Saat pulang kerumah aku melihat ada papa, mama juga kak Genta yang sedang mengobrol diruang tengah. Bukan ngobrol sih, lebih tepatnya berdebat.
" pa Genta sudah bilang, Genta gak mau dijodohin kayak gini pa "
" papa gak mau tau Genta. Pokonya kamu harus segera menikah! dengan begitu kamu bisa menghilangkan sifat kekanak-kanakanmu itu. Papa capek nasehatin kamu yang selalu saja pulang larut malam. Tidak pernah nurut sama orang tua. Papa ingin kamu bersifat lebih dewasa Genta! ", ucap papa dengan nada tinggi tapi tetap tenang. Kak Genta menghembuskan napasnya gusar.
" Pa! bisa gak sih papa sama mama ngertiin Genta! Genta bukan lagi anak kecil pa yang bisa dilarang-larang seenaknya. Genta juga ingin menikah dengan orang pilihan Genta sendiri pa ma! "
" orang pilihan kamu? apa kamu sudah menemukan orang pilihan kamu itu? dan apa kamu bisa menjamin orang pilihan kamu itu baik Genta? mama sama papa ngelakuin ini juga demi kebaikan kamu. Selama ini papa dan mama tegas ke anak-anak kami, itu semua demi kebaikan kalian. Demi masa depan kalian sayang! ", mama ikut menasehati kak Genta. Aku bisa mengerti perasaan kak Genta saat ini. Rasanya sedih sekali saat orang tua tidak mendukung keputusan anaknya.
" Lihatlah kakak kamu Genta! Ellin selalu nurut sama papa dan mama, buktinya sekarang hidupnya sangat baik. Dia dulunya juga sedikit manja tapi dengan menikah sekarang dia bisa bersikap lebih dewasa. Kamu seharusnya mencontoh kakak kamu itu ", ucap papa. Papa selalu saja membawa-bawa kak Ellin kalo masalah begini. Kak Ellin itulah! kak Ellin inilah! walau benar kata papa tapi pasti setiap anak tidak suka jika dibandingin dengan orang lain apalagi saudara sendiri.
" ....pokoknya kamu harus tetap menikah Genta! dengan calon yang sudah dipilihkan oleh kakak kamu. Papa yakin dengan pilihan kakak kamu itu ", sambung papa. Papa tetap tidak merubah keputusannya. Kak Genta mengambil napas dalam sebelum berbicara.
" Pa! Ma! kalo kalian tetap memaksa Genta untuk menikah, Genta bakal pergi dari rumah ini pa! ma! ", kata kak Genta pada akhirnya.
Aku terkejut mendengarnya. Kalau kak Genta pergi dari rumah ini, aku akan sendirian dan kesepian. Siapa nanti yang akan mendengar keluh kesah ku? siapa nanti yang akan menjailiku? Aku merasakan mataku yang mulai memanas. Kenapa kak Genta mengambil keputusan sebesar itu? Kak Genta mau meninggalkan ku disini sendirian!
" bicara apa kamu Genta! ", bentak papa.
" apa maksud kamu Genta ", mama tidak percaya dengan ucapan kak Genta.
" Genta sudah bilang! Genta tidak mau dipaksa menikah, apalagi dengan pilihan kalian. Genta akan pergi dari rumah ini! ", ucap kak Genta dan berlalu begitu saja meninggalkan papa dan mama yang terlihat pusing melihat kelakuan anaknya.
" yaudah terserah kamu Genta papa sudah tidak mau peduli denganmu. Urus saja urusanmu sendiri. Papa sudah capek menghadapimu ", kata papa dengan wajah marahnya. Dan mama sudah tidak tau lagi harus berbuat apa. Selama ini mama selalu setuju dan mengikuti semua peraturan papa. Jika papa setuju mama otomatis juga setuju. Ibaratnya jika papa ke kanan mama juga ikut ke kanan. Jika papa ke kiri mama juga ikut ke kiri. Bagaimanapun mama tidak bisa menentang keputusan yang sudah dibuat oleh papa.
Aku berlari menuju ke kamar kak Genta. Aku takut jika kak Genta benar-benar mau meninggalkan rumah ini. Dadaku sudah sangat sesak. Aku tidak mau kak Genta pergi dari rumah ini. Dengan takut-takut aku membuka kamar kak Genta yang tidak dikunci itu.
" kak Genta! ", terlihat kak Genta yang sedang berkemas. Apa kak Genta benar-benar akan pergi?
" dek? ", kak Genta kaget dengan kedatanganku.
" kak Genta benar-benar akan pergi? ", kak Genta tersenyum tipis lalu menarikku dalam pelukannya. Seketika tangisku pecah begitu saja.
" hiks hiks hiks kak Genta jangan pergi ya ", kataku terbata-bata karena mencoba menahan tangisan. Kak Genta mengelus rambutku menyalurkan rasa sayangnya padaku.
" udah jangan nangis! adikku yang manja! kamu kalo nangis jelek tau kayak monyet ragunan ", ucap kak Genta masih sempat menggodaku. Kak Genta tertawa hambar. Kalau saja keadaannya lebih baik pasti aku akan protes lalu menghujaninya dengan pukulan.
" kak gentaaaa ", ucapku dengan suara parau masih memeluknya.
" udah ya! jangan nangis ", kak Genta melepaskan pelukannya. Aku mengusap air mataku.
" tapi kak Genta jangan pergi! ", kataku masih memohon.
" maaf ya Dis! kamu tetep bisa menghubungi kakak kapanpun kok! ", kak Genta mencoba memberi pengertian padaku.
