"Neng, Neng. Bangun, Neng!"
"Apa, Bi?"
"Itu, di bawah ada Pak Zay."
Kedua mataku terbuka sempurna. "Ngapain?"
"Katanya baru pulang dari Jakarta, langsung ke sini."
"Terus?"
"Mungkin Pak Zay mau makan."
"Tanyain aja sama Bibi, ya?"
"Yah, Neng. Bibi malu atuh."
"Malu kenapa?" Aku memutar tubuh, menghadap ke arah Bi Munah.
"Apa itu, bahasa Sunda-nya teh. Heunteu ragab kitu tah, Neng."
"Ngomong apaan, sih?" Akhirnya terpaksa aku bangkit.
"Iya, intinya mah malu atuh Neng, kalau malam-malam begini cuma berduaan sama Pak Zay." Bi Munah tersipu.
Aish, udah mau kepala enam juga! Masih mikirin yang begituan, rutukku dalam hati.
"Ya udah, aku turun!" cetusku sambil mengikat rambut.
Dengan langkah gontai aku menuju dapur. Sempat kulirik jam dinding di ruang keluarga yang menunjukkan angka dua belas lewat sepuluh menit. Kenapa harus tengah malam begini?