Chereads / Serial Killer (A - Accident) / Chapter 26 - Dua Puluh Lima.

Chapter 26 - Dua Puluh Lima.

Menangkap dan membawa dua orang sekaligus bukan hal yang mudah. Ditambah lagi harus diam-diam dan membuat polisi yang berjaga di depan gerbang tidak curiga. Tapi naskah dari David yang sudah diperbaharui dan penulisan rencana tambahan jika dicurigai sebelum rencana balas dendam selesai, sangat membantu.

Baginya, David bukan hanya korban yang terlibat dalam kecelakaan 2 tahun lalu bersama ibu dan adiknya. David sudah mirip seperti kakak yang tidak pernah ia punya. Saat mendapat hari libur untuk pulang ke rumah, seperti biasa rumah akan kosong tanpa siapa-siapa. Ayah sudah pasti sedang bekerja dan entah sedang menjelajah ke pulau mana lagi. Di saat-saat seperti itu David akan datang.

Mungkin kedatangannya yang membawa makanan, menemaninya berbicara, bermain PS bersama, masih masuk dalam rencana membujuk agar mau menjadi sekutu untuk menjalankan rencana balas dendam. Tapi bagi Dani yang hanya memiliki 2, 3 orang teman, kedatangan seseorang sangat membuatnya senang. Sama seperti saat Ken menginap di rumahnya atau mereka ada janji pergi ke toko buku bersama.

Entah kenapa Dani selalu merasa kesepian setiap waktu. Selalu ada yang kosong dalam dirinya.

Ponsel Dani berdering dan nama yang tertera di layar ponselnya adalah Ken. Sesuai yang tertulis dalam naskah, Dani sudah mempersiapkan jika hal seperti ini terjadi. Setelah Tim Khusus menyadari bom yang ia kirim untuk unit Laka Lantas di Poresta Selatan hanya tipuan, selanjutnya mereka akan memastikan ketiga orang yang mereka lindungi aman.

Anggota Tim Khusus akan mencari-cari ketiga anak itu mengelilingi sekolah dan memeriksa orang yang mereka temui satu per satu. Sekolah ramai oleh para alumni sehingga bisa cukup untuk mengulur waktu.

Saat Tim Khusus menyadari dua dari tiga mangsa yang dilindungi menghilang, mereka sudah sangat terlambat. Selanjutnya Ken yang kalut pasti akan menghubungi. Memastikan bahwa hilangnya Darwis dan Ramli tidak ada hubungannya dengan Dani.

Sebenarnya akan lebih menarik menangkap ketiganya sekaligus. Tapi menangkap dua orang saja sudah merepotkan. Jika ditambah seorang lagi akan membuatnya lebih kerepotan. Tidak ada banyak waktu. Ia harus bergerak cepat sebelum polisi membaca rencananya.

Untuk mengelabui Ken dan para Tim Khusus sekali lagi, Dani akan menciptakan alibinya menggunakan tape rocorder. Toh polisi yang bertugas menyawasinya belum juga sadar ia telah meninggalkan rumah setelah berganti peran dengan seorang kurir makanan.

Dani merasa bisa melihat semua itu seperti ia dianugrahi kekuatan untuk melakukan kejahatan. Terdengarkan mengerikan memang. Bagaimana bisa seseorang yang sedang menanjalani pendidikan di akademi memiliki gejolak emosi seperti itu. Seseorang yang mungkin saja menjadi perwira di masa depan.

"Dani, kamu di mana?"

Suara Ken memburu. Rasa khawatir, panik, ketegangan, terdengar bercampur aduk. Ada sebuah perasaan yang entah kenapa Dani menikmati itu.

Ah, karena sejak awal mereka adalah rival. Meski berteman dengan baik mereka tetap lawan yang harus saling bersaing lagi satu sama lain di waktu berbeda. Meski berteman mereka tetap menyimpan perasaan ingin mengalahkan dan ingin menang satu sama lain. Ingin mendominasi.

"Di rumah. Memangnya di mana lagi." Dani menjaga suaranya agar tetap tenang. Dengan suara perekam yang sedang ia putar dan didengar orang yang bertelepon dengannya di seberang sana, Dani tidak perlu lagi berusaha meyakinkan dengan kata-kata.

Sebenarnya hari ini ia sudah harus kembali ke asrama. Tapi untuk mempermudah kepolisian melakukan pengawasan terhadap dirinya, untuk sementara ia di rumahkan. Sebenarnya dengan membiarkan Dani tetap di rumah membuat lagi-lagi semua berjalan sesuai naskah. Ia bisa melarikan diri dengan cara yang ia mau tanpa ada banyak saksi mata yang melihat.

