mencintai dia sepenuh hati, bahkan selalu mengingatnya di setiap hela napas. Namun, dia tidak memberi hal yang sama. Separuh hatinya, masih diisi cinta yang lain. Atau mungkin lebih.
"Al, emang selama ini lo enggak pernah nemu buku harian Pak Zay? Atau semisal foto-foto semasa--"
Aku menatap wajah Jihan dengan mata lebar.
"Hah! Gue salah ngomong, ya? Ampun, Al!" Jihan mengangkat dua jarinya.
"Gue tau di mana tempat Zay simpan rahasianya!"
.
"Studio foto?" Jihan menatap ruangan dengan sorot takjub.
"Gue pernah cerita, 'kan?" Aku menutup pintu, menguncinya kembali.
"Lo cuma cerita, Pak Zay ternyata dulu fotografer. Gitu, doang!"
"Lupa kali gue!" ketusku. Lalu memberi isyarat agar dia ikut berjalan.
Hening, hanya ada derap langkah kaki kami berdua.
"Wow, amazing Al! Gue enggak sangka, di balik sifat galak, nyebelin, sama kerasnya. Ternyata Pak Zay bisa menghasilkan karya seindah ini." Jihan berdecak menatap sebuah foto pegunungan. Lengkap dengan cahaya mentari pagi yang menyinari.
Aku tak terlalu menanggapi, sibuk mencari sesuatu.
Ya, aku ingat. Beberapa bulan lalu, saat pertama kali ke sini, Zay menyimpan sesuatu. Amplop coklat yang dia keluarkan dari saku jaketnya, lalu dia simpan di salah satu laci meja.
"Nah, ini dia," gumamku saat berhasil menemukan amplop itu. Lalu kubuka. "What? Ini 'kan gue."
Kubuka satu persatu lembaran foto itu, semua memang gambar diriku. Jelas aku tahu, dari baju dan cara aku berekspresi.
Ada foto saat aku duduk sendiri di taman, bahkan di perpustakaan dengan wajah merunduk membaca buku. Aku ingat, hari itu aku terlambat dan mendapat tugas dari Zay. Dia menyuruhku membuat rangkuman dari sebuah buku tentang hukum, yang harus segera selesai hari itu juga.
Dari situlah pertama kalinya aku benar-benar sebal pada dia, lalu menyematkan panggilan dosen tengil untuknya.
Aku buka kembali, lagi-lagi fotoku. Hanya saja, semua foto diambil secara candid. Apa maksudnya?
Aku menggeram kesal. Sial! Dia mengoleksi wajah jelekku.
"Al! Kok, gue malah kebelet, ya?"
Kulihat Jihan. Dia sedang berdiri dengan gaya anak SD yang meminta izin untuk ke kamar mandi. "Lantai bawah sebelah kanan kalau enggak salah," ucapku.
"Yakin di situ?"
"Tadi gue lihat ada pintu."
"Kalau bukan?"
"Ya, lo keluar."
"Ngapain"
"Cari WC umum!" sentakku. "Udah sana, lo mau ngompol di sini?"
Jihan mengerucutkan bibir sebelum akhirnya berlalu dari hadapanku.
Aku simpan amplop berisi fotoku ke tempat semula. Mengelilingkan pandangan ke semua sudut, di mana kira-kira Zay menyimpannya?
Tatapanku terpaku pada sisi kiri, ada dua lemari besar di sana. Namun, ada jarak di antaranya. Anehnya lagi, ruang kosong itu ditutupi tirai. Persis seperti ruang ganti baju.
Aku dekati demi keingintahuan. Membuka tirai itu perlahan, dan ternyata ada ruang di belakang lemari. Tidak terlalu lebar, hanya satu meter. Aku menengokkan kepala ke sisi kanan, ada pigura besar tertempel di sana. Lagi-lagi tertutup kain hitam.
Aku penasaran. Apa yang dia tutupi? Sempat aku menatapnya selama beberapa detik, sebelum akhirnya kuputuskan untuk menarik kain berbahan halus itu, dan ternyata ....
"Wuih, Alena! Lo cantik banget!"
Aku menoleh. Jihan sudah ada di belakangku, memerhatikan foto berukuran jumbo di depan mata. Kenapa dia berpikir itu aku?
"Pulang, yuk!" ajakku, kemudian merapikan kembali kain penutup seperti semula.
"Loh, emang udah ketemu?" Jihan terheran.
"Kayaknya enggak ada, deh! Lain waktu aja gue cari di rumah," sahutku. "Ayo!"
