Selama sesi introgasi, Dani mengakui semua perbuatannya. Naskah pembunuhan yang ditulis David dengan berapa bagian yang ia perbaharui ditemukan tersimpan di lemari rumahnya. Selain naskah, kunci yang digunakan sebagai tempat menyekap korban juga ditemukan.
Dani menceritakan semuanya tanpa menutupi satu bagian pun.
Di pembunuhan kedua, Dani tidak melakukannya sendiri. Ia berada di rumah untuk membuat alibi. Ken akan menjadi saksi dari alibinya. Ia menggunakan pembunuh bayaran untuk melakukan segalanya sesuai naskah. Dani hanya akan menghubungi orang itu saat tugasnya telah selesai. Waktu dan cara menghubungi, orang itu yang menentukan.
***
"Ini motormu? Bukannya sudah kubilang supaya waspada." Haikal berbicara pada pemilik motor yang datang untuk memastikan setelah polisi memberikan informasi bahwa kendaraannya yang hilang telah ditemukan. Alexi, seorang teman Haikal.
"Kupikir pelakunya hanya mencuri mobil," ujar Alexi.
Haikal menghela nafas. Alasan hanya mencuri mobil harusnya tidak membuat seseorang menurunkan kewaspadaannya, dan tidak bersikap tidak hati-hati.
"Untuk sementara motormu kami tahan sebagai bukti," Haikal memberi penjelasan. "Sudah kubilang, 'kan kalau sampai digunakan untuk membunuh bisa jadi lebih rumit."
Alexi hanya mengangguk pasrah.
Haikal sedang memeriksa semua barang bukti yang berhubungan dengan kasus untuk melengkapi berkas laporan yang akan dibuat. Ketika mengerjakan pekerjaannya, Haikal melihat temannya sedang membicarakan motor yang dicuri dengan seorang petugas.
"Si anak baru mana?" Haikal bertanya setelah kembali dari menyelesaikan tugasnya.
"Sepertinya dia belum kembali dari penggeledahan di rumah Dani." Huda yang ditanya hanya menjawab dengan menduga-duga.
"Dia bilang masih mau tinggal sebentar. Tapi dari rumah Dani dia mau langsung pulang ke rumah untuk siap-siap karena besok harus sudah kembali ke asrama," Iwata yang ikut menggeledah bersama Ken menjawab.
Sementara tugas Haikal telah selesai, dua rekannya yang lain masih sibuk di depan komputer masing-masing. Suara jari-jari yang menari di atas tuts silih berganti saling mengisi.
***
Ken masih berdiri melihat isi laci meja di kamar Dani. Seperti yang Dani sebutkan terakhir kali, ada kado untuknya dari Tuan Putri. Tapi, dalam laci itu tidak hanya ada satu kotak berbungkus kertas kado, melainkan dua.
Satu hadiah berbungkus kertas kado rapi dan berpita merah, sudah pasti dari Amelia. Satu lagi kado yang baru terbungkus setengahnya.
"Padahal aku bohong tentang tanggal lahirku," Ken berbicara sendiri. Ia mengeluarkan kedua kado dari laci.
Ken memulai dengan membuka kado dari Dani. Kertas kado yang baru terisolasi sebagian dibukanya perlahan, pelan-pelan, penuh perasaan. Dani pasti akan meneriakinya jika kado darinya dibuka dengan kasar dan serampangan. Sama seperti saat ia membuka hadiah dari Amelia beberapa bulan lalu.
Kotak yang membungkus seukuran kotak kado milik Amelia. Saat kotak dibuka, ada kotak yang lebih kecil lagi di dalamnya. Dibuka lagi, ada kotak yang lebih kecil lagi. Begitu seterusnya sampai pada kotak berukuran 3 cm.
Kotak terakhir dibuka dan isi kado pun terlihat, tali sepatu berwarna biru tua.
Ken tertawa setelah melihat apa isinya. Memang hanya Dani yang akan mau berepot-repot ria membungkus tali sepatu hingga berlapis-lapis.
Berpikir untuk mencoba hadiah yang baru diterimanya, Ken membuka tali sepatunya yang berwarna putih dan menggantinya dengan pemberian Dani yang berwarna biru. Warnanya mungkin sedikit mencolok di sepatu putihnya, tapi ia menyukai warna biru.
Mungkin menyadari lebih awal mengenai bibit kebencian yang Dani miliki bisa menjauhkannya dari masalah. Dani yang selalu berkata sinis mengenai anak-anak yang mengendarai motor dengan ugal-ugalan, Dani yang keras hati, juga Dani yang mulai bertingkah aneh sejak beberapa bulan belakangan. Seharusnya ia bisa menangkap itu sebagai sebuah sinyal tanda bahaya.
Nyatanya, sampai semua terjadi tidak ada yang bisa dilakukannya selain menangkap Dani.
Ken bersiap meninggalkan rumah Dani, namun seorang pria yang hampir menginjak usia setengah abad masuk. Ayah Dani.
