Ketika Arata bangun pagi dengan mata sayu dan berwajah lesu, semua orang yang menatap bagaimana tidak semangatnya Arata langsung menerka-nerka, gerangan apa yang sebenarnya terjadi.
Ditambah ketika Rey turun dari anak tangga dengan ekspresi datar. Eksresi yang menyiratkan jika lelaki tampan itu sedikit dalam kondisi yang tidak mengenakan. Terbukti dengan lipatan di keningnya.
Seperti kejadian paling langkah ketika mendapati dua sejoli itu mendadak saling diam. Tanpa ada pelukan atau ciuman selamat pagi yang sering Rey lakukan untuk kekasihnya.
Setelah selesai sarapan, aktifitas keluarga Atmadja bergelung dengan bersantai ria. Entah apa yang sedang mereka lakukan, intinya keluarga Atmadja tidak ingin mengikut sertakan diri untuk mencampuri masalah yang sedang di hadapi Rey dan Arata.
Arata hanya duduk diam di sofa kolam renang. Tidak ikut menyertakan diri untuk bergabung dengan mereka yang nampak berbicang mengenai suatu hal. Arata masih mencerna kalimat menyebalkan yang keluar dari mulut kekasihnya sendiri. Perempuan berpawakan mungil itu menatap langit biru dengan pandangan sayu dan sarat akan kesedihan. Apapun yang tengah dipikirkan oleh Arata, perempuan itu sangat yakin jika hatinya sekarang ini seperti di cabik-cabik.
Mencoba mengabaikan dan berpura-pura tidak terjadi apa-apa, namun pada kenyataannya hatinya tergerak untuk tidak bisa begitu saja melenyapkan kalimat itu dari pikirannya.
Seperti arus, yang sengaja menerjang ulu hatinya. Rasanya sangat luar biasa. Sakit!!
Arata menggeleng gelengkan kepalanya. Mencoba mengenyahkan pemikiran negatif yang hinggap di otak pintarnya, namun sekali lagi momok menyebalkan itu hadir tanpa ia undang.
Menyebalkan!!
Tanpa terasa buliran air mata itu jatuh dari pelupuk matanya. Kristal bening itu tumpah tanpa bisa ia tahan. Hatinya sakit, seperti di tusuk pisau berkali-kali. Bagaimanapun, Arata masih tidak rela jika Rey melakukan sesuatu seperti itu pada wanita lain. Terlebih lagi jika ia melakukannya di saat ia sudah memulai sebuah hubungan. Hatinya merasa tersakiti dan dirinya terasa terkhianati.
"Sayang,"
Suara bernada pelan sarat kasih sayang itu mengalun di pendengarannya. Hingga rangkulan hangat itu menyelimuti bahunya, membuat Arata harus menarik napas dalam-dalam ketika indranya mencium harum khas milik seseorang tanpa harus ia menoleh.
"Maaf,"
Arata tak menyahuti kalimat itu. Ia menundukkan kepalanya dan menolak untuk menatap wajah kekasihnya.
Rey menarik napas dalam-dalam, mencoba memahami perasaan Arata yang sampai saat ini belum bisa di katakan baik.
"Sayang," panggilnya sekali lagi.
Arata masih tetap pada posisinya. Enggan bertatap muka dengan Rey meski lelaki itu sudah berulang kali memanggil namanya. Dan hasilnya tetap sama. Nihil!!
"Aku minta maaf, oke!!" seru Rey. Mencoba meruntuhkan kekeras kepalaan kekasihnya tersebut. "Kejadiannya sudah lama berlalu. Dan sama sekali tidak bisa di kendalikan. Wanita itu yang tiba-tiba menerjangku," aku Rey sambil memeluk tubuh Arata dari belakang. Menyadarkan dagu lancipnya di bahu Arata sambil menghirup aroma kegemarannya.
"Sayang... Semuanya telah berlalu. Dan itu tidak seperti yang kau pikirkan. Lagipula, wanita itu sudah tidak bekerja di perusahaan."
Rey mempersempit jarak antara ia dengan Arata. Tak memperdulikan bagaimana bentuk reaksi yang sekarang kekasihnya itu tunjukkan. Tanpa komando dan persetujuan dari sang empu, Rey langsung mengangkat tubuh mungil itu dalam pangkuannya. Memeluk tubuh itu dalam rangkulan miliknya. Mengusap punggung mungil Arata yang bergetar dengan suara tangis yang tertahan.
"Jangan menangis. Kumohon."
.
.
.
Dua hari berakhir dengan sia-sia. Membuat Rey menggeram frustasi dengan kediaman yang sengaja kekasihnya itu lakukan untuk membalas perbuatannya. Dari semua panggilan telepon dan beberapa pesan yang Rey kirimkan, tidak ada satu pun dari ke duanya yang mendapati balasan singkat dari Arata.
Arata masih betah berlama-lama mendiaminya. Menutup mulutnya rapat-rapat meski Rey dengan suka rela menghampiri Arata di tempat kerjanya. Namun tetap saja, Arata masih terlihat marah jika bertatap muka dengan Rey.