"Kenapa? Terjadi sesuatu?" Dani balik bertanya, membuat suaranya terdengar senatural mungkin.

"Enggak," jawab Ken. Mungkin sembari menggelengkan kepalanya. Anak itu selalu melakukan gerakan yang sama saat bertelepon. Ada helaan nafas lega yang Dani dengar. Tiba-tiba terbesit perasaan bersalah. "Oke, kututup teleponnya."

Dani terdiam untuk beberapa saat. Perekam masih berputar, tapi pandangannya tertuju pada sesuatu yang kosong.

"Bukannya sudah terlambat untuk berhenti." Dani membatin. Ia mematikan tape dan siap bergerak.

Tidak sulit menangkap dua orang sekaligus setelah satu orang tertangkap. Karena keduanya berteman, ia hanya perlu mengirim pesan darurat dan meminta untuk bertemu di suatu tempat.

Ponsel Dani berdering lagi. Nama yang tertera di layar ponselnya masih nama yang sama, Ken.

Ini terlalu cepat. Ken terlalu cepat menyadari tipuannya. Padahal ia hanya meragu sekejap saja, tapi orang di seberang sana sudah berusaha mengejarnya.

Merasa semakin tidak ingin kalah, ia mengabaikan panggilan Ken. Selanjutnya menon-aktifkan ponselnya. Melepas batrei dan menyimpannya dalam dasbor.

Mulai dengan memindahkan salah satu dari dua mangsanya, Dani kembali bergerak. Kali ini ia tidak akan ragu lagi walau hanya sedetik. Jika ini adalah persaingan terakhir mereka, ia harus menang, harus mengalahkan Ken.

Persiapan selesai.

Ada tiga kendaraan yang berjajar satu arah di jalan yang sepi itu. Masing-masing diisi oleh orang yang berbeda. Di tempat paling ujung di kejauhan sana ada Ramli yang terikat di atas motor. Motor yang diparkir tepat di tengah jalan.

Jarak yang paling dekat dari motor adalah mobil sport merah. Darwis duduk di kursi kemudi dengan mesin mobil yang sudah dinyalakan. Ramli dan Darwis sama-sama dibius agar mempermudah menculik keduanya tanpa melakukan perlawanan.

Di belakang sport merah ada sebuah mobil besar yang sudah lama Anugrah persiapkan, Tandem Roller[4]. Kendaraan yang akan Dani kedarai untuk meratakan Darwis dan Ramli secara bersamaan, sekaligus.

Jika hanya meratakan keduanya tidak akan menarik. Dani memiliki rencana pemanasan.

Palang tanda jalan sedang ditutup sudah dipasang di kedua sisi. Sampai rencana berjalan, mereka akan aman tanpa gangguan.

Panggilan telepon masuk. Nada dering yang dipasang sengaja bervolume paling keras agar mangsa yang masih terlelap karena pengaruh obat bius bisa terusik dan cepat sadar. Dua nomor baru sudah dipersiapkan sebelumnya untuk rencana pemansan ini.

Tepat! Darwis mulai menunjukkan tanda-tanda kesadarannya mulai terkumpul. Siapa yang tidak terusik jika mendengar nada dering sekeras itu di dalam mobil yang seluruhnya tertutup.

Hal pertama yang Darwis lakukan setelah sadar adalah terkejut. Bagaimana ia bisa berada dalam mobil yang tidak dikenal, dalam keadaan terikat. Hal kedua mengingat-ingat; apa yang terjadi, kenapa ia bisa ada di sini, kemudian memeriksa sekitarnya.

Bukan hanya dirinya seorang diri yang terdampar di jalan itu. Ada seseorang di depan sana, seorang lagi di belakang mobil yang dikendarainya. Tidak satu pun yang Darwis tahu siapa orang di depan atau belakangnya. Bisa jadi Ramli, Arifin, atau keduanya. Bisa juga orang yang ingin membunuhnya.

Jadi itu benar, ia menjadi target dari si pembunuh gila yang terus dijadikan bahan perbincangan di mana-mana. Jadi itu sebabnya polisi-polisi itu terus berada di sekitarnya, yang meski menggangu ia harus tetap bekerja sama, memintanya terus waspada.

Sekarang, di mana polisi-polisi yang seharusnya mengawasinya sepanjang waktu itu?

"Ah, sial!" Darwis mengumpat kesal.

Ponsel yang kembali berdering mengalihkan perhatiannya dari memikirkan cara untuk melarikan diri. Ragu-ragu, Darwis mengangkat panggilan yang masuk.

"Halo!" suara di seberang sana berseru riang. Suara yang sama sekali tidak Darwis kenal. "Sudah bangun? Siap bermain?"