"Ken, Dani... apa benar Dani..."
Ken megangguk pelan.
Tidak kuasa mendengar berita yang tidak dapat dipercaya akal sehatnya, membuat persendian kakinya melemas. Ia hampir saja ambruk kalau tidak cepat bertumpu pada sofa dan duduk.
Wajah ayah Dani yang tirus dan panjang dipenuhi gurat kekecewaan, lelah, dan kesedihan yang mendalam. Tatapannya tanpa ekspresi. Mungkin masih berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa semua yang baru didengarnya nyata.
Seperti kata Ken. Pada akhirnya ayah Dani yang ditinggal sendiri oleh semua anggota keluarga. Meski Dani bukan dalam artian yang benar-benar pergi, tapi mereka tidak akan bisa lagi menghabiskan banyak waktu bersama. Tidak bisa saling bertemu sesering yang dimau, tidak bisa mengeluh masalah pekerjaan, tidak bisa membersihkan rumah bersama, dan tidak bisa lagi merasakan masakan Dani.
Ken tidak bisa berkata apa-apa. Meski hanya kalimat singkat untuk menguatkan. Ia bertanggung jawab untuk penangkapan Dani, tapi tidak ingin merasa bersalah karena telah melakukan tugasnya.
"Di mana? Sekarang Dani ada di mana?" tanya ayah Dani.
"Biar saya antar." Ken menawarkan diri sebagai satu-satunya hal yang bisa ia lakukan.
Ken meninggalkan ayah dan anak itu berdua saja setelah megantar. Mereka perlu privasi untuk membicara banyak hal. Lagi pula keberadaanya hanya akan membuat suasana terasa canggung.
Sesuai jadwal dispensasi yang Ken dapat, besok adalah jadwalnya kembali ke akademi, yang berarti harus mendekam di asrama juga. Ia sudah mendapat izin untuk pulang lebih awal dari Ketua tim.
Ibu Ken berencana memasakkan makanan kesukaan Ken saat pulang kerja nanti. Jadi ia mengirim pesan agar anaknya mampir ke swalayan lebih dulu, membeli beberapa bahan dapur yang kosong.
"Baru pulang?"
"Pak Haikal."
Haikal berdiri sembari bersandar di dinding pagar rumah Ken. Kedua tangannya dilipat di depan dada. Tampaknya ia sudah cukup lama berdiri menunggu kepulangan Ken di tempat itu. Terbukti dari ekspresi dongkol yang wajahnya tunjukkan.
Ken mengerutkan keningnya. Ia baru saja memeriksa ponselnya dan tidak ada panggilan atau pesan dari Haikal, tidak ada juga janji untuk bertemu. Tiba-tiba melihat Haikal sudah berdiri di depan rumahnya tentu saja membuat terkejut.
Ken tidak pernah menyebutkan di mana ia tinggal. Satu-satunya cara mengetahui alamat tempat tinggalnya yaitu dari rekannya di unit Inafis atau memeriksa profil yang masuk di database.
"Saya datang untuk memastikan sesuatu. Besok kamu sudah kembali ke asrama, 'kan?" Haikal menyampaikan maksud kedatangannya tanpa memperpanjang basa-basinya.
"Apa?"
Haikal tersenyum mencurigakan. Ia bergerak dua langkah mendekati Ken. "Daffa Arya Ghossan... kamu anak dari narapidana itu, 'kan?"
Pupil mata Ken spotan melebar. Terkejut. Identitas keluarganya bukanlah sesuatu yang bisa orang lain temukan dengan mudah.
Kening Ken kembali berkerut.
"Kenapa Bapak mencari tahu?" Ken balik bertanya sengit.
Lagi-lagi Haikal tersenyum mencurigakan. "Psyco Test Project, kamu pernah mendengar itu?" Bukannya menjawab pertanyaan Ken, Haikal justru mengajukan pertanyaan lain. Pertanyaan yang sama sekali tidak Ken mengerti apa hubungannya.
"Apa hubungannya dengan saya?"
Sebelumnya, meski menurutnya Haikal sedikit menyebalkan Ken merasa baik-baik saja saat bersama pria itu. Kendatipun terkadang suka seenaknya dan angkuh, Haikal adalah polisi yang baik. Ia pekerja keras dan bisa diandalkan. Cara berpikirnya tajam.
Sekarang, Ken merasa harus mewaspadai orang itu. Orang yang diam-diam mencari tahu mengenai kehidupannya tidaklah sesederhana kelihatannya.
"Hanya... agar kamu lebih berhati-hati," Haikal berucap tulus. "Kamu tidak curiga, kenapa rekaman yang tidak ditemukan saat polisi melakukan olah TKP di tempatmu dan ayahmu disekap mendadak muncul di persidangan? Atau silsilah keluargamu yang sulit dilacak? Itu... pasti karena ada seseorang di belakang layar, kan." Haikal menurunkan volume suara di kalimat terakhirnya.
***