Sepanjang perjalanan Jihan terus berceloteh seperti biasa. Tentang gosip di kampus, mahasiswa dan mahasiswi yang terkena kasus. Semua dia bicarakan. Telingaku mendengar, tapi tidak dengan pikiranku.
Lamunanku masih tertuju pada pigura itu. Foto perempuan yang sedang berdiri di tengah padang ilalang. Angin membuat ilalang-ilalang di sekitarnya bergoyang, juga menyibak rambut panjangnya. Dia tersenyum, kedua tangannya menyentuh ilalang di sisi kanan dan kirinya.
Aku teringat sesuatu, kejadian di Surabaya beberapa hari lalu. Saat Zay terpaku melihat gaunku. Pantas, dia begitu salah tingkah. Karena ternyata, dress yang kukenakan mirip dengan gaun perempuan itu. Warnanya bahkan senada.
Sebuah tepukan menyadarkanku. "Apaan, sih?"
"Lo denger enggak?" tanya Jihan.
Aku melengos.
"Eh, Al. Bay the way itu gaun emang cocok banget sama lo. Di foto tadi lo mirip model-model berkelas!" serunya.
Aku tertawa singkat. "Gue cantik ya, Ji?"
"Banget. Gue enggak nyangka, lo bisa bergaya seanggun itu. Enggak salah lagi, lo emang pantes jadi model. Lo punya body goals, Al!"
"Body goals apaan?"
"Gue 'kan suka perhatiin lo!"
"Lo bukan Aisyah yang suka Jamilah, 'kan?" Aku masih berusaha bercanda dengannya.
"Dih, fitnah macam apa itu? Gue suka body lo tuh, secara 'kan lo punya body tinggi semampai. Perfect, prosopional, ideal. Apalagi ya, pokonya mantep deh buat cewek! Enggak kayak gue, imut-imut," ujarnya diakhiri tawa. "Eh, tapi. Lo kapan di fotoin sama Pak Zay? Katanya di Surabaya enggak sempat jalan-jalan."
Kali ini aku tak sanggup menjawab. Bagaimana harus kukatakan pada Jihan, jika perempuan di foto itu bukan aku?
Kualihkan pertanyaannya pada gosip di kampus tadi. Demi menghindari pembicaraan antara aku dan ... foto itu.
Percuma aku menerangkannya pada Jihan. Aku yakin, wajah polos itu akan sulit mengerti.
Jihan menghentikan mobil tepat di depan gerbang. Basa-basi sebentar khas anak muda berpamitan. Setelah mobilnya melaju aku pun masuk ke dalam rumah.
"Alena. Baru pulang, Sayang?" Mama Hani menegurku di samping meja makan.
Kupaksakan tersenyum. "Iya, Ma! Ada tugas, tadi habis diskusi dulu sama Jihan." Alasan itu meluncur bebas dari bibirku.
"Sini, makan dulu! Kamu kayaknya lesu gitu?" Mama Hani menghampiri. "Cape, ya? Emang Zay enggak bantuin kamu, sampai harus pulang sore gini?"
Terdengar suara langkah kaki menuruni anak tangga.
"Zay, lihat ini Alena! Pasti dia kesulitan ngerjain tugasnya. Kenapa kamu enggak bantuin?"
Tak ingin aku menoleh, demi melihatnya. "Alena ke kamar dulu, Ma," pamitku.
"Oh, iya. Habis itu langsung makan malam, ya?"
Aku mengangguk. Kuputar tubuh, dia ada di belakangku. Tak kuhiraukan, lebih memilih menaiki anak tangga.
"Alena." Zay menahanku yang hendak menutup pintu kamar.
Segera aku berjalan ke arah meja, melepas dan menyimpan tas.
"Kenapa baru pulang? Tugas apa yang kamu kerjakan? Telepon aku enggak kamu angkat. Aku cari di semua sudut kampus, kamu enggak ada. Ke mana?"
Kuangkat wajah perlahan. "Apa aku harus selalu menjawab semua pertanyaanmu?"
"Aku suamimu."
"Kalau begitu, apa kamu akan menjawab semua pertanyaanku?"
Zay mengernyitkan kening.
"Siapa Luna?"
Zay membuang wajah.
"Pada senja yang membawamu pergi, kutitipkan separuh jiwa. Bersamamu."
Zay kembali menatapku. Kali ini tatapannya sedikit berbeda.
"Aku dan kamu, selamanya. Zay ... Luna," lanjutku. Aku berbalik, tapi Zay menahan lenganku.
"Untuk apa kamu mencari tau tentang semua itu?"
Aku menautkan alis. "Itu wajar, 'kan?"
Zay berpaling.