"Siapa? Kamu siapa?!" Darwis menyalak kesal.

"Aku? Dani Angkasa, anak sekaligus kakak yang meninggal karena kecelakaan dua tahun lalu. Aku juga perwakilan David Permana, salah satu korban kecelakaan yang tidak bisa lagi berjalan normal." Dani menyelesaikan perkenalannya.

Darwis terdengar bersuara, tapi dengan cepat Dani memotong.

"Ya, ya, ya. Jangan meminta maaf. Jangan bertingkah seolah sedih dan menyesal. Itu sudah dua tahun lalu, maaf tidak ada gunanya lagi. Bahkan untuk para korban dan keluarga yang ditinggalkan menangis 2 tahun sudah bisa mengeringkan air mata mereka," ucap Ken. "Karena sudah dua tahun satu-satunya yang bisa dilakukan hanya menuntut balas. Iya, 'kan?"

"Tapi itu kecelakaan. Aku juga enggak berpikir akan ada kejadian seperti itu." Darwis mengubah nada suaranya, merendah, penuh penyesalan.

"Kecelakaan? Iya itu kecelakaan tapi bukan kecelakaan biasa. Kalian penyebabnya, bodoh! Menggunakan jalan umum untuk bermain. Kalau ingin lakukan, seharusnya kalian pastikan itu aman!" Kali ini Dani yang menyalak.

"Tapi itu kecelakaan..."

"Ya, ya, ya cukup bernostalgianya. Ayo, kita main! Ingat kejadian dua tahun lalu, 'kan?" Dani menunggu, tidak ada jawaban dari orang di seberang sana. "Aku di belakang sudah bersiap akan menggilasmu kapan pun aku mau. Lihat di depan sana? Temanmu masih asyik terlelap di atas motor. Yang harus kamu lakukan untuk kabur hanya menginjak gas dan menabraknya sekuat tenaga. Kalau enggak aku yang akan menggilasmu dan temanmu itu sekaligus."

"Gila! Jangan pikir akan aku lakukan!" Darwis kembali ke nada bicaranya yang menantang.

"Oh, jadi kamu lebih memilih membanting stir. Silakan! Kamu bisa memilih membanting stir ke kanan atau ke kiri. Pilihannya hanya dua. Kamu jatuh ke sungai dan tenggelam dalam mobil atau menabrak pembatas jalan dengan kemungkinan besar mobilmu akan terbalik. Pilihan yang mana pun kamu akan mati." Dani menyeringai. "Kecuali, tabrak orang di depan sana sekuat-kuatnya. Dia akan menyingkir dari jalan dan kamu bisa bebas melarikan diri."

Darwis menelan ludahnya. Membayangkan dirinya menabrak temannya dengan kuat membuatnya ketakutan. Bagaimana bisa ia lakukan itu setelah janji akan menjelajah bersama yang baru mereka sepakati saat di sekolah tadi.

Tapi... apa ia bisa memilih? Nyawanya juga sedang terancam, jadi kenapa harus repot-repot menghawatirkan nyawa orang lain.

"Pikirkan baik-baik. Aku akan mulai dengan memanaskan mesin." Dani bersiap-siap.

Sebelumnya ia tidak tahu cara mengendarai kendaraan berat semacam ini. David datang ke rumah dan memberinya beberapa teori untuk menyalakan mesin dan mengoprasikannya tanpa ia tahu ini adalah bagian dari rencana balas dendam.

Sejak awal David hanya berpikir untuk menjadikannya sekutu. Semua hal baik yang dilakukannya, yang membuat Dani tersentuh hanya untuk tujuan ini. Ini tidak adil karena ia baru sadar setelah melakukan semuanya. Setelah berjalan terlalu jauh.

Apa yang harus dilakukannya sekarang? Apa Dani harus berhenti, menyerahkan diri, dan menyesal begitu saja. Melepaskan mangsa yang sudah ada di depan mulutnya.

Bagaimana dengan janji untuk mengalahkan Ken tadi, janji untuk menang? Janji yang ia bertekad pada dirinya sendiri untuk tidak lagi meragu.

Dani menghela nafas.

"Setelah melakukan satu kejahatan memang sulit untuk berhenti. Mungkin benar seperti candu. Setelah membunuh tiga orang apa aku bisa hanya menyesal dan menyerakan diri?" tanya Dani pada dirinya sendiri. "Ternyata... aku lebih buruk dari mereka."

Suara mesin dari mobil di depannya menderu, menandakan Darwis telah membuat keputusan.

"Cepat sekali dia selesai berpikir." Dani menyeringai.

***

[4] Kendaraan alat berat yang biasanya digunakan untuk memadatkan tanah.