Mengingat itu membuat Rey kembali menarik napas berulang-ulang kali. Ia sudah beberapa kali mencoba menjelaskan dengan kalimat lembut dan semua berakhir dengan kediaman yang Arata siratkan. Tidak mengindahkan setiap kalimat yang Rey ucapkan padanya. Menghiraukan Rey yang tengah mencoba menjelaskan kejadian yang sesungguhnya.
"Bagaimana?"
Rey menoleh pada suara yang terdengar jelas di pendengarannya. Melirik sekilas kearah langkah saudaranya yang menghampirinya.
"Begitulah," gumam Rey sambil memijit keningnya yang mulai berdenyut pening.
"Ternyata seorang Reynaldi bisa frustasi karena perempuan juga," kekeh Ryan menimpali. Menatap adiknya yang berwajah datar tapi gurat wajahnya menampakan frustasi akibat ulah bibirnya sendiri.
"Seperti kau tidak mengalaminya saja."
"Kau sudah mencoba menghubungi Arata."
Rey mengangguk sebagai jawaban, "bahkan aku sudah mencoba segala cara untuk membuatnya menimpali setiap ucapanku. Aku tidak tau kalau Arata bisa semarah ini."
###
"Bagaimana?"
Finar mengerutkan keningnya ketika pertanyaanya tak mendapat respon positif dari teman bicaranya.
"Arata?!"
Perempuan yang duduk di depannya itu menatapnya dengan sebelah alis terangkat.
"Astaga!! Apa kau tuli. Sejak tadi aku berbicara dan kau sama sekali tidak mendengarkanku?" dengus Finar tak percaya. Perempuan dengan profesi yang sama dengannya itu menghela napas sebelum menyeruput espresso kegemarannya.
"Ada apa?"
"Dari kemarin kuperhatikan kau suka melamun. Ada apa?" Ujar Finar. Mengembalikan pertanyaan Arata dengan pertanyaan juga.
Arata menghembuskan napas pelan dan kemudian menggelengkan kepalanya.
"Tidak berniat bercerita padaku?"
"Bukannya tidak berminat, hanya saja aku sedang tidak ingin membahasnya."
"Bertengkar dengan Rey?"
Bungkamnya Arata atas pertanyaan yang Finar lontarkan membuat perempuan itu mendengus dan kemudian menepuk bahu Arata pelan.
"Kupikir kalian tidak akan mengalami masa-masa berduram durja seperti ini," Finar terkekeh pelan. Perempuan itu selalu merasa iri dengan hubungan manis yang Arata miliki. Selalu menganggap jika kisah kasih yang Arata jalani selama ini selalu dalam jalur yang teramat lurus.
Tapi nyatanya??
"Bagaimana rasanya?"
Arata memincingkan sebelah alisnya begitu mendengar kalimat ambigu yang sahabatnya itu lontarkan.
"Apa maksudnya?"
"Bukankah selama kalian menjalin hubungan, tidak pernah sekalipun kalian terlibat pertengkaran sampai seperti ini." ucap Finar dengan alis terangkat, "jadi, bagaimana rasanya?"
Arata menggendikkan bahunya dan menyeruput jus jeruknya hingga kandas tak tersisa. Perempuan itu menggali setiap memori kenangan yang mereka jalani selama menjalin hubungan. Meskipun kerap kali pertengkaran dengan berbagai macam masalah, tapi masalah inilah yang paling mengganggu pikirannya.
"Entahlah!! Meski Rey berulang kali menjelaskannya, tetap saja ada rasa tak nyaman ketika mendengarnya langsung dari mulutnya."
"Bukankah itu pertanda jika kau sangat mencintainya?"
Arata mengangguk, " tentu saja. Kalau aku tidak mencintainya, tidak mungkin aku bersikap naif seperti ini."
"Jadi, apa masalahnya kali ini?"
Finar mendengarkan setiap detail kalimat yang meluncur dari bibir Arata dengan seksama. Tidak menjeda satu kalimatpun untuk menghentikan ocehan sahabatnya tentang pertengkaran yang tengah meninpanya.
"Jadi begitulah." gumam Arata. Menelisik ekspresi Finar sedikit ragu.
Dan ketika Finar tak menyahut bagaimana tentang cerita yang baru saja ia lontarkan, Arata di kejutkan dengan satu tawa membahana yang membuat beberapa pelanggan di kafe tersebut menoleh ke mejanya.
"Diamlah!! Kita jadi bahan tontonan, Finar."
Arata memberenggut kesal ketika melihat wajah Finar dengan senyum jenaka di sampingnya. Perempuan itu sangat menyesali karena menceritakan perihal pertengkaran yang ia alamai dengan kekasihnya. Bukannya membela kaumnya, Finar lebih mencondong mengeritik kelakuannya yang terlihat semakin naif.
"Berhentilah tertawa!!" cetus Arata sekali lagi. Sambil melipat ke dua tangannya kesl. Memincing matanya tajam ketika Finar belum juga menghentikan aksi ketawanya itu.
