"Makan apa hari ini," tanya Kania pada Iqbal yang baru saja mengambilnya dari Bandara. Iqbal membawakan koper Kania dengan santai.
"Apa kakak lo bilang gue harus traktir makan lo kalau sampai di sini?" tanya Iqbal sedikit tidak bersahabat. "Kenapa? Apa lo keberatan?" Iqbal memutar bola matanya malas.
"Bukan lagi, lo pergi tanpa uang sepersenpun dan baru aja sampai sini lo minta gue belikan makanan juga?" Kania menghela nafasnya berat. "Apa kaya gini respon lo sama sepupu jauh lo?" Iqbal membuang wajahnya kesal sekali.
Sekarang selain Iqbal diperalat oleh Tania, dia juga dipermainkan oleh adiknya. "Nanti gue traktir makan di Mall didekat sini, ke Mall punya ayah gue," Kania tersenyum lebar sekarang.
"Apa gue gratis belanja juga?" tanya Kania dengan mata penuh harapan. "Apa lo pikir pekerja disana semua barang jualannya punya ayah gue?" Kania tertohok dengan pertanyaan Iqbal.
"Apa lo punya uang? Ayo jalan-jalan dulu, gue perlu rileksasi. Di Vietnam benar-benar enggak ada waktu buat istirahat," Iqbal memutar bola matanya.
"Gue akan traktir lo, bukan berarti gue mau jalan-jalan sama lo. Tugas gue cuma jamput lo dan gue arahkan lo ke Apartemen punya ayah gue. Gue enggak punya waktu buat pergi jalan-jalan sama lo, konsepnya enggak gitu," Kania meringis.
"Apa kakak gue mau?" Iqbal mengangkat bahunya tidak tahu. Mereka berdua masuk mobil milik Iqbal dengan masih diam.
Kania duduk di kursi dekat kemudi dan Iqbal masih mengemudi mobilnya dengan santai. "Lo suka sama orang yang udah punya pacar?" tanya Kania membuat Iqbal meringis mendengarnya.
"Apa aja yang Tania ceritakan ke lo memangnya?" Kania menggelengkan kepalanya jika yang diceritakannya tidak banyak. "Lo suka sama Salsha, Salsha suka sama Aldi, Aldi suka sama Salsha dan kakak gue," Iqbal tertawa mendengarnya.
"Kenapa mempersulit keadaan, lo bisa suka sama kakak gue dan kakak gue bisa suka sama lo. Aldi sama Salsha pacaran, selesai kan?" Iqbal melirik Kania tidak bersahabat. "Apa lo pikir lo bisa mengatur hati lo mau suka sama siapa?" Pertanyaan Iqbal membuat Kania terdiam.
"Apa sesusah itu? Kalau menurut gue si Aldi itu harus tegas. Kalau dia mau sama kakak gue ya lepaskan aja Salsha biar sama lo kalau si Aldi itu mau sama Salsha kenapa lo enggak sama kakak gue? Enggak harus repot-repot panggil gue ke Indonesia dan ganggu gue hidup tenang. Merepotkan banget," Iqbal sedkit berpikir keras saat Kania mengatakan penyelesaikan tersebut.
"Apa lo pikir kalau masalah bisa selesai dengan segampang itu kakak lo bakal panggil lo? Kalau bisa selesai dari awal kenapa lo harus ke sini?" Kania menghela nafasnya lelah. "Gue harus meninggalkan pacar gue di Vietnam, gue enggak bisa setahan itu buat LDR," keluh Kania membuat Iqbal melirik Kania tidak suka.
"Kakak lo yang mau, gue enggak minta dia buat panggil lo ke sini. Lagian, apa-apaan lo ke sini, merusak suasana aja," cibir Iqbal membuat Kania memutar bola matanya malas.
"Jadi maksud lo merusak suasana karena gue mantan pacar lo gue jadi merusak suasana hati lo?" tanya Kania membuat Iqbal meringis kesal, Kania mengangkat kedua alisnya bergantian menggoda Iqbal. "Apa lo masih belum bisa move on dari gue, heh?" Iqbal memutar bola matanya malas.
"Kalau gue enggak bisa move on kenapa gue bisa suka sama Salsha?" tanya Iqbal menyingkirkan pikiran positis Kania terhadapnya, Kania berdecit kesal. "Gue harap lo enggak baper untuk kedepannya," Kania memutar bola matanya malas.
"Gue punya orang lain yang harus gue jaga perasaannya sampai detik ini," Iqbal menganggukan kepalanya. "Bagus kalau lo benar-benar berpikir ke sana," jawab Iqbal tidak memperpanjang masalah mereka.
Iqbal mengendari mobilnya dengan santai, dia menghentikan pada Mall yang tidak asing oleh mereka berdua. "Apa ayah lo enggak ada keinginan buat memperluas Mall ini? Gue rasa dari beberapa tahun terakhir Mall ini masih sama," Iqbal tidak menjawab.
