Kerutan di dahi lelaki dengan paras sempurna itu semakin dalam. Dahinya mengernyit setiap ia melirik ponselnya yang sampai sekarang belum berdering sejak ia berada di kursi kebanggaannya. Kembali menghela napas dan kemudian membuangnya kasar. Rey menggeram dan sontak membuat beberapa karyawannya langsung berjingkat terkejut.
Beberapa karyawan yang duduk disana menatap rekan kerja mereka masing-masing dengan gelengan pelan sekaligus bingung. Melihat betapa pemimpin mereka terlihat tidak fokus sejak meeting di mulai di detik pertama.
"Pak Rey." Panggilan dari sekretaris pribadinya tak membuat Rey mengalihkan pandangannya.
"Pak, bagaimana dengan ide yang Bu. Mirna katakan." Dan sekali lagi Rey tak menjawab pertanyaan tersebut.
"Pak." Hingga tepukan pelan di bahu sebelah kirinya membuat Rey menolehkan kepalanya dan menaikkan sebelah alisnya.
"Kenapa?" gumamnya. Yang langsung mendapat senyum tipis dari sekretarisnya memaklumi.
Hari ini benar-benar hari yang menguras Emosi. Rey selalu menggerutu dan membentak setiap kali para karyawannya melakukan kesalahan sekecil biji matahari. Masalah yang sebenarnya tak seharusnya ada.
Hampir semua karyawan di Atmadja Corp mulai tegang dan merasa enggan untuk bertatap muka dengan Rey. Mewanti-wanti agar mereka tak mendapat bentakan super pedas yang Rey lakukan. Atau kalau perlu mereka berharap tak ada panggilan untuk masuk keruangan bos-nya itu.
Hampir jam istirahat dan lelaki tampan itu belum juga bisa menghubungi kekasihnya. Matanya seperti tak lepas memandangi ponselnya yang sejak tadi ia letakkan di depannya. Mengabaikan beberapa laporan yang harus ia tanda tangani seperti semestinya.
"Hahhh..." Rey mendesah. Kemudian melonggarkan dasinya untuk menghirup oksigen sebanyak mungkin agar emosinya menurun.
.
.
.
Arata sudah siap dengan segala macam pertanyaan yang akan Rey keluarkan untuknya. Perempuan itu sudah menarik napas dalam dan mengeluarkannya dengan pelan.
Apa yang akan Arata lakukan jika sudah bertatap muka dengan Rey?
Apa yang akan perempuan itu perbuat jika Rey sudah menatapnya seperti belatih tajam?
Ahhh... kenapa pula ia harus kehabisan baterai? Dan apa gunanya powerbank jika tidak di gunakannya. Hingga membuat seorang Rey harus menyuruh salah satu pewagainya untuk menemuinya secara langsung.
Arata kembali menarik napas dan kemudian melangkahkan kaki jenjangnya untuk menemui seorang Reynaldy.
"Astaga mbak Arata. Untung kau datang." salah satu karyawan yang sudah berada di dalam satu lift dengannya langsung berjingkrak senang. Ketika melihat malaikat penyelamat untuk semua devisi.
Arata tak mengerti kenapa perempuan yang tak di kenal namanya itu terlihat begitu bahagia saat melihatnya. Perempuan itu mengernyit kemudian bertanya, "ada apa?"
Perempuan bersurai sebahu itu tersenyum, "senang melihat mbk Arata berada disini." katanya.
Arata semakin di buat kebingungan. Kemudian ia hanya tersenyum tipis lalu mengangguk singkat dan berlalu pergi.
Berdiri mematung di sebuah ruangan yang di dalamnya terdapat kekasih hati adalah hal yang sangat membuat hampir seluruh perempuan di dunia merasa bangga. Namun jika pertemuan itu di dapat karena sebuah kesalahan, maka entah bagaimana mengatakan keadaan jantungmu sekarang. Di tambah bahwa lelaki yang menjadi kekasihmu tipekal yang sulit sekali di ajak kompromi.
Arata menarik napas dalam berulang-ulang kali. Perempuan itu seperti enggan masuk ke dalam ruangan yang di dalamnya sudah ada yang menunggunya.
Suata krietan dari balik pintu itu tak membuat seorang Reynaldi menolehkan pandangannya sedikitpun dari kertas-kertas menyebalkan di hadapannya. Lelaki itu memfokuskan dirinya meski pikirannya bercabang entah kemana.
Suara derap kaki yang mulai mendekatpun tak ia hiraukan. Namun, ketika hidung mancungnya itu menghirup aroma yang sangat femiliar, Rey langsung mengangkat kepalanya. Menatap satu perempuan dengan wajah canggung ketika bertatap muka dengannya.
Rey masih mengamati setiap detail yang tercetak di hadapannya. Meneliti setiap inci tubuh kekasihnya dengan sangat terperinci.
"Ada apa?" ujar Arata yang mulai risih dengan aksi tatapan Rey padanya. "Rey,"
Rey masih dalam mode diamnya. Lelaki itu belum mengeluarkan pita suaranya demi menyambut kedatangan Arata.
