Aku terjaga, saat merasakan silau di kedua mata. "Bi Munah?"
"Pagi, Neng Lena!" sapanya sambil mengikat tali gorden.
Ah, kenapa bisa aku berpikir jika silau itu ....
"Pagi juga, Bi! Jam berapa sekarang?" Aku bertanya lesu, lalu mengangkat tubuh untuk duduk.
"Udah mau jam sebelas, Neng." Bi Munah membereskan majalah-majalah yang berserakan di lantai. "Neng, enggak ke kampus?"
"Enggak ada jam kuliah, Bi."
"Oh, apa enggak mau ke rumah Pak Zay?"
Aku memalingkan wajah ke arah luar jendela.
"Eh, maaf, Neng. Bibi lancang, ya? Ya udah, kalau mau bobo, bobo aja lagi. Kemarin-kemarin enggak ada si Eneng, rasanya sepi. Tiap Bibi masuk kamar ini, semuanya rapi terus. Kalau ada, Bibi 'kan jadi ada kerjaan. Hehehe."
Aku tersenyum menanggapinya. Kemudian menggeser pandangan, dan terpaku ke arah meja. "Bi, itu bunga dari siapa?"
tanyaku penasaran.
"Oh, iya. Bibi lupa. Tadi ada kurir anterin bunga itu, tapi enggak ada nama pengirimnya."
Aku beranjak dari ranjang, lalu menuju meja di sudut kamar.
Kucium buket mawar merah itu, harumnya masih segar. Dari siapa?
Ada kartu ucapan yang menempel pada salah satu sisinya.
Aneh. Bertahun-tahun tinggal di sini, belum pernah aku mendapat kiriman bunga. Apa mungkin ... Zay?
Sudah tiga hari ini aku menginap di rumah Mama. Di kampus pun, kami belum bertemu. Pertemuan terakhir kami, saat aku mempertanyakan tentang ....
Ah, masih perih ternyata.
Apa mungkin ini sebagai permintaan maafnya?
Kubuka kartu berwarna soft pink dengan gambar hati itu.
HAPPY BIRTHDAY, ALENA.
Ulang tahun?
Kulanjutkan membaca isi pesan tersebut.
Sebuah pesta kecil, untuk perempuan paling berpengaruh besar dalam hidupku. Kafe Javania jam lima sore.
Mungkinkah suamiku?
Apa aku harus bertemu dia?
Hah, melihat wajahnya saja, membuatku teringat kembali pada foto itu.
Jujur saja, masih ada rasa sakit saat harus membayangkannya kembali. Gambar Luna, berikut tulisan di bagian bawahnya. Mahakarya Zay, yang dihasilkan langsung dari hati. Aku yakin itu. Kalung, puisi, ucapan cinta. Semua terasa melebihi cintanya padaku.
***
Lima menit lagi menuju jam lima sore, tapi aku sudah berdiri di depan kafe. Menelisik wajah para pengunjung dari balik kaca pintu.
"Selamat sore, Teteh! Ada yang bisa saya bantu?" Seorang pelayan menghampiri.
"Sore juga, Mbak! Hmm, saya dapet undangan buat ketemuan di sini. Apa ada tamu yang memesan meja dengan nama--"
"Oh, Teteh ini Alena, ya?" selanya.
"Iya, saya Alena."
"Ya, tadi siang ada Aa yang dateng ke sini, lalu memesan meja dengan nama Alena," ucapnya ramah.
Aa?
Laki-laki?
Benarkah dia?
Pelayan itu memberi isyarat agar aku mengikutinya, hingga langkahnya berhenti di sebuah meja. Cukup manis, dengan taburan kelopak bunga mawar juga lilin sebagai hiasannya.
"Silakan duduk, Teteh!"
Aku mengangguk. Mengempaskan tubuh walau masih diliputi tanda tanya besar.
"Teteh mau pesen minum atau--"
"Nanti aja."
"Baik kalau begitu. Kalau ada apa-apa, silakan panggil kami. Permisi," pamitnya.
Kuberi sebuah anggukan.
Menit berlalu, aku menatap ke luar jendela. Hari hampir gelap. Payah! Dia yang mengundang, dia juga yang terlambat. Rasanya sudah hampir setengah jam aku menunggu.
Getaran ponsel terasa dari dalam tas, segera aku meraihnya.
"Halo, Kak Alfa! Ada apa?"
"Ih, adek aku ketus banget. Lagi kesel, ya?"
"Ada apa? Cepetan deh!"
"Cuma mau ucapin selamat ulang tahun. Maaf, Kakak lupa," ucapnya diakhiri tawa.
"Ada kado, ada maaf!"
"Yaah, minta kado! Udah gede juga. Ya deh, entar di rumah aja mintanya. Kakak baru beres kerja, bentar lagi pulang."
"Hmm, permintaan maaf diterima."
