Chereads / Heart's Owner / Chapter 6 - Look at, Me.

Chapter 6 - Look at, Me.

Semua terasa sempurna jika di cintai dan di sayangi seperti ini. Bahkan kalau pun awal pertemuan mereka sedikit tidak 'baik', namun pada akhirnya benang merahlah yang menyatukan mereka.

Jika melihat bagaimana Rey memperlakukan Arata seperti perempuan yang paling berharga di dunia, dan rela melakukan apa pun demi melihat senyum terpatri menghiasi di wajah kekasihnya, maka terkutuklah para dewa dan dewi jika hubungan mereka bisa kandas di tengah jalan.

Semua orang tahu bagaimana dua sejoli itu menjalin kasih. Bagaimana seorang Reynaldi yang terkenal dingin, otoriter dan juga tegas dalam segala hal, kini terlihat sangat posesif dan protektif terhadap kekasihnya—Arata. Yang akan selalu mewanti wanti wanitanya untuk tidak terlalu dekat dengan segala jenis lelaki mana pun. Kadar kecemburuan yang Rey miliki mungkin berada dalam level yang cukup mengejutkan. Mengingat bagaimana ia sebelum mengenal Arata.

Dingin. Arogan dan irit bicara.

Lalu lihat perbandingannya sekarang?

Seperti mimpi disiang bolong, jika mengingat kembali pertengkaran-pertengkaran konyol yang selalu mereka debatkan beberapa tahun silam. Sebelum mereka berdua benar-benar menyadari perasaan yang entah sejak kapan mulai ikut menyusup.

Dan abaikan itu, karena semua telah berlalu dengan akhir yang teramat menakjubkan.

Dan sungguh sangat menyebalkan jika wanita-wanita di luaran sana mendelik tajam ketika lelaki pujaan mereka sudah taken dengan perempuan yang gaya berpakaian dan cara ber make up sangat jauh berbeda dari mereka. Percayalah bahwa mereka sudah sangat gondok setengah mati dan menggigit jari iri hati melihatnya.

Bahkan untuk membayangkan bisa berada di posisi Arata sekarang pun para wanita yang berpenampilan ekstra wah itu pun tidak akan pernah bisa bermimpi seindah ini. Jangankan untuk mengajak seorang Reynaldi mengeluarkan kalimat panjang dengan intonasi standar, lelaki itu pasti akan menjawab pertanyaan dengan gumaman atau sebuah anggukan dan gelengan sederhana dengan sorot mata tajam tak terbantahkan.

Reynaldi Atmadja. Lelaki perfeksionis yang di elu-elukan sebagai lelaki tampan dengan otak berlian.

Siapa sangka, lelaki sepertinya bisa takluk dengan seorang perempuan berpawakan mungil. Namun memiliki hati sebaik malaikat.

**_**

"Ahhhh..." helaan napas meluncur sempurna dari bibir Arata. Perempuan itu merenggangkan otot-otot tangannya dan kemudian melirik arloji di pergelangan tangan kirinya. "Sudah malam rupanya." Gumamnya.

Waktu sudah menunjukkan pukul setengah sembilan malam. Hari ini Arata sedikit di sibukkan dengan beberapa pasien yang harus ia rawat. Dari umur setengah baya sampai seorang anak kecil berusia sembilan tahun.

Jika mengingat anak lelaki yang ia rawat itu, sedikitnya mampu membuat Arata menarik ke dua sudut bibirnya. Menggali kembali memori tentang bagaimana anak usia sembilan tahun tersebut menangis kencang ketika akan di suntik.

"Dasar,"

Arata menggeleng-gelengkan kepalanya ketika mengingatnya. Setelah itu ia membereskan berkas-berkas yang ada di atas mejanya. Sambil bersenandung pelan, tanpa terasa semua terselesaikan secepat yang tak ia kira.

Drrrtt... Drrttt

Getaran ponselnya dalam saku bajunya membuat Arata langsung mengeluarkan ponsel dengan wallpaper foto dirinya dengan Rey disana. Mengenang sedikit kenangan saat melihat potret dirinya yang membuat senyumnya kembali mengembang.