Arata tau tatapan itu. Tatapan penuh intimidasi dengan gaya arogan yang sangat ia kenali itu.
"Rey," panggilan dengan nada rengekan itu seperti tak berfungsi sama sekali. "hahhh... baiklah, maafkan aku." Arata mendekati Rey yang masih betah dengan posisinya.
Mendekati Rey dan memutar tubuhnya kebelakang punggung Rey. Arata langsung melingkarkan kedua tangannya di leler Rey, dan kemudian mencuim pipinya singkat.
"Maafff..." rengekan bak seperti gadis kecil itu membuat kemarahan Rey sedikit melemah.
Rey menghela napas panjang dan menarik Arata dalam pelukannya. Menundukan dalam pangkuannya dan melilit pinggang ramping itu dalam dekapannya.
"Seharian tanpa kabar. Kamu pikir bagaimana perasaanku." gerutu Rey. Semakin mendengus kasar ketika ia tak bisa mengendalikan rasa kesalnya yang coba ia tahan sejak pagi tadi. "Beberapa kali menghubungimu tapi operator sialan itu yang menjawabnya." cerca Rey lagi. Yang kali ini di tanggapi dengan senyuman kecil dari Arata.
"Batrai handponeku habis," kila Arata. Karena memang itulah yang terjadi.
Rey mengernyit dan menempelkan keningnya pada kening Arata. Manik matanya menelusuri wajah Arata intens. Meneliti setiap raut wajah yang kekasihnya itu tampilkan.
"Untuk pertama kalinya dalam hidupku, kau satu-satunya perempuan yang ingin kumiliki. Untukku sendiri. Mengerti!!"
Rey mengungkapkan apa yang seharusnya ia lontarkan. Tidak cukup hanya dengan mengatakan jika ia sungguh sangat bertekuk lutut dihadapan perempuan yang menduduki puncak hatinya. Rey menarik napas dalam-dalam dan kemudian mencium bibir kenyal itu dalam satu kecupan yang luar biasa. Menggantikan rasa kesalnya yang untuk pertama kalinya tak bisa mendengar kabar atau suara dari Arata dalam seharian ini.
"Aku lapar," dan satu kalimat itu menghentikan aksi ciuman yang Rey lakukan.
"Kalau begitu ayo."
.
~****~0
.
Dan inilah yang Arata tidak sukai dari sikap seorang Reynaldi Atmadja. Keras kepala dan selalu membentak siapapun yang mencoba untuk membujuknya meminum obat.
Siapa sangka, seorang Reynaldi bisa tumbang seperti ini. Melihat lelaki Arogan dan kadang penuh intimidasi itu tergeletak tak berdaya di tempat tidur. Membentak siapa saja yang mencoba untuk menyuruhnya berbaring istirahat dan meminum obat sesuai kebutuhan badannya.
"Rey sudah minum obatnya?" tanya Arata setelah ia selesai membersihkan diri.
Riana menggeleng pelan dengan satu tarikan napas panjang, "dia keras kepala sekali," gumamnya.
Arata sudah berada di rumah Rey sejak pukul sembilan malam. Ketika ia ingin membaringkan diri untuk mengistirahatkan tubuhnya karena pekerjaannya, Riana menghunginya karena Rey tiba-tiba tumbang karena kelelahan. Alhasil disinila Arata sekarang.
Merawat sang kekasih yang sifatnya luar biasa menyebalkan untuk ukuran lelaki dewasa yang sangat keras kepala.
Bahkan untuk meminum obat pun harus ekstra membujuk.
Semua yang melihat bagaimana sifat Rey sekarang pastilah terkejut luar biasa. Dari sosok lelaki dengan sejuta kalimat tajam dan sering kali mengeluarkan aurah intimidasi itu, kini terlihat merengek rengek seperti bayi pada Arata.
Semua harus Arata yang menyediakan. Makan dan minum obat. Harus Arata yang menemani. Bahkan tak jarang Arata yang menyuapinya.
"Sayang,"
Suara serak khas orang baru bangun tidur itu pun mengintrupsi kegiatan Arata dan Riana di ruang keluarga. Ke dua perempuan itu menatap Rey yang sudah berdiri tegak di hadapan mereka dengan rambut sedikit acak-acakan. Mengabaikan penampilan seorang Rey, ke dua wanita itu lebih berjingkat pelan ketika Rey sudah duduk di sebelah Arata dan mencium pipinya pelan.
"Sayang," panggilan dengan nada serak itu membuat Ara mengernyit.
"Ada apa?"
Rey mentap Arata dengan pandangan sayu. Manik matanya seperti mengatakan sesuatu namun Arata tak mengerti dengan keinginan Rey yang tersirat.
"Apa kau membutuhkan seauatu?"
Arata melatakkan telapak tangannya di kening Rey. Mengukur suhu tubuh kekasihnya, "suhu tubuhmu sudah lebih baik. Jadi apa yang kau butuhkan?"
Rey berbisi di telinga Arata. Dan satu kalimat yang Rey bisikkan di telinga Arata membuat perempuan itu terpernjat.
Ok, apa yang harus Arata lakukan ketika pertanyaan itu mengudara dari bibir seorang Reynaldi ???
.
.
.