Happy Reading and Enjoy~
Luna menganggapnya pembunuh orangtua gadis itu dan membencinya, sementara kenyataannya tidaklah seperti itu. Sementara dirinya menyayangi pria yang sudah dianggapnya sebagai keluarga, padahal nyatanya pria itulah dalang di balik kematian orangtuanya.
Takdir mempermainkan mereka dengan kejam.
"Ada apa, Allard? Wajahmu tampak tegang."
Suara itu terdengar ramah. Ciri khas Jovan yang selalu menanyakan keadaannya di setiap pertemuan mereka, seolah-olah lelaki itu benar-benar peduli pada Allard.
Allard tidak menjawab, hanya matanya yang menghusnus tajam. Lalu dengan cara yang tidak sopan ia mengedikkan dagunya untuk mempersilahkan Jovan duduk.
Biasanya Allard akan berdiri lalu bersalaman dengan Jovan sebagai bentuk rasa hormatnya.
Jovan tersenyum kecil, masih tampak ramah-atau lebih tepatnya berpura-pura ramah.
"Ada apa paman ke sini? Aku sedang sibuk." Allard melemaskan punggungnya di sandaran kursi.
Sikapnya menunjukkan secara terang-terangan bahwa ia tidak ingin diganggu.
"Apa ada masalah?" Makasih dengan nada ramah yang terasa menjijikkan.
Suara Jovan tampak khawatir, jika saja ia tidak tahu kebenarannya mungkin saat ini dirinya sudah merasa nyaman.
"Ada." Allard mencondongkan tubuhnya, wajahnya lebih kaku dan serius.
Membuat sikap Jovan yang awalnya santai berubah tegang. "Kuharap bukan masalah serius," katanya.
"Sayangnya ini lebih besar dari sekadar serius. Ini masalah yang bisa menghancurkan hidupmu, paman." Ia sengaja menekankan kata paman agar terdengar lebih sinis.
"Aku menemukan pembunuh orangtuaku."
Seketika wajah Jovan memucat, tapi lelaki itu mencoba terlihat santai dan antusias. "Itu kabar yang bagus. Beritahu aku dimana orang yang telah membunuh Tuan Jarez dan Nona Liliana."
Allard tersenyum sinis. "Aku tidak bisa menangkapnya, dia sangat licik dan keji."
"Kita tahu semuanya sia-sia, Allard. Kita sudah berusaha mencari pelakunya selama bertahun-tahun, tapi hasilnya masih saja nihil."
"Apakah paman benar-benar membantu mencari pembunuh kedua orangtuaku?"
"Tentu saja. Tuan Jarez orang yang telah berjasa dalam hidupku, dia baik dan selalu menolongku. Aku tidak akan bisa melupakan kebaikannya."
Allard mengepalkan jarinya kuat-kuat, menahan dorongan mendesak untuk melayangkan pukulannya ke wajah Jovan sekarang juga.
"Paman banyak berteman dengan dunia bawah, mengapa sampai bertahun-tahun pencarian tidak menemukan hasil apapun? Atau paman ... berpura-pura mencari?"
Padahal ia berniat untuk berbicara dengan nada dingin tanpa adanya unsur kesinisan, nyatanya gagal. Allard tidak bisa menahan dirinya lebih lama lagi. Ia bakal mati jika harus menunda kesabarannya.
Beberapa hari belakangan ini Arthur membantunya mengumpulkan semua bukti-bukti, bahkan mereka berhasil menangkap salah satu anggota bertato kupu-kupu. Meskipun bukan tato kupu-kupu bewarna hitam, tetapi sudah lebih dari cukup untuk mengorek infomasi.
Jovan tertawa canggung, mulai tidak nyaman dengan sikap Allard yang terkesan sinis dan dingin. Sebab, ini pertama kalinya Allard bersikap seperti itu padanya.
"Mengapa kau seolah meragukan paman, Allard? Aku sudah mengerahkan semua yang kubisa untuk mencari pembunuhnya, tapi mereka adalah musuh yang sangat kuat. Dan itu adalah kasus bertahun-tahun yang lalu, sangat sulit menemukan pelakunya."
Allard menegakkan tubuhnya, memperhatikan penampilan Jovan dengan sikap yang terkesan kurang ajar.
"Aku punya seorang teman yang turut membantuku dalam menyelidiki kasus ini, aku sudah lupa berapa lama kami berteman, yang pasti aku mengenalmu lebih dulu dari pada dia. Kemampuannya dan kemauannya ikut campur dalam urusanku baru terhitung 3 tahun. Selama 3 tahun itu dia banyak memberikan petunjuk dan bukti-bukti orang yang terlibat dalam pembunuhan orangtuaku. Tentu saja aku tidak menyalahkan paman karena tidak bisa menemukan pelakunya, hanya saja aku bertanya-tanya apakah paman benar-benar mencari dan membantuku?"
"Pertanyaanmu sungguh aneh." Jovan tertawa singkat, wajahnya yang semula pucat berangsung memerah. Masih mengira dirinya dalam posisi aman.
