Di dalam harem ini, punya anak dan tidak punya anak akan mendapat perlakuan yang sangat berbeda.
Jangankan melahirkan seorang pangeran, meskipun hanya melahirkan seorang putri, itu juga jauh lebih baik daripada selir yang tidak melahirkan apa-apa.
Tujuan mereka adalah perhatian dari kaisar, dan punya anak adalah dasar untuk kehidupan mereka.
Saat ini Selir Ning sudah berumur tiga puluh tahun lebih. Dibandingkan dengan selir-selir muda baru yang baru saja memasuki istana, dia bisa dibilang sudah tua. Beberapa tahun ini kaisar sangat jarang datang lagi ke istananya untuk bermalam.
Namun walau begitu, orang lain tetap tidak berani meremehkannya. Bagiannya tidak boleh kurang sedikit pun. Hari-harinya di istana sangat nyaman, bahkan permaisuri juga harus memberinya sedikit muka.
Semua ini karena dia telah melahirkan pangeran keempat.
Selir Ning tidak banyak berpikir ketika mengetahui bahwa permaisuri memanggilnya. Setelah menambahkan sedikit riasan, dia pun naik tandu dan pergi ke Aula Jiaofang.
Dayang dengan hati-hati membantu Selir Ning turun.
Saat melihat gerbang Aula Jiaofeng yang megah di depannya, Selir Ning berdecak. Dalam hati dia sedikit menghina, juga agak iri.
Sebagai penguasa istana keenam, Permaisuri Qin terlihat sangat mengesankan, orang-orang ingin menyenangkannya. Tetapi semua orang tahu dengan sangat jelas bahwa Permaisuri Qin sebenarnya adalah ayam betina yang tidak bertelur. Selama bertahun-tahun ini, selain satu kali kehamilan di tahun-tahun awalnya, setelah itu dia tidak pernah mengandung lagi.
Kaisar dan ibu suri tidak mengizinkan semua orang membicarakan tentang ini, tapi semua orang juga tidak bodoh. Mereka bisa menebak, pasti permaisuri telah membuat tubuhnya terluka sewaktu keguguran dulu sehingga menyebabkan dia tidak pernah hamil lagi.
Selir Ning bukan hanya sekali berpikir bahwa Permaisuri Qin menduduki tempat yang tidak pantas didudukinya.
Jelas-jelas tidak melahirkan anak tapi tetap menduduki posisi permaisuri tanpa mau memberikannya kepada orang yang lebih pantas, sungguh tidak tahu diri!
Dayang mengingatkan dengan suara pelan, "Hati-hati dengan ambang pintu."
Selir Ning melangkah melintasi ambang pintu Aula Jiaofang yang tinggi dan berjalan masuk ke dalam. Kemudian dia membungkuk memberi hormat kepada permaisuri.
Permaisuri Qin mengenakan gaun berwarna hitam berlengan lebar. Dengan mengenakan pakaian berwarna gelap seperti ini di tubuhnya, itu membuatnya semakin tampak dingin dan tidak simpatik.
Dayang Zhenzhu maju dua langkah sambil memegang saputangan sutra, di dalam saputangan itu tergeletak sebuah liontin giok bundar.
Permaisuri Qin bertanya, "Ini benda dari istana Selir Ning, kan?"
Ketika melihat liontin giok itu, pupil mata Selir Ning agak menciut.
Tanpa sadar dia meraih lengan bajunya dan memaksakan senyuman di wajahnya, berusaha untuk membuat dirinya terlihat tenang dan natural.
"Ini adalah benda yang diberikan oleh ibu suri kepadaku tahun lalu. Akhir-akhir ini saat mengatur barang-barang aku tidak melihatnya. Kukira aku tidak berhati-hati dan menghilangkannya. Aku hendak melaporkannya ke bagian rumah tangga dan meminta mereka untuk membantu mencarinya. Tidak disangka benda itu bisa jatuh ke tangan permaisuri."
Permaisuri Qin berkata dengan dingin, "Liontin giok ini ditemukan pada seorang dayang yang bernama Tan Hua."
Selir Ning berkata dengan cepat tanpa berpikir, "Aku tidak mengenal orang ini."
"Aku tidak peduli kamu mengenal Tan Hua atau tidak, aku hanya tahu bahwa Tan Hua ingin membunuh pangeran dengan meracuninya, dan liontin giok milikmu ada pada Tan Hua."
Selir Ning pucat ketakutan, "Aku tidak pernah berpikir untuk meracuni pangeran, aku tidak bersalah!"
"Tidak bersalah?" Permaisuri Qin tersenyum sinis, "Di harem ini, tidak ada seorang pun yang tidak bersalah."
"Aku benar-benar difitnah, mohon permaisuri memeriksanya!"
Selir Ning berlutut dan bersujud, berlapis-lapis keringat dingin sudah muncul di punggungnya.
Permaisuri Qin menatapnya dengan sorot mata dingin, "Liontin giok ini adalah barang bukti rencana pembunuhanmu terhadap pangeran. Walaupun kamu tidak mau mengakui kesalahanmu, namun hari ini aku tetap tidak akan mengampunimu. Pengawal, seret Selir Ning ke bawah lalu beri hukuman tiga puluh kali pukulan dengan tongkat."
Selir Ning berteriak ketakutan, "Ampun, Permaisuri!"
Dua orang ibu-ibu yang kuat berjalan masuk. Mereka memegangi lengan Selir Ning satu di kanan dan satu di kiri serta menutup mulutnya, lalu dengan kasar menyeretnya keluar.
Segera setelahnya, terdengar suara jeritan mengenaskan Selir Ning dari luar.