"Oke, deh, adek manjaku. Sampai ketemu."
"Eh, Kak--" Aku merapatkan bibir. Kak Alfa sudah memutus sambungan, padahal aku ingin mengatakan sedang berada di luar. Sudahlah, nanti juga dia tahu setibanya di rumah.
Aku menatap layar ponsel, banyak pesan dan telepon tak terjawab. Ternyata aku belum menonaktifkan mode silent sejak semalam.
Ada banyak nama yang tertera. Jihan, beberapa teman kampus, dan Zay. Lima teleponnya tak terangkat, dan tiga pesan belum terbaca.
Mungkinkah dia benar-benar ingin meminta maaf?
Aku putuskan membuka pesan darinya dulu.
"Alena."
Belum sempat kubaca, terdengar panggilan dari belakang. Dia sudah datang.
"Aku pikir kamu enggak bakalan datang, Len-Len."
Len-Len?
!
Aku berbalik cepat.
Pandanganku kabur seketika.
Lampu kafe memenuhi ruangan, tapi suasana di sekitarku terasa buram. Entah apa yang terjadi selanjutnya. Karena yang aku rasa, kepalaku mendadak berat.
Hingga semuanya berubah gelap.
***
"Alena ...."
"Kak Alfa?" Kupanggil dia meski penglihatanku masih samar.
"Kenapa bisa pingsan? Waktu Kakak telepon kenapa enggak bilang kalau lagi di luar? Kakak pikir kamu lagi di rumah." Kak Alfa berbicara tanpa henti.
"Aku ... di mana?" Sebelah tanganku memijat pelipis yang masih terasa berdenyut.
"Rumah sakit. Tadi ada yang telepon, ngasih tau kamu pingsan terus suruh Kakak jemput!"
Aku termangu.
Sedang Kaka Alfa, bisa kurasakan kekesalan itu hanya dari raut wajahnya.
Setelah merasa agak baikan, seperti biasa aku meminta pulang.
"Maaf, administrasi atas nama Alena Callisia Raharja sudah dilunasi semua, Pak!" Perawat itu tersenyum ramah.
Kak Alfa yang hendak menarik sesuatu dari dompetnya, menghentikan gerakan tangan seketika. "Loh, siapa yang bayar semua biayanya, Sus?"
"Kak ...." Aku meraih lengannya.
"Apa?"
"Elang ...."
"Elang apa?"
Aku menggigit bibir, gugup.
.
"Serius kamu lihat Elang?!!" Kak Alfa menginjak rem mobil mendadak.
"Hati-hati, dong," gerutuku sambil mengelus dada.
"Kamu yang mau bikin Kakak celaka!" Kak Alfa berdecak kesal. Sepertinya dia yang lebih kaget.
"Aku serius, Kak!"
Kak Alfa menggelengkan kepala, kemudian melajukan mobil kembali. "Mana mungkin, Alena. Kita tau 'kan, kalau Elang dibawa orang tuanya ke Singapura?"
"Bisa aja dia udah pulang ke Indonesia." Kembali aku bersikukuh.
"Halu kamu, Al! Gini nih, kalau lagi punya masalah sama suami, coba beresin cepet-cepet! Jadi berpengaruh 'kan sama kerja otak kamu!" Kak Alfa menunjuk kepalaku.
Suami?
Zay.
Cepat tanganku mencari sesuatu dalam tas.
"Selamat ulang tahun, Alena."
"Aku ke rumah Mama kamu sekarang."
"Kamu di mana? Dari tadi telepon aku enggak diangkat."
"Apa, gitu doang? Hambar," desisku kesal.
Kak Alfa menghentikan mobil di depan gerbang, lalu membunyikan klakson beberapa kali. Tak lama Bi Munah berlari kecil menghampiri.
"Maaf, Den. Ada mobil Pak Zay, pintu garasinya jadi ketutup."
"Oh, ya udah. Di sini aja dulu. Yuk, Len!" Kak Alfa membuka sabuk pengamannya.
"Kak ...."
"Hmm."
Aku meletakkan telunjuk di depan bibir. Kak Alfa mengangguk.
Saat memasuki halaman rumah, tampak mobil Zay terparkir di depan garasi.
Jadi dia serius? Lalu kenapa dia belum pulang juga?
Ah, setelah kejadian ini rasanya aku belum siap bertemu dengannya.
Memasuki rumah, Mama menyambutku dengan wajah cemas. "Lena, kamu bikin kuatir! Mama teleponin kamu. Kenapa enggak dijawab?"
"Marahin aja nih, Ma, bungsu Mama ini emang kerjaannya bikin repot sem ... aaww, sakit tau!" Kak Alfa melotot akibat cubitan di perutnya.
Aku memberi isyarat dengan menggerakkan tangan, menyuruh pergi.
"Ya udah, sewot!" Akhirnya Kak Alfa berlalu.
