Chereads / Wedding Doll / Chapter 48 - 48

Chapter 48 - 48

Happy Reading and Enjoy~

Allard menepati ucapannya, setelah sidang untuk yang terakhir kalinya mereka resmi bercerai. Ironisnya Allard langsung menyuruhnya pergi setelah mereka berdua menandatangani surat perceraian.

Lelaki itu tanpa rasa kasihan menyuruhnya pergi hanya dengan satu koper pakaian beserta satu set baju yang di kenakannya tanpa memberinya apapun.

Luna diantar ke rumahnya yang lama, tapi setelah sampai rumah itu ternyata sudah menjadi milik orang lain. Bagaimana bisa!? Meskipun bukan anak kandung dari Joan dan juga Yessie, bukankah namanya tercantum sebagai orang yang mendapat harta warisan? Mengingat kedua orangtua angkatnya itu tidak memiliki anak selain dirinya?

Seolah tahu dengan pikiran Luna, Grey berdehem.

"Rumah ini dijual untuk menutupi semua hutangnya, nona."

Tidak heran, akibat bangkrut mereka tidak punya apa-apa lagi. Lalu sekarang bagaimana? Kembali ke rumah orangtua kandungnya? Ke rumah Jovan? Tapi ia tidak tahu dimana.

Tidak boleh terlihat lemah, apalagi di hadapan Grey yang notabene tangan kanan Allard. Dengan penuh percaya diri Luna mengangkat dagunya, berbicara dengan nada santai.

"Kau bisa tinggalkan aku."

Ya Tuhan, ia tidak punya apapun. Rasanya ia ingin meraung di teras mantan rumahnya ini.

"Baiklah kalau begitu, saya permisi dulu, nona."

Grey membungkukkan badannya sekilas, seolah mengingat sesuatu tubuh lelaki itu menegang.

"Sekarang kau bukan nonaku lagi, jadi aku bebas untuk mengejekmu. Aku cuma mau bilang kalau mulai sekarang, nikmatilah masa-masa indahmu, Luna. Kau akan kelaparan dan menjadi orang gila dalam seminggu."

Tidak memberi waktu bagi Luna untuk merasa terkejut, Grey sudah melangkah pergi ke dalam limusin yang membawanya tadi.

Meninggalkan Luna yang berdiri seperti orang bodoh.

Kini ia mulai menyesali kenapa dulu tidak memperbanyak teman. Satu-satunya teman dekat yang ia punya hanya … Derald. Ah, mengapa ia melupakan sahabatnya yang satu itu. Senyumnya mengembang, kini ia tidak perlu memikirkan tempat tinggal untuk beberapa hari ke depan.

Keluarga Derald pasti ingin membantunya, mereka sudah saling mengenal dengan baik. Rumah Derald juga tidak jauh dari sini, hanya berjalan kaki beberapa meter sudah sampai. Dengan langkah ringan seolah satu beban berat di pundaknya hilang, Luna melangkah dengan riang.

Napasnya terputus-putus saat berdiri di hadapan pagar rumah Derald. Maklum, koper yang dibawanya besar dan ia sudah kehabisan tenaga untuk menggeretnya. Luna membunyikan bel beberapa kali. Mengelep peluh di dahinya dan memasang wajah ceria, siap tersenyum ke arah layar intercom.

"Siapa?"

Suara asing menyambutnya, mungkin itu pembantu Derald yang baru.

"Luna Ananta, tolong katakan pada bibi Maria bahwa aku di sini."

"Maria? Maaf Anda salah alamat, nona. Tidak ada Maria di sini."

"Bisakah kau bukakan gerbang ini untukku? Aku perlu bertemu dengan pemilik rumah ini."

Ia tidak tahu berapa lama hidup dengan Allard, tapi tidak mungkin keluarga Derald pindah semudah itu, kan? Mereka sudah berada di sini bahkan sebelum Luna tinggal di kawasan ini, bagaimana bisa sekarang memutuskan untuk pindah?

"Saya tidak mengenal Anda, nona, dan saya tidak diperbolehkan untuk membukakan pintu bagi orang asing."

