Chereads / Wedding Doll / Chapter 42 - 42

Chapter 42 - 42

Happy Reading and Enjoy~

Denyutan mematikan langsung menghampiri kepalanya ketika Allard duduk. Menatap dengan dahi berkerut ke sekeliling ruangan. Bau obat-obattan yang menyengat serta seluruh dinding yang bewarna putih sudah menjelaskan dimana ia berada saat ini.

Allard mengerang berlebihan, memijat-mijat dahinya pelan. Mencoba berpikir apa penyebab dirinya bisa berakhir disini. Hal terakhir yang diingatnya adalah berita mengejutkan dari Arthur yang membuatnya berakhir di kamar Luna dengan keadaan … menangis dan mabuk.

Oh shit!

Itu sesuatu yang sangat memalukan. Bagaimana bisa dirinya menangis di depan gadis keras kepala itu. Sial, sial, sial. Apa yang akan dipikirkan Luna tentang dirinya nanti, oh, betapa bodoh dirinya.

Allard menoleh pada kaca jendela besar di samping ranjangnya. Matahari sudah berada di atas kepala, entah berapa lama dirinya tertidur. Tubuhnya bahkan terasa kaku. Ia merenggangkan badannya, dan langsung meringis ketika sengatan rasa sakit menerpa kulit luar jantungnya.

Allard membuka kaus biru khas rumah sakit itu, menatap heran ke arah perban yang melilit tubuhnya. Mengapa ada perban di badannya?

Damn!

Selamat Allard, berita buruk membuatmu berakhir dalam kebodohan.

Suasana hatinya berubah buruk, matanya menggelap dengan aura mematikan. Ia tidak pernah kehilangan kendali dirinya sendiri, tapi mengapa bisa …

Terlebih di hadapan wanita yang … Ah, bahkan ia tidak bisa membayangkannya.

Pintu terbuka dan Arthur melangkah masuk. Lelaki itu mengenakan tuxedo abu-abu, dari penampilannya sudah bisa dipastikan bahwa lelaki itu baru saja kembali dari kantornya.

"Bagaimana keadaanmu?"

Suara Arthur yang ceria membuat kekesalan dalam dirinya bertambah. Tatapan sinis dilayangkan pada teman lamanya itu.

"Sangat buruk."

"Sepertinya aku harus menyampaikan kabar baiknya saja, mengingat keadaanmu memburuk." Arthur memilih duduk di sofa yang berada di ruangan itu.

"Sejauh yang kuingat kau tidak pernah menyampaikan kabar baik," timpal Allard masih dengan nada sinis.

Arthur tertawa renyah, sebelum nadanya berubah serius. "Aku mencampuri urusanmu, dan aku minta maaf soal itu. Aku memberitahu Luna bahwa dia adikmu."

"Fuck!" Allard mendesis. Jika denyutan keras tidak menghantam kepalanya secara bertubi-tubi, mungkin saat ini ia sudah melayangkan pukulan pada wajah Arthur.

"Mau sampai kapan kau sembunyikan kebenaran itu darinya, Allard—"

"Mau sampai kapan itu bukan urusanmu! Oh, sial!" Allard mencengkram rambutnya, mencoba mengurangi denyutan di kepalanya.

"Luna pingsan, tapi satu jam yang lalu dia sudah sadar dan menolak untuk bertemu siapapun."

Seharusnya ia melayangkan pukulan pada Arthur lalu melihat keadaan Luna, alih-alih ia kembali membaringkan tubuhnya.

"Aku ingin memberitahunya setelah dia melahirkan anakku."

"Kau gila!" Arthur menatapnya sengit. Tahu bahwa Allard tidak pernah ingin punya anak, itu artinya lelaki itu tidak akan memberitahu Luna sampai kapanpun bahwa mereka bersaudara.

"Jangan berpura-pura suci sementara kau juga meniduri kembaranmu," sahut Allard sinis. Detik kemudian tawa ironis meluncur dari bibirnya.

"Kita orang berdosa yang seharusnya tidak hadir di dunia."

"Baiklah, lupakan soal dosa. Sekarang kita akan membahas masalahmu dengan Paman Jovan, apa yang akan kau lakukan?"

Allard menerawang, menatap langit-langit rumah sakit dengan pandangan sendu. "Aku akan menghentikan pemburuan pada kelompok yang telah membunuh kedua orangtuaku, kerena aku sudah tahu dalang di balik ini semua. Tidak bisa dikatakan benar-benar berhenti, sebab aku masih ingin membunuh satu persatu siapapun yang terlibat di dalam pembunuhan itu. Untuk Paman Jovan …."

Ia terdiam. Sulit rasanya menghukum seseorang yang selama ini dianggap sebagai keluarga, terlebih dahulu ia mengira telah berhutang nyawa pada bajingan itu.