"Maaf, Ma. Tadi Alena dapat pesan dari Jihan, ternyata teman-teman Alena udah pada nungguin di kafe. Jadi ya, Alena pergi."
Mama menggelengkan kepala. "Kelakuan kamu, udah dua puluh dua tahun, masih saja mirip bocah! Lain kali kalau Mama belum pulang, telepon! Atau titip pesan sama Bi Munah, biar yang di rumah enggak kuatir. Untung kamu dijemput Alfa."
"Maaf." Aku tersenyum kecut, dengan sedikit rasa lega.
"Ya udah, sini Mama peluk dulu! Mama juga lupa, kalau hari ini bungsunya Mama ulang tahun." Mama memelukku. "Semoga bisa berpikir dewasa, udah jadi istri, loh!" sambungnya setelah melepas pelukan.
"Iya, Ma. Makasih." Dengan agak malu, aku tersenyum lagi.
Hingga tersadar.
"Zay ... mana?"
"Tuh, di kamar kamu. Kayaknya dia kecapean banget. Tapi masih sempetin ke sini, bawa kue pula." Mama menunjuk ke arah dapur. Di atas meja makan tampak kue ulang tahun yang masih utuh. Berhiaskan coklat dan strawberry, dengan lilin berangka 22.
"Alena."
"Ya, Ma?" Aku memalingkan wajah, menatap Mama.
"Belajar jadi istri yang baik, ya?"
Aku mengerucutkan bibir. "Selama ini Alena baik, kok!"
"Udah berapa malam kamu tidur di sini?" Mama mencubit hidungku. "Mama juga pernah muda. Pulang ke rumah orang tua sampai menginap bermalam-malam, itu artinya kalian lagi punya ... something problem."
"Cie, gayanya," ejekku.
"Hehehe, tadi Zay bilangnya gitu, sih! Ya, Mama tiru. Malam ini kalian tidur aja di sini, ya?" Sebuah belaian di kepala Mama berikan.
"Zay ngomong apa?" tanyaku ragu.
"Ya, itu. Zay sama Alena lagi punya something problem. Kurang lebih, gitu." Mama menatapku lekat. "Tau sendiri Mama enggak bisa nanya banyak sama dia. Menantu Mama kayaknya emang rada killer, ya?"
Aku tertawa pelan melihat ekspresi Mama. "Baru tau? Ya udah, kalau gitu Alena ke kamar dulu," pamitku. Lalu beranjak pergi setelah melihat Mama mengangguk.
Rasanya, dag dig dug jantungku saat berjalan menuju kamar. Tiap langkah kaki yang menginjak anak tangga, setiap itu pula aku merasa sebuah sentakan dalam dada.
Aku menarik napas panjang, lalu mengeluarkannya kembali. Seperti hendak menemui dia saat ujian, tak karuan.
Perlahan aku membuka pintu, dengan mata yang mencari sosok dirinya.
Ternyata dia di atas kasur, dengan mata terpejam.
Kututup pintu.
Dasar! Buat apa datang ke sini kalau hanya numpang tidur?
Merasa panas, gerah badan juga hati. Aku memutuskan mandi saja.
.
"Hah, segar!" seruku saat keluar dari kamar mandi. Lalu menggosok rambut yang basah.
"Jangan keseringan mandi malam-malam. Enggak baik buat kesehatan."
Aku menoleh. Dia berdiri di samping pintu kamar mandi, menyadarkan tubuh pada dinding dengan kedua tangan terlipat di dada.
"Bukannya udah tidur?" ketusku.
Satu sudut bibirnya terangkat. Lalu ....
"Jangan pergi lama-lama, Alena. Aku sudah terbiasa melihatmu di sampingku." Dia melangkah, mendekatiku.
Aku memalingkan wajah tak suka, tapi dia malah menarik tubuhku. Memelukku, menekan kepalaku ke dalam dadanya. Semakin lama pelukannya terasa begitu erat, membuat sesak napas.
"Stop! Kamu mau nyiksa aku? Aku bisa mati!" Aku berusaha berontak.
"Sebuah pelukan tidak akan membuatmu mati," sahutnya.
Aku dorong kedua tangannya kuat-kuat. "Gila kamu! Kamu mau bunuh aku?" Kutepuk dada yang terasa sesak. "Bisa mati mendadak kalau gini," sambungku, lalu berputar membelakanginya.
"Alena."
"Apa?!" sahutku kesal. Lalu ... kedua tangan itu kembali melingkar di perutku, hanya saja kali ini gerakannya lebih lembut.
"Kalau aku boleh meminta, aku mau mati bersamamu. Ditinggal mati itu sungguh menyiksa, Alena."
Tubuhku menegang. Bukan karena merasa geli karena desah napasnya di tengkuk leher, tapi ... perkataannya itu yang membuatku merinding.
Mati bersamamu?
Ditinggal mati?
Apa maksudnya?
*****
--bersambung--