"Ya, sayang?"

•°°°°•

Dan disinilah Arata sekarang. Berada dalam satu mobil dengan Rey yang beberapa menit yang lalu menjemputnya. Meski perempuan itu tahu jika pekerjaan kekasihnya masih belum terselesaikan dengan sempurna.

Jadi harus seperti apa lagi Arata mengekspresikan semua perilaku yang Rey lakukan untuknya itu.

Dan bagaimana mungkin Arata tidak merasa tersanjung memiliki lelaki yang sungguh sangat perhatian dan mencintainya sepenuh hati seperti Reynaldi Atmadja.

"Apa terjadi sesuatu pagi ini?" itu adalah kalimat pertama yang sengaja Rey ucapkan. Lelaki tampannya selalu mempertanyakan setiap kali Arata usai menjalankan kinerjanya.

Arata menatap Rey dengan gelengan kepala dan tersenyum tipis, " tidak ada. Hanya rutinitas pekerjaan seperti biasa."

"Malam ini pulang ke rumah ya. Beberapa hari ini aku tidak pernah mendapat pelukanmu."

"Tidak mendapat pelukan tapi setiap pagi kau menciumku," sanggah Arata.

Rey tersenyum tipis membenarkan ucapan kekasihnya, lelaki itu melirik perempuan kesayangannya sekilas dan mengambil jemari lentik itu dalam genggamannya.

"Aku merindukanmu," gumamnya. Sambil mengecup punggung tangan Arata.

"Kita selalu bertemu setiap hari Rey."

"Hanya sekedar bertemu. Tidak bisa memelukmu sesukaku. Dan tidak mendapat akses menciummu lebih lama dari biasanya." Gerutu Rey, dengan alis terlipat. Terlihat sangat kesal.

Arata menggelengkan kepalanya. Membenarkan apa yang Rey katakan. Memang benar, mereka selalu bertemu setiap hari. Namun rutinitas kebersamaan mereka selalu terbentur dengan jadwal pekerjaan mereka masing-masing. Yang mengakibatkan rasa rindu kian menggunung dengan tidak adanya sentuhan yang selalu Rey inginkan seperti biasanya.

"Rasa-rasanya aku ingin memakanmu hidup-hidup." Ujarnya.

Dan setelah hampir satu jam perjalanan yang mereka tempuh, kini dua sejoli itu sudah sampai di rumah Atmadja.

Rey dan Arata masuk ke dalam dengan tangan saling menggenggam. Sedikit pembicaraan kecil menghiasi langkah mereka yang pelan. Setelah berada tepat di sebuah ruangan yang diisi semua penghuni keluarga Atmadja, genggaman itu masih tetap melekat erat. Mengabaikan beberapa pasang mata yang menatap mereka dengan senyum tipis menghiasi.

Arata menarik napas dalam-dalam ketika melihat seluruh keluarga Rey berada di sana. Sedang duduk sambil bercengkerama santai.

"Sudah pulang." Kalimat pertama yang Rey dengar itu meluncur halus dari bibir Mamanya—Riana. Membuat Rey menganggukkan kepalanya pelan sebagai jawaban.

"Aku akan ke atas dulu," hanya kalimat itu yang Rey utarakan. Namun sebelum lelaki itu benar-benar beranjak dari tempatnya, suara lelaki dengan usia yang tidak terlalu jauh darinya itu menginterupsi.

"Akan kau bawa ke mana adik ipar cantikku itu. Kalian belum halal untuk mandi bersama." Goda Ryan dengan cengiran khas miliknya. Membuat Rey mendengus kesal.

Dan tentu saja kalimat itu mengundang gelak tawa dari seluruh penghuni. Membuat Rey menggelengkan kepalanya dan sedikit tak rela melepaskan genggaman tangan Arata.

Sedangkan perempuan mungil itu?? Tidak bisa dipungkiri lagi kalau wajah cantiknya sudah seperti kepiting rebus yang siap disantap kapan saja.

"Aku ke atas dulu."

