"Hari ini lo semakin tua," cibir Iqbal langsung merangkulkan tangannya pada Salsha, dia sudah tidak menahan diri untuk melakukan ini dan itu karena pada dasarnya mereka benar-benar tidak bisa saling menjauh. Sekalipun, ah sudahlah.
"Gue tahu, beban di pundak gue juga semakin lebih berat dari sebelumnya," jawab Salsha melirik Iqbal cukup kesal. "Memang, bertambahkan waktu dan umur membuat lo semakin lebih banyak membawa tanggung jawab dan keputusan lo sendiri," Salsha memutar bola matanya malas. Bukan itu maksud Salsha sebenarnya.
"Bukan itu," Alis Iqbal terangkat sedikit. "Maksud lo?" Salsha memutar bola matanya malas. "Tanggan lo lebih berat," Iqbal terkekeh mendengarnya, dia mengambil tangannya dan berjalan santai seperti biasa di samping Salsha.
"Apa lo enggak kangen tangan gue? Dia suka refleks main rangkul, udah kebiasaan soalnya," Salsha berdecit pelan, dia juga terkekeh mendengarnya. "Sedikit, tapi lo semakin berat hari ini," Iqbal menganggukan kepalanya. "Gue makan banyak akhir-akhir ini," ucap Iqbal memberitahu Salsha.
"Karena lo makan romantis dengan Mantan lo?" Iqbal tertawa puas saat melihat Salsha sedikit mengejeknya. "Karena gue lihat lo enggak bahagia sama Aldi," Mata Salsha sukses memutar sebal. "Gue benci ngomong ini, tapi apa yang lo bicarana memang benar adanya. Aldi lebih 'hanya' posesif, enggak sungguh-sungguh juga mau membuat hubungan sama gue," jawab Salsha sekenanya.
"Apa dia datang ke rumah lo sebagai pacar tadi malam?" Salsha menganggukan kepalanya. "Iya, bawa kue dan kado," Iqbal menaik turunkan dua alisnya bergantian. "Lo dapat kado apa?" Salsha membuang wajahnya tidak senang. "Gaun warna merah muda, gue rasa Aldi bukan bermaksud belikan gue dengan warna itu karena yang gue tahu semua barang Tania warna merah muda," Iqbal terkekeh mendengarnya.
"Lo masih menaruh benci sama Tania?" Salsha menganggukan kepalanya matap sekali. "Gue tahu gue egois, tapi gue benar-benar risih dia ada di dekat Aldi dan gue benci lihat wajah dia," Salsha kesal sekarang, Iqbal hanya mengelus puncak kepala Salsha.
"Lo harusnya bersyukur masih punya Aldi," Salsha memutar bola matanya malas. "Gue rasa lebih baik enggak ada hubungan ini daripada ada tapi enggak untuk ada," Iqbal terkekeh mendnegarnya. "Jalani dulu, nanti lo bisa nangis sebagai teriakan minta tolong dari lo ke gue. Gue akan bantu nanti," Salsha menghela nafasnya berat.
"Gue rasa gue salah ngomong ini ke lo," ucap Salsha tiba-tiba sekali, Iqbal memutar bola matanya malas. "Seharusnya iya, lo ngomong ke gue sebagai 'orang yang suka' sama lo, dan lo bilang kaya gini ke gue membuktikan kalau lo benar-benar mberi harapan besar ke gue," Salsha terkekeh mendengarnya.
"Sejujurnya gue memang 'memberi' karena gue sadar. Kalau hubungan gue sama Aldi kaya gini-gini aja gue lebih milih sama lo yang benar-benar mau serius sama gue," Iqbal total tertawa kencang sekarang.
"Apa secara enggak langsung lo memberu lampu hijau buat gue untum berjuang lebih keras?" Salsha menganggukan kepalanya. "Iya, kenapa gue harus memberi lampu merah terus sama orang yang bisa membuat gue bahagia nantinya? Gue perlu memberi lo lampu hijau untuk membuat gue bahagia," Iqbal tertawa keras mendengarnya.
"Jangan gini, gue takut sama Aldi," Salsha memutar bola matanya malas. "Gue benci bilang ini, tapi gue 'sedikit' mulai nyaman sama lo," Bibir Iqbal membentuk wajah aneh mendengar reaksi Salsha.
"Gue baper, lo tanggung jawab," Salsha menggelengkan kepalanya. "Jadi coowk harus kuat. Segini aja baper," cibir Salsha membuat Iqbal sedikit tersenyum masam.
"Lo masih sama Sal, belum berubah. Gue rasa gue menyesal jauhin lo," ucap Iqbal mengatakan hal sesepele ini pada Salsha. "Apa lo bodoh bilang kaya gini ke gue?" Iqbal membuang wajahnya tidak merespon. "Gue selalu bodoh berada didekat lo, gue rasa kepintaran dan fungsi otak gue mati karena fungsi mata gue mengalahkan otak gue," ucap Iqbal membuat Salsha sedikit malu mendengarnya.
