Chereads / Diary Cia / Chapter 3 - Mistis

Chapter 3 - Mistis

25 Desember 2018.

"Kamu mungkin boleh tidak percaya dengan kehadiran sosok yang tidak terlihat, tetapi kamu harus menghargai bahwa mereka benar-benar ada. Itulah kenyataannya yang kadang tidak dipercayai oleh beberapa orang."

-adpdita-

"Banguuunnnn!."

"Bangun, udah jam 02.00 pagi, ayo siap-siap buat summits(Naik kepuncak)." Teriak Raffi dengan tegas.

Dimas terbangun akibat suara bising Raffi, sementara Aku dan Vania tetap tidur dan tidak menghiraukan ucapan Raffi, tentu Raffi terus mencoba membangunkan kami.

"Sudahlah, biarkan mereka istirahat, mungkin mereka masih cape. Kita masak aja yuk, nanti pasti mereka bangun." Ucap Dimas karena melihat kami tidak bangun-bangun juga.

"Yaudah, ayoo" Jawab Raffi.

Dimas dan Raffi pergi memasak diluar tenda. Terdengar dengan jelas dari luar tenda banyak pendaki yang sedang summits menyapa mereka, dan mengajak mereka summits. Aku terbangun karena suara bisik itu, dan akupun langsung keluar tenda.

"Eh, Ci udah bangun?" Kata Dimas dengan kaget.

Aku terdiam dan tidak menghiraukan Dimas. Tubuhku masih lemas, diriku masih mengantuk, aku masih ingin melanjutkan tidurku. Selama 20 menit aku terdiam, kemudian aku berdiri karena ingin buang air kecil. Aku memanggil Vania didalam tenda untuk menemaniku, tapi Vania tidak mau karena masih ngantuk. Aku sudah tidak bisa menahannya lagi, hingga ku putuskan untuk pergi sendiri.

Aku memberitahu Dimas dan Raffi, mereka melarangku untuk pergi sendirian tapi aku memaksanya. Mereka melarangku untuk pergi jauh dari tenda. Aku menyetujui hal itu, kemudian aku pergi naik mencari tempat yang aman untuk membuang air, tiba-tiba seorang wanita memanggilku.

"Cii.."

"Ciaaaa." Hatiku gemetar dengan cepat, perasaan yang tidak pernah aku rasakan. Tapi suara itu tidak asing bagiku, aku hanya terdiam ditempat itu.

"Ci, kok kamu cuma diem padahal aku panggil kamu berkali-kali." (Sambil menepuk pundakku wanita itu berkata seperti itu.) Aku mencoba menengoknya, ternyata dia Vania.

"Eh kamu van, aku pikir tadi kamu masih tidur." Jawabku dengan lega. Tapi aku tetap merasa ada sesuatu yang aneh.

"Kamu mau kemana? Aku ikut dong." Kata Vania.

Aku terdiam sejenak, aku teringat bahwa tadi aku sudah mengatakan ke Vania jika aku ingin buang air kecil, walaupun dengan tertidur Vania dengan jelas menolakku. Aku menarik nafas.

"Ah, mungkin itu hanya perasaanku saja, mungkin Vania tadi tidak mendengar ku." Ocehku dalam hati, mencoba untuk perfikir yang positif.

Sambil berjalan aku menceritakan pada Vania jika aku ingin pergi buang air kecil hingga akhirnya kami menemukan tempat itu dan aku tidak tersadar jika itu lumayan jauh dari tempat tendaku. Aku langsung buang air dan cebok dengan air yang ku bawa.

"Yuk Van pulang, aku udah selesai." Kataku pada Vania.

Vania tidak menjawabku, ia langsung pergi dari tempat itu, tentu saja aku langsung mengikutinya karena aku takut sendirian. Perasaanku kacau, aku heran dengan sikap Vania padaku. Aku terus melangkahkan kaki mengikuti Vania, kami sudah turun sekitar 5 menit, tapi tidak kunjung sampai ke tempat tenda kami. Bulu kudukku merinding, pikiranku benar-benar kacau, aku sangat ketakutan, sepanjang turun Vania sama sekali tidak mengobrol denganku. Aku melihat ada rombongan pendaki yang sedang summits dan beristirahat dijalur pendakian. Aku merasa lega, tiba-tiba satu lelaki menyorotiku dengan senter yang ia bawa.

"Eh manusia." Teriak lelaki itu.

"Kok sendirian si neng." Teriak salah satu teman rombongan nya.

Aku merasa bingung dengan tingkah mereka.

"Mba, dari mana kok sendirian?." Tanya lelaki yang menyorotiku. Aku terkejut dengan pertanyaan mereka, padahal aku melihat dengan jelas kalau Vania ada didekatku. ku amati semua orang yang ada di rombongan itu, dari ujung rambut sampai kaki, aku terkejut ketika melihat kaki mereka karena tidak satupun dari kaki mereka yang menyentuh tanah.Tubuhku langsung gemetar, aku tidak bisa berkata apapun, aku ingin sekali berteriak tapi mulutku tidak bisa ku regakan. Aku melihat kebawah, dan aku melihat Dimas dan Raffi yang sedang memasak. Aku langsung turun, berjalan kearah mereka.