Arata mengangguk. Namun sebelum Rey benar-benar meninggalkan Arata, lelaki itu terlebih dulu mengecup bibir Arata singkat. Membuat perempuan itu melotot kaget dengan tindakan yang sengaja Rey lakukan padanya. Plus di depan anggota keluarganya.

Sepeninggalan Rey, Arata harus di hadapkan pada seluruh keluarga besar Reynaldi yang kini memandangnya dengan seulas senyum penuh perhatian dengan sikap Rey padanya. Apa yang tak mereka ketahui tentang sepasang kekasih ini. Yang terkadang membuat keluarga Atmadja menggeleng gelengkan kepalanya dengan tingkah kepemilikan yang sengaja Rey perlihatkan.

Tentu saja. Rey selalu mengembar gemborkan kepemilikannya. Entah itu dalam sebuah kalimat atau tindakan nyata seperti ciuman kilat yang baru saja ia lakukan. Dan seluruh keluarga Atmadja memaklumi tindakan itu sebagai perwujudan seberapa besar perasaan yang anak bungsunya itu berikan untuk gadis seperti Arata.

Mengesampingkan semua apa yang sudah pernah ia lalui dulu, Arata sungguh-sungguh sangat merasa beruntung memiliki kekasih dengan keluarga yang harmonis seperti saat ini.

"Sehat, sayang?" tanya Riana.

Arata tersenyum tulus dan duduk tepat di sebalah Riana. Mencium pipi wanita itu sebelum menjawab. "Seperti yang Mama lihat. Ara sehat."

Riana tersenyum dan mengangguk, "Rey ingin menjadikanmu guling hidup lagi?" Pertanyaan itu sontak membuat beberapa pasang mata dan telinga yang mendengarnya langsung terkejut bukan main.

"Maksud Mama?" suara bass milik putra sulungnya membuat Riana menoleh.

"Iya. Beberapa hari yang lalu adik kesayanganmu itu mengeluh. Setiap hari selalu berceloteh tentang Arata yang susah di temui. Yang katanya tidak bisa di cium dan dipeluknya. Mama pikir Arata datang kesini di jam segini pasti karena ulah Rey." Jelas Riana. Seperti bahwa apa yang dia ucapkan bukan sesuatu yang mengejutkan.

"Astaga!!" seru Ryan terkejut. "Dan Mama mengizinkan mereka tidur bersama." Riana mengulum senyum dan menatap Arata yang menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

"Hanya tidur bersama. Tidak lebih!" suara berintonasi itu membuat Arata mendongakkan kepalanya. Manik matanya menatap sosok lelaki yang sudah menjulang tegap di hadapannya dengan air yang menetes dari rambut hitamnya. "Sekarang giliranmu mandi,"

_***_

Semua terasa nyaman saat Arata dalam pelukannya. Semua terasa pas saat tubuh mungil itu merapat mencari kehangatan padanya.

Rey sangat menyukai situasi seperti sekarang ini. Memeluk dan menatap Arata sesuka hatinya.

Jangan tanyakan bagaimana perasaannya saat ini. Yang jelas, berada dekat dengan Arata sudah membuat hatinya terlampau meletus seperti gunung merapi.

Semuanya terasa sangat sempurna sekarang.

"Uggghhhh..."

Suara lenguhan pelan dari bibir Arata membuat Rey menatap kekasihnya itu lekat-lekat. Menatap kedipan mata Arata yang mencoba menyesuaikan cahaya yang masuk ke retina matanya.

"Kenapa belum tidur," suara serak khas orang bangun tidur itu pun mengalun merdu di gendang telinganya. "Sayang,"

"Sepertinya aku susah tidur,"

Arata mengernyitkan kening, "kamu butuh sesuatu?"

"Butuh pelepasan sepertinya."

Arata memberengut dan memukul dada Rey pelan. Membuat lelaki itu tertawa kecil dan semakin mengeratkan pelukannya.

"Aku bercanda,"

Arata mendengus. Namun perempuan itu semakin menenggelamkan diri pada pelukan Rey.

"Kenapa belum tidur juga?" tanyanya lagi.