"Sudah kukatakan bahwa aku berhutang nyawa pada Tuan Jarez. Akupun sangat ingin menghukum orang keji yang telah membunuhnya."
Jovan mengeluarkan cerutu, menghidupkan api lalu menghisapnya. Ia berjalan ke arah balkon sembari mengangkat sedikit cerutunya ke arah Allard, mengisyaratkan bahwa ia ingin merokok.
Allard mengangguk, tahu bahwa Jovan tidak bisa duduk terlalu lama dengan keadaan yang terlalu mendesaknya. Biarkan lelaki itu tenang sebentar sebelum menimpakan bom.
"Kau tidak boleh bekerja terlalu letih, Allard. Terkadang terlalu letih bisa mengakibatkan halusinasi meningkat, sehingga membuat kita tanpa sadar memikirkan sesuatu yang seharusnya tidak perlu dipikirkan."
Allard mengangkat aslisnya sebelah. Apa lelaki tua itu mencoba menyindirnya karena Allard sudah mencurigainya?
Baik jika lelaki itu masih belum mau mengaku dan berpura-pura benar.
"Mari kita jujur, paman. Kenapa paman menyelamatkanku tetapi membunuh kedua orangtuaku? Seharusnya paman membunuh seluruh anggota keluargaku agar bisa mewarisi semua kekayaan ayahku."
Tubuh Jovan menegang, lelaki itu langsung membuang cerutunya dan berbalik menghadap Allard.
"Apa yang kau bicarakan, Allard?"
"Semua sudah jelas, Jovan. Jangan pernah mengelak lagi." Allard mendengus.
"Pantas saja selama ini aku kesulitan menangkap pembunuh orangtuaku, ternyata dalang di balik ini semua orang terdekatku yang selama ini berpura-pura baik. Rasanya aku ingin menertawakan hidupku sendiri. Kau pasti bahagia memainkan peran dengan baik lalu tertawa dibelakangku karena menikmati hasil dari permainanmu."
Allard berdiri lalu menghampiri Jovan dengan langkah lebar.
Jovan sendiri memilih tetap berdiri tegak dengan mengangkat dagunya tinggi. Menunjukkan bahwa lelaki tua itu tidak merasa takut.
"Aku tidak menyangka akan ketahuan secepat ini. Temanmu itu harus diberi penghargaan." Nadanya terdengar sombong.
"Kupikir kau selamanya menjadi bodoh. Allard yang malang—"
Bugh!
Satu pukulan kuat mengenai wajah Jovan hingga membuat lelaki tua itu terjatuh, ada darah segar yang mengalir dari hidungnya.
Kedua mata Allard menggelap, tangannya terkepal erat. Ia membungkuk lalu mencengkram kerah kemeja Jovan.
"Aku akan membunuhmu, bajingan!" desisnya geram sebelum kembali melayangkan pukulan secara bertubi-tubi.
Jovan berusaha membalas, tetapi tentu saja tidak bisa mengimbangi kekuatan Allard. Lelaki itu batuk darah, terkapar lemas di lantai.
"Kau ... uhuk, tidak bisa membunuhku. Anakku sudah menjadi istrimu."
Jovan berusaha duduk, mengelap mulut beserta hidungnya yang berdarah. Ia terkekeh sebelum kemudia kembali terbatuk.
"Jangan memasang ekspresi seperti itu, Allard. Jika kau tidak percaya, lakukan saja tes DNA pada Luna dan juga aku." Ia terbatuk-batuk sambil terkekeh.
"Kau pikir aku semudah itu memberikan anakku pada ayahmu," Jovan terbahak, "sungguh scenario yang indah."
"BANGSAT!"
Allard kembali melayangkan pukulan bertubi-tubi, menghantam tanpa mau repot-repot memikirkan bahwa nyawa seseorang bisa saja melayang di tangannya yang kosong.
Toh, selama ini ia juga sudah banyak menumpahkan darah dan nyawa.
"GREY!"
Hanya perlu waktu tiga detik sampai Grey masuk ke dalam ruangan, berdiri dengan wajah kaku seperti biasa. Matanya melirik sekilas ke arah Jovan yang terbaring tidak sadarkan diri.
"Aku mau kau melakukan tes DNA padanya dan juga Luna. Sekarang!"
"Baik, Tuan." Grey menggerakkan dagunya, menyuruh anak buahnya agar membawa tubuh Jovan. Mengangguk sedikit sebelum pergi meninggalkan Allard yang masih mengepalkan tangannya dengan wajah dingin.
Bersambung....
Halo👋 cerita Arthur sudah tersedia di wattpad dengan judul Slave Bird ya. Bagi yang mau kepoin cerita orangtua Arthur juga bisa baca di Innovel/Dreame dengan judul Clara Prison.
Ngomong-ngomong Wedding Doll sudah tersedia di aplikasi Play book. So, yang penasaran sama kelanjutannya bisa langsung beli ya. 🙂
kalian bisa lihat bio instagram aku ya. Mesir_Kuno8181