"Ck, aku rasa kau pekerja baru di sini. Dengar, aku teman baik dari pemilik rumah ini, aku sudah bersahabat dari kecil dengan Derald, anak dari pemilik rumah ini dan juga tuanmu."

Pintu gerbang terbuka dan Luna bersiap memberikan senyum terbaiknya, tetapi urung ketika melihat seorang wanita yang berdiri di hadapannya. Tidak ada yang aneh dari penampilan wanita ini, hanya sedikit menakutkan.

Tubuhnya lebih tinggi beberapa senti dari Luna, rambutnya bewarna merah menyala dan juga sedikit keriting, oh tidak sedikit, melainkan banyak.

Di sekitar hidung dan sebagian pipinya terdapat bintik-bintik merah, lalu ada beberapa tindikan di sekitar daun telinganya.

"Kau siapa?"

Suaranya berbeda dengan yang berbicara di layar intercom tadi, suaranya lebih berat dan tegas.

"Saya Luna Ananta, teman dari anak pemilik rumah ini."

"Aku pemilik rumah ini, belum menikah dan juga tidak punya anak."

Luna tersenyum kikuk. "Apakah Anda tau pemilik sebelumnya rumah ini pindah kemana?"

"Tidak tau, dan itu bukan urusanku."

Wanita menyeramkan itu membanting pintu gerbangnya kuat, membuat dengungan yang menggema. Luna menelan ludah dengan susah payah. Sekarang bagaimana?

Sudahlah, sebaiknya ia menginap di teras rumahnya— atau lebih tepat mantan rumahnya terlebih dahulu sampai bisa menemukan penginapan yang cocok dengan isi kantongnya.

Sialnya di kantongnya tidak ada apapun, sama sekali.

Seperti kata Grey, ia akan menjadi gila di jalanan.

Dengan gontai ia melangkah ke rumahnya. Tadi ketika datang gerbangnya masih terbuka dan ia juga melihat rumah itu kosong tanpa penghuni. Semoga kali ini keberuntungan berpihak padanya.

Tapi sayang apa yang diharapkan tidak terwujud, gerbang yang tadi terbuka kini terkunci! Bagaimana bisa? Dan ia juga melihat mobil bewarna merah terparkir di halaman rumahnya yang dulu.

Pemilik asli rumahnya sudah kembali, itu artinya tidak ada tempat tinggal yang bisa menjadi harapannya.

Oh sial, mengapa di saat-saat seperti ini air matanya mengalir? Luna akan terlihat lemah. Ia harus kuat tidur di jalanan malam ini.

Mungkin tidur di luar gerbang mantan rumahnya tidaklah buruk, tapi mengingat bagaimana peraturan di komplek ini yang langsung mengusir para pengganggu sepertinya tanpa rasa kasihan membuat Luna mengurungkan niatnya.

Ia berjalan tanpa arah dan tujuan hingga langit berubah hitam dan kedua kakinya mati rasa. Luna haus dan juga lapar, tapi dimana ia bisa mendapat makanan? Selama 20 tahun ia hidup tidak pernah mengalami kesusahan, selain perlakuan kasar dari Allard.

Makanan dan tempat tinggal bagaikan putri dalam dongeng, dan kini ia merasa kelaparan. Sesuatu yang terdengar tidak masuk akal.

Ia berhenti di pinggir jalan, di perumahan yang sunyi dan juga gelap. Tempat yang cocok untuknya bermalam. Luna membongkar kopernya, mengambil beberapa helai pakaiannya untuk dijadikan alas tidurnya.

Hawa dingin merasuk hingga membuatnya sedikit menggigil. Tuhan, semoga malam ini ia bisa tidur dengan selamat. Tentu saja itu doa yang sia-sia, Luna sama sekali tidak bisa memejamkan matanya.

"Sepertinya tempat ini cocok untukmu."

Seketika tubuh Luna menegang, rasa malu dan marah merangkup menjadi satu. Seolah tidak melihat kedatangan Allard, Luna memejamkan kedua matanya rapat-rapat.