"Hanya sedang berpikir,"

Arata mendongak dan menatap wajah kekasihnya. Kemudian menjulurkan tangannya dan mengusap rahang kokoh itu dengan lembut.

"Ada apa?"

Tatapan penuh cinta dan kasih sayang itu ia tunjukkan pada Rey. Membuat lelaki itu harus kembali mencium kening Arata dan berlanjut melumat bibirnya. Sebentar, hanya sebentar. Karena jika terlalu lama, maka kejadian beberapa hari yang lalu akan terulang kembali.

"Rey,"

"Hanya mengenang masa lalu."

Arata mengernyitkan keningnya, "mengenang masa lalu?! Maksudnya?" tanyanya. Yang sedikit tidak paham dengan kalimat kekasihnya itu.

"Iya, mengingat pertemuan pertama kita yang luar biasa itu." Ujar Rey. Sambil mengusap lembut surai rambut Arata.

"Pertemuan yang kau bilang sial itu." Tindas Arata. Ikut kembali mengingat masa-masa dimana mereka pertatap muka untuk pertama kalinya.

Rey menarik sudut bibirnya, "seperti baru kemarin. Bukankah ini sangat lucu."

Arata mengangguk membenarkan. "Ya. Dan kau sudah melumatku ketika pertemuan ke lima kita," dengus Arata ketika mengingat kejadian itu.

"Bukan salahku. Salahkan bibirmu yang terlalu cerewet tapi sangat menggairahkan itu, sayang."

"Apa!! Jelas-jelas kau yang bermasalah, tuan. Jangan melimpahkannya padaku. Dasar!!" sungut Arata tak terima.

"Aku melihat kenyataannya, sayang. Selain cerewet, dulu kau itu sangat menyebalkan." Papar Rey. Yang langsung membuat Arata memberengut kesal.

"Ck! Cerewet dan menyebalkan?? Kalau begitu kenapa tidak mencium perempuan lain saja sana."

"Asal kau tau saja. Setelah kita mengikrarkan sebuah hubungan, aku pernah beberapa kali mencicipi bibir wanita lain."

Apa??

Arata memicingkan matanya ketika kalimat itu meluncur dari bibir kekasihnya. Suasana yang tadinya di dominasi dengan suasana yang hangat dan penuh kenangan indah itu pun tersisa keheningan.

Sadar dengan apa yang baru saja di ucapkannya, Rey langsung menatap Arata dengan intens. Menelisik wajah perempuan itu yang kini terlihat terkejut dengan mata membulat sempurna.

"Aku bisa menjelaskannya."

Arata menggelengkan kepalanya, menjauh dari jangkauan Rey yang kali ini ingin kembali memeluknya

"Kau apa? Coba kau ulangi kalimatmu barusan?"

Dan bencana untuk esok pagi sudah menunggu. Ketika Arata sudah keluar dari kamar Reynaldi dengan bantingan pintu yang cukup keras.

_****_

Kesialan!!

Mungkin ini yang di namakan sebuah kesialan di pagi hari yang cerah.

Sebuah pertengkaran dengan konsep yang luar biasa menyebalkan menurut Rey. Entah bagaimana mendeskripsikan perasaannya sekarang. Seharusnya  ini adalah hari yang paling menyenangkan yang harus dimilikinya setelah beberapa hari belakangan ia tak bisa menghabiskan akhir pekannya dengan kekasih hatinya. Lalu apa yang terjadi sekarang? Semua berantakan karena ulahnya sendiri.

Hal yang paling membuatnya kesal adalah kekasihnya sama sekali tak mengucapkan kalimat apa pun untuk dirinya. Berharap bahwa Arata akan mencercanya dengan beberapa kalimat tanya untuknya, atau kalau perlu meminta penjelasan yang mampu membuat pertengkaran ini segera di sudai.

Lelaki tampan itu sungguh tidak menyukai aksi merajuk yang kekasihnya itu lakukan. Jangankan untuk menjabarkan kronologi yang sesungguhnya, Rey bahkan merasa enggan mendekat ketika aurah tak mengenakan itu muncul begitu saja dari Arata.