"Bukankah dulu pun kamu berusaha mencari tau masa laluku?" tukasku.
Zay masih tak menjawab.
Emosi mulai menyelimuti hati. Kutarik kalung di leher, meraih tangan Zay. "Ini. Aku tidak yakin, jika L itu untuk Lena." Kusimpan benda itu dalam genggamannya.
Bergegas masuk ke dalam kamar mandi. Mengeluarkan bendungan air mata yang sudah mendesak sedari tadi, bahkan sejak di studio foto.
Menangis. Merutuki kebodohanku selama ini.
***
Ibu Marina keluar diiringi para penghuni kelas. Aku membuka layar ponsel, kiranya ada pesan atau telepon.
"Duluan, Al!" Jihan menepuk pundakku.
"Ke mana?"
"Pulanglah, ke mana lagi?"
"Tumben enggak ngajak gue jalan," kelakarku.
"Noh, di depan udah ada sang bodyguard. Mana bisa gue bawa lo kalau udah ada dia," tunjuknya ke arah pintu.
Aku menoleh. Benar saja, Zay sedang berdiri persis di depan pintu. Hanya saja dia membelakangi kelas, punggung lebarnya yang terlihat.
"Yuk, sampai ketemu besok!" Jihan melambaikan tangan sambil berlalu.
Aku hanya bisa mendesah. Niat hati ingin menghindar darinya seperti tadi pagi, gagal sudah.
Saat aku berdiri di ambang pintu, dia berbalik.
"Pulang!" ajaknya bersamaan dengan kaki yang mulai melangkah.
Aku diam, tak bergerak sedikit pun. Selang beberapa detik, Zay berhenti. Dia berputar, menatapku dalam jarak beberapa meter.
"Alena!"
Aku masih bergeming. Membuatnya harus kembali melangkah ke arahku. "Pulang!"
"Duluan aja sana," sahutku akhirnya.
"Mau ke mana?"
"Rumah Mama."
"Untuk apa, hah?"
Aku mendongkak, menatap kedua matanya. "Katakan siapa Luna?"
"Kamu masih memperdebatkan itu?"
"Apa aku salah bertanya tentang ... masa lalumu?"
"Lihat aku! Kita sudah menikah, Alena," desisnya.
"Menikah dengan lelaki yang masih mencintai perempuan lain?"
Zay berpaling ke sana ke mari, seperti kewalahan menjawab pertanyaanku.
"Lebih baik, aku hidup dengan lelaki yang mencintaiku. Bukan dengan lelaki yang aku cintai, tapi dia mencintai perempuan lain!" Aku berbalik, berjalan ke arah lain.
Kusempatkan menengokkan kepala. Dia masih berdiri di sana, dengan kedua tangan di balik saku celana.
Telingaku menunggu. Berharap dia akan memanggil. Nyatanya, hingga aku berbelok di ujung lorong, tak ada sepatah kata pun yang dia teriakkan seperti biasa.
Ah, Alena. Dia bahkan tidak mengejarmu.
.
"Alena?" sapa Mama saat pintu terbuka.
"Assalamualaikum, Ma." Kucium tangannya seperti biasa.
"Waalaikumsalam. Ke sini sama siapa?" Mama menengokkan kepala ke arah belakangku.
"Sendiri."
"Loh, Zay ke mana emang?"
Aku menelan ludah. "Masih ngajar," jawabku.
"Oh ...."
"Alena ke kamar ya, Ma?"
"Iya, Sayang."
Aku menutup pintu perlahan. Melepas tas, berbaring di kasur. Mengingat kembali percakapanku beberapa minggu lalu bersama Zay.
"Mas, nginep di rumah Mama, yuk!"
"Tuan putri kangen kandang, ya?"
Aku memberengut.
"Atau mau bebas tidur, hah?" Zay mengangkat kedua alisnya. Mengejek.
"Ih, kamu gitu, deh! Aku cuma kangen sama Mama, sama Papa!" Aku melipat tangan di dada, membelakanginya.
"Dasar istri manja!" Dia memelukku, lalu mencium pipiku. "Nanti aku antar, ya? Janji!"
Lalu sekarang, kenapa seperti ini jadinya?
Ke mana candaannya itu?
Ke mana bujukan dan rayuannya yang selalu menenangkanku?
Bahkan dia tidak melontarkan ejekannya seperti biasa.
Ah, terkadang ejekan-ejekan yang dulu kamu anggap itu sindiran dan hanya membuat malu, suatu hari nanti kamu akan anggap itu sebagai sebuah perhatian, atau lebih.
Entah kenapa, kini aku merindukan itu semua.
*****
--bersambung--