" tapi kan kak! ", aku tidak bisa melanjutkan kalimatku karena rasa sesak di dada.
" kamu segitu sayangnya ya sama kakak? ", kak Genta tertawa hambar tapi masih terlihat raut kesedihan dimatanya. Ingin sekali kupukul kak Genta saat ini. Disaat begini malah menanyakan pertanyaan seperti itu.
" lagian kakak kan masih harus kuliah dis! kamu taukan letak kampus kakak dimana? kamu bisa datang kapan aja Disha. Kakak cuma tidak tinggal lagi dirumah ini ", sambung kak Genta. Aku mengangguk pasrah. Aku tidak bisa mencegah kak Genta pergi. Aku juga tau setiap dirumah ketemu papa sama mama kak Genta selalu saja berdebat. Mungkin dengan ini kak Genta bisa sedikit menenangkan pikiran dan hatinya yang kacau. Walau rasanya berat sekali melihat kak Genta meninggalkan rumah ini dengan keadaan seperti itu.
***
Aku berjalan menuju kelas 12 IPA 3. Ujian semester sudah dimulai hari ini. Kemarin aku hanya menghabiskan malamku dengan menangis tidak fokus belajar untuk ujian hari ini.
" dis! ", aku menoleh ke sumber suara.
" Dave! ", aku mencoba tidak terlihat sedang sedih.
" mata kamu kenapa? kok bengkak gitu, habis nangis ya? ", tanyanya. Apa begitu terlihat ya? Padahal aku tadi sudah memakai bedak agak tebal dari biasanya untuk menutupi jejak tangisku.
" eh iya, kemarin aku habis nonton film sedih banget, makanya aku nangis ", kataku berbohong.
" ada ujian semester tapi kamu masih sempat nonton film malam-malam dis! "
" haha iya, buat ngilangin stress gara-gara kebanyakan belajar Dave ", aku berbohong lagi.
" aku tau itu cuma alasan kamu saja. Mana ada orang nonton film sampai nangis segitunya ", Dave tak percaya dengan alibiku. Waaahh Disha! akting kamu benar-benar jelek banget dis!
" beneran Dave! filmnya emang sedih banget. Nyeritain tentang perpisahan adik kakak gitu ", Aku kembali teringat kak Genta.
" filmnya nyata banget ya Dis! sampai bikin kamu nangis ", Dave terkekeh.
" haha iya Dave kayak nyata banget ", aku tertawa hambar.
" yaudah yuk kita kelas dis! udah lupain aja filmnya. Kamu harus fokus untuk ujian semester dis ", kata Dave yang sudah menyeretku ke kelas. Benar kata Dave aku harus melupakan masalah kak Genta sementara ini, sekarang aku harus fokus dulu di ujian semester ini.
Aku duduk dibangku yang sudah tertulis namaku diatasnya. Aku mencoba belajar sebentar sebelum ujian semester dimulai. Kali ini aku mencoba fokus dengan buku didepanku. Aku membolak-balikkan lembar-lembar buku ini. Kenapa susah sekali sih?
" buku itu dibaca dis! bukan dihanya dibalik-balik saja halamannya. Lagian kamu baca buku tapi tatapan mata kamu kayak kosong gitu ", Dave duduk disampingku.
" Dave! haha aku hanya bingung mau belajar dari mana ", Dave tertawa.
" kamu kok duduk disini Dave? ", tanyaku lagi bingung melihat Dave yang tidak juga pindah dari duduknya.
" astaga dis! gue kan emang duduk disini dis! "
" hah? ", kataku dengan wajah cengo. Aku tidak percaya Dave yang duduk di sebelahku. Biasanya memang kalau ada ujian semester seperti ini, tempat duduk setiap siswa diacak. Siswi perempuan harus duduk dengan siswa laki-laki. Dan itu tergantung wali kelasnya yang menentukan kita akan duduk dengan siapa. Agar tidak ada kemungkinan untuk menyontek jawaban teman. Kan biasanya cewek suka nyontek ke temen ceweknya, kalo nyontek ke temen cowok kan agak susah gitu. Lagian kalo para cowok dijadikan satu bisa-bisa jadi berisik dan mengganggu konsentrasi yang lain.
" kamu gak tau dis? ", tanyanya dan aku hanya menggeleng tak percaya. Aku memang tidak peduli siapapun yang akan duduk denganku. Tapi aku tidak menyangka kalau itu Dave! Dave memegang kepalaku dan mengarahkan ke arah mejanya yang terdapat tanda bahwa memang ini tempat duduknya. Aku hanya nyengir melihatnya.
" waah beneran kamu sebangku sama aku! ", kataku masih tak percaya. Dave mengangguk dengan senyumnya.
Beberapa menit kemudian bel berbunyi dan pertanda. ujian akan dimulai. Aku mencoba konsentrasi dengan soal-soal dihadapan ku. Untung pelajaran yang diujikan hari ini bukan pelajaran eksak. Jadi setidaknya aku masih bisa mengarang-ngarang jawaban. Jangan contoh aku ya temen-temen:(
Aku sempat melirik ke arah Dave. Dia juga sepertinya fokus mengerjakan soal ujiannya. Lucu juga melihat Dave yang lagi fokus gitu. Aku tertawa dalam hati. Tapi sedetik kemudian Dave menoleh kearah ku. Aku jadi gelagapan dan salah tingkah sendiri. Dan mungkin sedikit malu juga sih. Takutnya Dave salah sangka lagi! Tapi Dave hanya menampilkan senyumnya. Lalu fokus lagi dengan soal-soal itu.