"Cia, kamu tadi habis dari mana?." Teriak Vania yang sedang memasak air bersama Dimas dan Raffi. Aku terkejut, kulihat kebelakang, tidak ada satupun orang di belakangku, padahal tadi Vania dibelakangku dan rombongan pendaki yang ku temui juga sudah tidak ada. Tubuhku menjadi semakin lemas. Aku sangat terkejut dengan kejadian itu, aku hanya terdiam, cukup lama sembari menungcap salawat dan bersyukur dalam hati untuk menenangkan diriku. Aku bersyukur bisa sampai kembali kepada teman-temanku. Hal itu membuatku syok, ini adalah pengalaman pertama yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Pikiranku semakin kacau, aku ingin menangis. Tetapi aku tidak mau teman-temanku khawatir dan syok jika aku menceritakan kejadian tadi.

Waktu kian berlalu, aku masih duduk dengan cemas. Ku lihat jam pada tanganku, waktu menunjukkan pukul 04.00 pagi, ketiga temanku menyiapkan perlengkapan makan untuk kami sarapan di dalam tenda. Ku tatap dengan tajam Vania yang sedang memegang makanan.

"Astaghfirullah, jauh-jauh pikiran ini, pergi! Pergi!" Batinku dengan wajah kesal.

"Kenapa?", Vania.

Aku hanya tersenyum, Aku membantu teman-teman menyiapkan makanan, untuk sedikit menenangkan pikiranku. Setelan semua beres, aku dan yang lain masuk tenda untuk makan.

"Abis makan kita langsung pergi summits yuk." Ajak dimas.

"Tunggu. Sebelum pergi summits kita cuci alat makan dulu." Saran Viana.

"Boleh tuh, nanti kalau kita pulang summits kelaparan kan tinggal masak, ngga perlu cuci alat dulu." Jawab Raffi.

"Kalian pergi summits habis makan aja, biar aku yang mencuci alat makan, aku ngga ikut summits, aku masih cape. Aku ngga mau kalau nanti udah ditengah jalan aku kecapekan dan malahan kita turun. Kalian pergi aja tanpa aku." Ucapku dengan lemas.

Mereka hanya melihat ku, mereka terdiam kebingungan, mereka juga curiga dengan keadaanku, mereka tidak tahu apa yang terjadi denganku. Mereka mencoba menghiburku, dan melupakan untuk pergi summits.

*****

Jam menunjukkan pukul 05.30 pagi.

"Cia, kita summits yuk, sayang loh udah sejauh ini, kita coba naik dulu, nanti kalau kamu kecapean kita istirahat atau mungkin kita turun saja." Saran Dimas padaku.

"Iya ci, kita coba dulu. Kalau kamu ngga ikut summits aku juga ngga ikut." Kata Vania.

"Ayo ci, kita dari rumah berempat, masa iya nanti kami sampai puncak kamu engga, ayolah ci, kalaupun nanti kamu ngga, kuat kami juga ngga memaksa kok. Keselamatanmu jauh lebih penting dari pada puncak." Kata Raffi yang sedikit meyakinkanku.

Aku terdiam dan melihat ke luar tenda, hari sudah mulai terang. Aku pikir tidak ada salahnya aku pergi summits, lagi pula tadi malam mungkin cuma halusinasiku karena aku kecapekan. Aku juga tidak mungkin terus keras kepala untuk tidak pergi summits, kasihan teman-temanku.

Aku menganggukan kepala.

"Ayo kita pergi summits." Kataku dengan semangat.

Aku dan Vania pergi mencuci peralatan makan di samping tenda, sementara Dimas dan Raffi menyiapkan alat dan logistik untuk bekal kami naik. Setelah selesai kami berdo'a dan langsung naik menuju pos 6. Sekitar 30 menit kami sampai di pos 6, dan kami hanya istirahat untuk minum air putih saja, kami melanjutkan perjalanan ke pos 7.

Ditengah-tengah perjalanan, kami dikejutkan dengan kehadiran jalak hitam didepan rombongan kami. Kami semua terdiam.

"Ya allah apalagi ini." Kataku dalam hati.

Dan tiba-tiba aku teringat kepada sebuah artikel yang menjelaskan, jika ada jagak hitam datang dalam satu rombongan itu adalah pertanda baik,  jalak hitam itu hanya ingin menunjukkan jalan pada rombongan tersebut.

"Jagak itu petunjuk jalan kok. Aku pernah membaca artikel tersebut, yuk kita jalan lagi." Kataku pada mereka.

Mereka sebenarnya tidak percaya, tetapi mereka menghargaiku. Mereka tetap kebingungan dan kami hanya saling pandang.

"Tidak apa-apa." Kataku sambil tersenyum untuk meyakinkan mereka.

kami melangkahkan kaki untuk melanjutkan perjalanan kami, gagak itu terus ada didepan rombongan kami.

"Cia, lihat ini, bunganya bagus." Teriak Vania dari depanku.

"Jangan dipetik, itu bunga edelweis." Kataku pada Vania.

Aku dan Vania berhenti untuk melihat bunga langka itu, sementara Dimas dan Raffi terus berjalan.

"Kami jalan dulu ya, nanti aku tunggu di pos 7." Teriak Raffi.

Aku dan Vania mengangguk. Kami mengabadikan bunga itu dan pemandangan sekitar, sudah lama sejak Dimas dan Raffi berpisah dengan kami, tetapi kami tidak menyadarinya. Kami ke-asikan memotret, tiba-tiba...

"Neng...."

"Neng...."

"Tungguuuuuu." Teriak lelaki yang keberadaannya masih jauh dibawah kami.

Kami tidak menghirukannya, kami terus memotret.

"Neng." Teriak lelaki tadi, yang tiba-tiba sudah ada di dekat kami.

Aku dan Vania terkejut, kami hanya saling pandang, tidak lama kemudian kami menengok ke arah lelaki tersebut.

Aku dan Vania semakin terkejut.....