"Kau benar-benar luar biasa, Arata." Finar berseru. Menarik napas dalam-dalam, mencoba mensterilkan gelak tawa yang sejak tadi mengudara.
"Tidak ada yang lucu, Fin. Demi Tuhan!! berhentilah memasang wajah menyebalkan seperti itu."
"Oke. Maaf kan aku. Tapi sungguh, kau bertengkar dengan Rey untuk masalah itu?" Finar menggelengkan kepalanya tak percaya, "dengar!! Kau bahkan lebih beruntung daripada aku, Arata. Rakha bahkan pernah melakukan hal yang lebih gila dari itu,"
Arata mengernyitkan dahinya. Mencerna kalimat Finar dengan alis bersejajar menjadi satu barisan panjang.
"Apa maksudmu?"
Perempuan dengan surai penjang itu menopang dagu dan menatap Arata serius.
"Hidup di dunia metropolitan ini memang sangat kejam, Arata. Hubungan antar dua orang dewasa di dunia hingar bingar seperti ini bisa dilakukan oleh siapa saja. Kau pasti mengerti tindakan apa yang kumaksud barusan."
Arata menghempaskan punggungnya pada sandaran kursi dengan helaan napas panjang. "Kurasa kau benar."
"Jadi, lebih baik kau segera menyelesaikan masalahmu. Semakin cepat semakin baik. Kau pasti tau lebih baik perilaku seorang Rey. Menurutmu, apa Rey akan melakukan tindakan seperti itu dengan disengaja."
###
Selesai dari rutinitas pekerjaan yang cukup menyita keringat dan tenaga, Arata sudah harus kembali menarik napas dalam ketika mata beningnya melihat sebuah mobil dengan lelaki yang bersender tampan di sana.
Sudah beberapa hari ia tak berjumpa dan mendengar kabar dari lelaki itu, namun tetap saja debaran penuh hasrat rindu itu pun meletup begitu saja.
Arata melangkahkan kakinya. Antara ingin menghampiri atau mencoba mengabaikannya. Namun sialnya, hati dan pikirannya tidak selaras dengan apa yang dia inginkan.
"Ayo, aku akan mengantarmu pulang." suara dengan nada inotasi yang hangat itu mengintrubsinya. Membuat langkah kecilnya seketika terhenti tepat di hadapan Rey. "Sayang,"
Arata menatap kekasihnya sekilas. Meneliti raut wajah itu yang terkesan berbeda dari beberapa waktu yang lalu. Wajah yang biasanya terlihat rapi tanpa bulu-bulu halus disekitar wajahnya itu kini tumbuh disana.
"Aku sudah memberimu waktu untuk berpikir. Dan batas kesabaranku tidak bisa menunggu lagi untuk tidak berdekatan denganmu, Sayang."
Satu kalimat itu seperti menyadarkannya, betapa Arata hanya berputar-putar di dunianya sendiri. "Rey," Arata menggumam pelan. "Aku masih kesal padamu," gumam Arata. Menundukkan kepalanya.
Rey menarik napas dan melangkah menghampiri Arata. "Aku tau, tapi aku sudah sangat merindukanmu."
Dan pelukan hangat itu langsung menyelimuti tubuh Arata. Membuat perempuan itu terpekik kaget karena aksi mendadak yang sengaja Rey lakukan.
"Rey,"
"Jangan pergi dan jangan pernah sekalipun mengabaikanku seperti ini lagi."
"Tapi aku masih sangat kesal. Kau tau aku bukan tipe perempuan yang--,"
Kalimat Arata terpotong, tergantikan dengan kalimat yang sama seperti hari-hari sebelumnya. "Aku tau. Dan aku minta maaf."
"Kau menyebalkan."
"Aku tau,"
"Kau di haramkan melakukan itu lagi.
Rey menggeleng, "Aku benrjanji."
"Jika kau melakukannya lagi, aku akan membalasmu dengan berciuman dengan lelaki lain."
"Heiiii... kau akan apa?"
"Kau tidak tuli untuk mendengar kalimatku barusan." sungut Arata tak terbantahkan ketika melihat wajah keberatan dari Rey.
"Baiklah. Apapun keinginanmu Sayang. Jadi berhentilah bersikap menyebalkan dengan mengabaikan ku seperti kemarin."
Arata menganggukan kepalanya dan tersenyup tipis sebagai jawaban.
"Aku merindukanmu."
"Aku juga merindukanmu. Sangat, sangat merindukanmu, sayang" aku Rey. Mengeratkan pelukannya dan menghirup aroma tubuh Arata.
Semua perasaan rindu itu seperti menguap seiring dengan pelukan yang Rey eratkan. Menyusup ke leher jenjang Arata dan meraup kerinduan pada aroma disana.
"Jika saja ini bukan di tempat umum, aku pasti sudah melumatmu." dan pernyataan yang Rey katakan barusan membuat Arata memukul punggung lebar itu pelan. "Aku serius," yang di tanggapi dengan anggukan kecil darinya.
"Ayo kita pulang!!"
###