"Ternyata cinta dari definisi lo bukan buta," komentar Salsha terhadal Iqbal, Iqbal menganggukan kepalanya. "Karena fungsi mata gue mengalahkan semua fungsi organ di tubuh gue," Salsha memutar bola matanya melihat Iqbal. "Kenapa? Ini fakta. Gue jauh, dan lihat lo enggak bahagia sama Aldi aja gue semakin berisi," Salsha tertawa mendengar pengakuan Iqbal.
•••
"Apa lo antar Salsha sebelum gue?" Aldi memutar bola matanya malas. "Apa supir lo masih belum datang dari kampungnya? Apa istrinya masih belum bisa memandikan bayi mereka? Apa dia juga masih betah dengan istri dan anaknya? Gue benci dan sampai sekarang harus mondar mandir antar jemput lo," Aldi jujur sekali.
Sayangnya Tania tidak ingin membahasnya lebih jauh lagi. "Kenapa? Bukannya diawal lo enggak keberatan?" Aldi hanya bisa menghela nafasnya berat. "Mungkin untuk satu dua minggu gue baik-baik aja. Tapi kalau untuk setiap hari gue rasa Salsha akan tahu," Tania berdecit sebal. "Gue rela-rela aja pulang pagi-pagi buta demi bantuin lo beliin kue dan kado buat pacar lo," Aldi memutar bola matanya malas.
"Akan lebih buruk lagi kalau Salsha tahu ternyata lo pergi beli kado sama gue," ucap Tania memberi sedikit penekanan pada Aldi. Aldi berdecit sebal dia tidak bisa melakukan apapun sekarang.
"Tutup mulut lo, gue akan terus antar jemput lo setiap hari. Tenang aja," Tania tersenyum puas pada Aldi. Demi apa ini adalah keberuntungan.
Tania benar-benar sangat bahagia, dia bahkan tidak bisa mendefinisikan kebahagiaan yang sedang dia rasakan sekarang.
"Semua rahasia lo yang menyangkut gue akan terjaga dan terkunci rapat selama gue enggak dirugikan," Aldi menarik satu senyumnya terpaksa.
Dia benar-benar bodoh terkunci dengan Tania, dan lebih bodohnya Aldi lagi dia menikmatinya tanpa ingat jika 'Salsha adalah pacarnya' hubungan yang ditunggu-tunggu benar-benar tidak berjalan dengan baik. Mereka berdua menyimpan perasaannya sangat lama. Dan mereka sendiri yang tidak menikmatinya dengan tenang.
Mungkin Salsha dan Aldi benar-benar menginginkan hubungannya. Tapi, pihak ketiga di pikiran mereka benar-benar lebih jauh menggiurkan dari yang sebenarnya sedang terjadi.
"Ayo keluar dari mobil sebelum Salsha curiga kenapa gue telat lagi," Aldi lebih dulu pergi dari mobilnya dan berjalan santai. "Gue rasa yang seharusnya hati-hati gue, bukan lo," ucap Tania dengan sedikit tersenyum melihat Aldi berjalan terburu-buru ke kelasnya.
"Gue rasa gue enggak salah kalau gue menikmati hari sekarang, kalaupun gue enggak dapat Aldi dengan mendapat semua waktu Aldi sekarang dan yang diprioritaskan membuat gue jauh lebih beruntung dari yang mendapat hubungan resminya," gumam Tania berjalan menyusul Aldi dia hanya ingin sedikit memperlihatkan kedekatan Iqbal dan Salsha lagi.
Rencananya hari ini akan dibuka sedikit-sedikit. Dengan membuat Salsha kembali dekat dengan Iqbal, dan membuat Kania juga mendominasi Iqbal. "Gue rasa kalau Salsha punya perasaan lebih sama Iqbal, dia akan cemburu nanti," lirih Tania sedikit tersenyum.
Langkahnya ikut berhenti saat Aldi berhenti disatu tempat dengan menatap seseorang dengan mata tajam. Ah itu!
"Kenapa enggak masuk?" tanya Tania mengalihkan fokus Aldi, Aldi memutar bola matanya malas saat Tania pura-pura bodoh. "Apa menurut lo gue harus bantu Iqbal pacaran sama Kania aja? Gue marah lihat Salsha sama Iqbal," Tania terkekeh mendengarnya.
"Tapi detik ini lo lagi sama gue, apa gue juga harus membantu Iqbal pacaran sama Salsha agar gue enggak dirugikan nantinya?" tanya Tania dengan sedikit meledek pada Aldi. Tania berhasil mengalihkan tatapan Aldi padanya. "Kenapa, apa gue salah? Gue lebih enggak suka saat Iqbal sama Kania. Karena Kania adalah adik gue,"
Aldi benar-benar terkejut sekarang. "Adik lo?" Tania menganggukan kepalanya. "Kalau lo enggak suka Iqbal sama Salsha, tegaskan hati dan tindakan lo. Lo mau Salsha atau gue, agar lo tahu. Siapa yang seharusnya diperlakukan dengan baik dan siapa yang seharusnya mendapat satu orang yang hanya mendapat satu perhatian penuh dari lo,"
"Gue lebih mengharapkan jawaban lo daripada semua omong kosong lo selama ini," sambung Tania langsung masuk ke kelasnya dengan wajah biasa saja.