"Aku akan menghentikan satu persatu kerja sama yang dijalin perusahaanku dengan perusahaannya. Aku juga akan berhenti mengirim uang bulanan pada keluarganya, aku akan membuat dia bangkrut lalu membunuhnya beserta seluruh keluarganya. Semua harus mati, tanpa tersisa."

Ucapannya bagaikan titah, tidak ada yang bisa mengubahnya. Setelah ia menyelesaikan masalah Paman Jovan barulah ia bisa menyelesaikan masalahnya dengan Luna. Tapi apa yang harus diselesaikan dengan wanita itu?

Menjelaskan bagaimana mereka bisa menjadi saudara?

Allard mengerang, rasanya itu sia-sia. Ia juga tidak pernah ingat Ibunya melahirkan serta membesarkan anak, satu-satunya ingatan yang segar di dalam kepalanya ketika Ibunya memperkenalkan Luna Ananta sebagai adiknya.

Itulah yang membuatnya tidak pernah mau mencari tahu keberadaan keluarganya, karena Allard berpikir bahwa dialah satu-satunya anak yang dimiliki kedua orangtuanya. Dan ketika pertama kali bertemu dengan Luna, perasaan akrab itu menyelimutinya.

Dugaannya semakin besar ketika penyelidikannya tentang keluarga Joan terbukti, dan ingatan tentang Joan yang mengambil Luna dulu terlintas di pikirannya. Perlahan perasaan bersalah dan marah mencekiknya, menjadi satu dalam balutan sikapnya yang gila.

Ia marah karena Luna merasa nyaman tinggal dengan musuh yang telah membunuh kedua orangtua mereka, ia merasa bersalah kenapa tidak mencari keberadaan Luna sejak dulu.

Seharusnya apapun itu perasaan yang dirasakannya tidak bisa membenarkan perbuatannya yang menikahi bahkan meniduri adiknya sendiri, terlebih ia sudah berbuat kejam kepada Luna, tapi siapa yang peduli dengan peraturan alam? Allard manusia kotor.

"Aku akan memastikan pergerakanmu aman. Kau bisa berbuat semaumu sementara aku yang bertugas menutupi."

Suara Arthur membuatnya kembali pada nostalgia singkatnya, lupa bahwa sedari tadi temannya itu masih duduk di sofa.

Mengangguk singkat, ia bergumam mengucapkan terima kasih.

Meskipun bajingan Arthur mencampuri urusannya, setidaknya lelaki itu masih bisa diandalkan.

"Kau tidak ingin melihat Luna? Kurasa keadaannya cukup buruk."

Bertemu dengan gadis itu setelah semua hal memalukan yang dilakukannya tidaklah mudah, wanita itu pasti mengejeknya.

"Mengapa kau seperhatian itu padanya?" Tanpa sadar suaranya terdengar ketus. Membuat Arthur tersenyum menjengkelkan. Sial!

"Tenang, dude. Aku hanya mengatakan keadaannya cukup buruk, tidak ada masalah dengan kalimat itu."

Ia bisa mendengar Arthur mengatakannya dengan senyuman. Oh, Allard membenci dirinya sendiri, belakangan ini ia hanya mempermalukan dirinya sendiri. Apakah mengetahui orang yang paling dipercaya ternyata mengkhinatinya membuat Allard berubah menjadi bodoh?

"Keluar," perintahnya dingin.

Bukannya menuruti ucapannya, Arthur malah tertawa. Tubuhnya berguncang hebat hingga pipinya memerah.

"Ayolah, aku tidak percaya kau cemburu padaku."

"Cemburu? Kalimat apa yang kau gunakan." Alard berdecih, yang membuat Arthur semakin tertawa keras.

"Pergi selagi aku masih bersikap lembut. Jangan paksa aku berbuat kasar lalu menyeretmu ke halaman rumah sakit."

"Kau pikir aku takut? Aku bukan gadis perawan yang tunduk pada kemarahanmu seperti Luna," ejek Arthur masih tertawa geli.

Allard memejamkan kedua matanya, mencoba menghilangkan emosi yang menyelimutinya. Tapi cukup! Ia sudah tak tahan.

"Bangsat! Kemari kau!"

Ia langsung berdiri, mengabaikan denyutan mengerikan di kepalanya, berjalan dengan langkah lebar ke arah Arthur yang langsung melesat keluar sambil terbahak.

***

Si bangsat Arthur membawanya ke ruangan tempat Luna berada. Lelaki itu berlari ke arah ruangan Luna yang terletak tepat disebelah kamar inapnya. Dengan santai berkata. "Dia ada di dalam, temuilah."