Iqbal berjalan keluar dari mobilnya dan berjalan santai meninggalkan Kania untuk membuntutinya dari belakang. "Gue butuh dua porsi," Iqbal menganggukan kepalanya tidak keberatan.
"Gue tahu makan lo banyak," Kania tertawa mendengarnya. "Apa lo masih ingat semua tentang gue juga?" Iqbal melirik Kania sebentar lalu menatap kearah lain lagi. "Apa yang harus gue ingat dari lo? Kita enggak ada apa-apa dan enggak ada yang harus diingat juga. Enggak ada kenangan apapun," Kania mengangkat bahunya tidak perduli.
"Ayo ke bisokop dulu," ajak Kania menarik tangan Iqbal untuk mengantri nonton bioskop. "Apa-apaan ini, lo minta makan dan sekarang lo alasan buat pergi nonton? Kalau lo enggak lapar biar gue antar lo pulang aja sekarang," ucap Iqbal dengan tegas. Dia menarik tangannya sendiri dari Kania.
"Kenala lo emosional banget sama gue, apa salah gue minta nonton bareng sama lo?" tanya Kania pada Iqbal yang manis melihatnya tidak bersahanat. "Salah," jawab Iqbal cepat, dia melipat kedua tangannya berpikir lain.
"Apa salahnya?" Iqbal memutar bola matanya malas. "Lo ngerengek minta ini itu ke mantan pacar lo sedangkan lo punya pacar, lo pikir gue apa yang mau-mau aja nurut semua kemauan lo? Gue udah enggak ada hak dan kewajiban buat mewujudkan apa yang lo minta karena kita enggaka da status yang jelas," Kania memutar bola matanya sedikit tertawa.
"Kita mantan kan? Status gue jelas sama lo, lo mantan gue dan gue mantan lo," jawab Kania ringan sekali, Iqbal memutar bola matanya malas. "Kan, aish," umpat Iqbal saat tidak bisa berbicara dengan benar pada Kania.
"Apa lo masih belum move on dari gue?" Iqbal menatap Kania meremehkan. "Gue risih dan enggak suka kalau cewek punya cowok justru kegatelan sama cowok lain, terlebih gue mantan pacar lo sendiri. Apa lo pikir gue akan suka dan bersimpati sama lo kalau lo aja enggak bisa menghormati status pacar lo sendiri?"
Kania meringis mendengarnya, dia menggigit bibirnya gugup. "Maaf gue ninggalin lo tanpa kabar," Iqbal memutar bola matanya malas. "Kan, jangan bahas masa lalu. Gue udah anggap lo mantan gue setelah satu tahun lo biarin gue sendirian,"
"Gue tahu ini kasar, tapi asal lo tahu Kan. Awalnya gue percaya kalau hubungan kita 'waktu itu' akan berlanjut sampai gue mengenalkan ke bunda. Sayangnya lo lebih milih pergi dan lo cuma kenal sampai ayah, ayah bukan kunci lo bisa sampai sedekat itu sama gue," Kania menundukan kepalanya, dia diam saja.
Hal ini membuat Iqbal merasa bersalah sampai menjelaskannya sejauh ini. "Lupakan apa yang gue bicarakan tadi, semua udah beda sekarang. Lo udah punya pacar dan gue lagi memperjuangkan cewek yang gue suka. Bedanya, lo ada jarak cukup jauh dengan LDR dan gue punya jarak status yang membuat gue harus berpikir keras kalau jalan yang gue ambil benar-benar baik buat gue dan cewek yang gue suka buat kedepannya,"
"Lihat ke depan aja Kan, lo akan sakit dan enggak bahagia dengan melihat masa lalu. Biarkan aja masa lalu buruk menjadi pelajaran dan cerita. Kita udah berbeda jalan sekarang," Kania menganggukan kepalanya, dia tersenyum sebentar.
"Ayo makan, gue rasa kita butuh waktu luang sedikit hanya untuk mengenang masa lalu buruk kita berdua," Iqbal menggelengkan kepalanya tidak setuju. "Makan aja, lo jangan berpikir untuk mengenang masa lalu. Karena pada dasarnya, gue mau lo ajak makan karena lo adik dari Tania bukan sebagai mantan atau masa lalu gue," Ah, Kania merasakan ada yang sakit di dalam jantungnya.
Dia tersenyum miris, semuanya karena keluarganya. Momy dan Dady nya, Aish. Kenapa Kania hidup tidak bahagia, kenapa Kania harus mendapat masalah hanya karena haus pengakuan dan harapan dari momy dady nya. Ini buruk sekali.
"Ada apa?" tanya Iqbal saat Kania melihatnya sangat serius. "Lo masih sama, lo tegas, lo kuat sama pendirian dan prinpis lo, enggak ada yang berubah sampai sekarang. Perbedaannya cuma satu Bal, lo lebih dewasa dan bijaksana sama pilihan lo sendiri," Iqbal tersenyum mendengarnya.
"Lo belum berubah sama sekali,"