Untuk apa lelaki itu menemuinya? Dan bagaimana bisa Allard tau bahwa ia berada di sini? Apa lelaki itu mengikutinya? Pikiran bahwa Allard mengikutinya membuatnya sedikit besar kepala.

"Berpura-pura tidur, eh? Tentu saja tempat ini cocok untukmu. Aku mengunjungi klub yang berada di dekat sini, tidak menyangka bertemu dengan wanita malang yang butuh pertolongan."

Allard memang bermulut tajam, ia hanya perlu menulikan pendengarannya.

Sehelai kertas jatuh tepat di hadapannya.

"Hubungi nomor itu jika kau berubah pikiran, tidak perlu menjadi istriku, kau bisa bekerja denganku dan aku akan membiayai kehidupan mewahmu. Aku tidak ingin menakut-nakutimu, tapi perlu kau tau bahwa kau tidur beberapa meter dari klub. Semoga kau selamat dan tidak menjadi bodoh."

"Dengar, aku tidak butuh bantuanmu sedikitpun. Lebih baik aku mati daripada menghubungimu."

Gagal sudah ia berpura-pura tuli, dia pikir siapa dirinya hingga Luna harus menggantungkan hidupnya pada lelaki itu. Ia berdiri, melemparkan kertas kecil yang tadi di berikan Allard tepat di wajah lelaki itu.

"Jangan terlalu percaya diri, aku bisa mengurus diriku sendiri."

Allard tersenyum sinis, lelaki itu tidak marah melainkan memundurkan tubuhnya dengan menutup hidungnya dengan cara yang menjengkelkan.

"Mengurus dirimu sendiri? Aroma tubuhmu bahkan terasa menjijikkan."

Luna memejamkan matanya, rasa malu yang sangat naik hingga membuat kedua pipinya memerah. Jangankan mandi, minum saja ia tidak bisa. Kerongkongannya terasa kering, perutnya terasa sakit.

"Memohon padaku." Allard mendekat, menatap tajam kedua matanya yang sayu.

"Satu kali permohonan maka aku akan mengabulkan satu permintaanmu."

"Persetan! Sampai mati aku tidak akan pernah memohon padamu. Bercerai denganmu adalah pilihan yang tepat, aku tidak akan merendahkan diriku dengan meminta permohonan pada mantan suamiku!"

Allard terkekeh, tawanya terdengar sinis.

"Mantan suami? Hmm, aku suka sebutan itu."

Lelaki itu berbalik. "Kau sudah menentukan pilihanmu sendiri, kalau begitu aku akan menunggumu yang datang sendiri menemuiku."

"Di dalam mimpimu!''

Napasnya terengah menahan emosi. Kepalanya berdenyut hingga membuatnya meringis. Sial, sejak tadi ia berjalan di bawah terik sinar matahari tanpa minum dan makan. Jangan, jangan sekarang jika ia jatuh pingsan. Jangan dihadapan Allard, atau setidaknya sampai Allard pergi menjauh.

Lebih baik ia segera menyebrang ke arah jalan. Luna melangkah cepat dengan terhuyung, ia harus pergi meninggalkan Allard.

Sementara pengendara truk yang menunggu moment ini tersenyum di balik kemudinya. Supir truk itu menancap full gas, lalu berjalan searah dengan Luna yang sedang menyebrang.

Luna tidak menyadari, ketika ia menoleh tubuhnya sudah terdampar jauh. Dan rasa sakit yang sangat serta bau anyir yang menyengat memenuhi indra penciumannya.

''LUNA!''

Napasnya terputus, pandangannya mengabur, terakhir yang diingatnya Allard menjeritkan namanya dengan nada khawatir luar biasa.

Bersambung....

Halo👋 cerita Arthur sudah tersedia di wattpad dengan judul Slave Bird ya. Bagi yang mau kepoin cerita orangtua Arthur juga bisa baca di Innovel/Dreame dengan judul Clara Prison.

Ngomong-ngomong Wedding Doll sudah tersedia di aplikasi Play book. So, yang penasaran sama kelanjutannya bisa langsung beli ya. 🙂

kalian bisa lihat bio instagram aku ya. Mesir_Kuno8181