Setelah cukup lama berpikir akhirnya Allard memutuskan untuk masuk. Luna duduk dengan rambut yang tergerai jatuh di sisi kepalanya. Tangannya sibuk mengupas apel sementara matanya fokus pada pekerjaannya.

Saat melihat pintu terbuka, Luna langsung mendongak dengan sikap was-was. Matanya membesar dan tubuhnya kaku ketika melihat Allard masuk. Tadinya ia berpikir wanita itu akan mengejeknya, tetapi nyatanya sikapnya masih sama seperti yang lalu-lalu.

Allard menyipitkan matanya ketika melihat Luna semakin tidak fokus. Wanita itu bahkan meletakkan pisau beserta apelnya ke meja di samping ranjang.

"A-allard, ada yang ingin kutanyakan padamu. Tolong jawab yang jujur." Luna meremas kedua tangannya.

Allard hanya bergumam, memilih berdiri sembari melipat kedua tangannya dan memperhatikan wanita itu dengan sikapnya yang dominan seperti biasa.

"Aku tidak percaya, tapi perkataan Arthur benar-benar menggangguku. Jawab sejujurnya, apakah aku … adik kandungmu?"

Allard menghela napas kasar. Sudah begini ia tidak mungkin menutupinya lagi. Luna menatapnya dengan sorot memohon, meskipun mata besar itu diselimuti rasa takut.

"Ya, kau adik kandungku."

Wanita itu seketika pucat. Membasahi bibir bawahnya yang terasa kering, ia melanjutkan. "A-apakah benar bahwa kedua orangtuaku yang selama ini kau rawat adalah orang yang … yang membunuh orangtua kita?"

Allard hanya mengangguk sebagai jawaban. Tubuh Luna menegang, cairan tak diundang mulai berdatangan dari sudut matanya.

"A-apakah tujuanmu membunuh mereka untuk membalas dendam, karena ternyata merekalah yang membunuh orangtua kita?"

Lagi-lagi Allard mengangguk. Seketika Luna menggigil, menatap Allard seolah dia sudah gila.

"Ji-jika kau tau seperti itu, mengapa kau masih menikahiku? Dan … dan kenapa kau menyiksaku?"

Allard berjalan mendekat, mencengkram kedua bahu Luna yang kecil.

"Karena aku marah padamu, kenapa kau bisa nyaman dan menangisi mereka sementara merekalah yang membunuh kedua orangtua kita. Kau tidak tau betapa kejinya bangsat itu menusuk mayat ayah kita. Kau tidak pernah tau bagaimana tercelanya mereka merampas secara paksa nyawa orangtua kita. Kau tidak akan pernah tahu bahwa selama bertahun-tahun itu adalah mimpi buruk yang selalu menghantuiku! Aku marah padamu, dan itu caraku menghukummu!"

"Kau memperkosaku!" Luna berteriak, napas hangat wanita itu menerpa wajah Allard. Sebulir air mata disusul air mata lain berjatuhan secara berkejaran dari matanya yang indah.

"Apa itu juga termasuk caramu dalam menghukumku!"

"IYA!" Gejolak amarah memupuk menjadi satu. Allard merasa dirinya tidak berdaya.

"Aku kesulitan menahan nafsuku, dan caraku melindungimu hanya dengan menikahimu."

"Kau gila!" Luna terisak. Tangannya yang kecil memukul-mukul bahu Allard, mencoba melepaskan diri. Ia semakin memberontak ketika Allard melingkarkan kedua lengannya di bahu Luna. Menarik tubuh wanita itu masuk dalam dekapannya.

"Lepas!" Luna semakin gencar memberontak. Isak tangis wanita itu terdengar semakin sendu, napasnya terputus-putus.

"Aku tidak punya saudara, kau bohong!"

Allard mengusapi punggung Luna, mencoba menenangkannya. Sesekali ia memberikan kecupan di ubun-ubun wanita itu.

"Kau bo-bohong!" Luna sesenggukan.

"Kita bisa melakukan tes DNA jika kau mau. Maaf karena selama ini aku tidak pernah mencarimu, dan maaf karena menyakitimu."

Luna menggeleng, suaranya terdengar parau dan serak ketika mengucapkan kalimat yang memang seharusnya diucapkan. "Tolong ceraikan aku, Allard. Kumohon …."

Bersambung...

Halo👋 cerita Arthur sudah tersedia di wattpad dengan judul Slave Bird ya. Bagi yang mau kepoin cerita orangtua Arthur juga bisa baca di Innovel/Dreame dengan judul Clara Prison.

Ngomong-ngomong Wedding Doll sudah tersedia di aplikasi Play book. So, yang penasaran sama kelanjutannya bisa langsung beli ya. 🙂

kalian bisa lihat bio instagram aku ya. Mesir_Kuno8181