"Terjadi sesuatu?" Ryan—kakaknya menginterupsi bagaimana dua sejoli yang baru semalam menghabiskan waktu tidur bersama kini terlihat sedikit berbeda dari sebelumnya.

Rey menarik napas panjang dan mengusap permukaan wajahnya, "sedikit kesalahpahaman," katanya sedikit tidak yakin.

Ryan mengendikan bahunya, "kesalahpahaman seperti apa yang kau lakukan hingga membuat calon adik iparku itu terlihat tidak semangat hari ini."

Rey tidak lagi menjawab pertanyaan Ryan. Lelaki itu lebih memfokuskan pandangan matanya pada punggung kekasihnya yang ikut bergelanjut membantu menyiapkan sarapan.

**_**

Setelah selesai menyantap sarapan di meja makan dengan berbagai hidangan, kini perempuan berparas cantik itu tengah duduk santai di sofa dekat kolam renang dengan suasana damai dan menenangkan.

Namun semua itu terasa hambar saat pagi mulai menjelang. Waktu tidurnya hanya beberapa jam yang selebihnya ia habiskan untuk mencerna kalimat yang kekasihnya itu ucapkan.

Bohong kalau ia tidak sakit hati dengan kenyataan yang baru saja menohok hatinya. Bohong sekali jika ia tidak merasa ter khianati dengan fakta yang baru saja terungkap. Ara menarik napasnya dalam-dalam dan kembali merenung. Dia bukan jenis perempuan yang dengan berlapang dada jika mengetahui hal seperti ini. Akan sangat aneh jika ia terlalu biasa saja jika mendapat satu fakta itu dari kekasihnya.

Arata menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya pelan. Manik matanya menerawang entah ke mana, namun wajah perempuan itu terlihat lelah dengan kantung mata yang sedikit menghitam di kelopak matanya.

Memejamkan matanya, Arata berusaha mengenyahkan rasa sesak yang tiba-tiba saja menjalar di hatinya. Untuk ke sekian kalinya sejak semalam, buliran air mata itu menurun melintasi pipinya tanpa bisa ditahan.

Hiks...

Menangis. Mungkin itu yang dia butuh kan untuk mengurangi beban hatinya. Terasa sangat luar biasa bagaimana perasaan yang dimilikinya saat ini.

Hingga rangkulan hangat itu berhasil melemaskan seluruh ototnya.

"Maaf," suara itu mengudara dengan aroma khas yang langsung bisa di ketahui siapa pemiliknya.

Rey duduk di samping Arata dengan mata penuh penyesalan. Hal yang paling ia sesali adalah ketika ia berhasil mengeluarkan kristal dari pelupuk mata kekasihnya.

"Aku bisa menjelaskannya,"

Arata tak menyahut sama sekali. Perempuan itu mengatupkan bibirnya rapat-rapat tanpa reaksi apa pun. Membuat Rey menghela napas semakin bersalah.

"Sayang... Kejadiannya sudah lama berlalu. Dan itu tidak seperti yang kau pikirkan."

Rey mempersempit jarak antara ia dengan Arata. Tak memedulikan bagaimana bentuk reaksi yang sekarang kekasihnya itu tunjukkan. Tanpa komando dan persetujuan dari sang empu, Rey langsung mengangkat tubuh mungil itu dalam pangkuannya. Memeluk tubuh itu dalam rangkulan miliknya. Mengusap punggung mungil Arata yang bergetar dengan suara tangis yang tertahan.

"Dengar, ku akui aku salah. Tapi sayang, bukan aku yang mencium wanita itu. Mereka yang dengan lancangnya melakukan itu padaku."

Rey bertutur kata pelan. Tidak mencoba menyangkal apa yang sebenarnya terjadi. Karena sebagian dari dirinya pun ikut andil atas apa yang terjadi. Seharusnya ia bisa mengelak atau perlu memberikan sedikit peringatan pada mereka.

Tapi Entahlah, semua kejadian itu sungguh di luar ekspetasinya.

"Berhentilah menangis, kumohon."

.

.

TBC

.

.