Chereads / Serial Killer (A - Accident) / Chapter 29 - Dua Puluh Delapan.

Chapter 29 - Dua Puluh Delapan.

Iwata merasa lega akhirnya kasus bisa selesai sebelum batas waktu yang diberikan berakhir. Dan yang lebih membuatnya lega dan senang lagi karena cuti yang sudah ia ajukan sejak sebulan yang lalu akhirya disetujui.

Iwata keluar dari ruangan atasannya dengan girang. Wajahnya merona penuh suka cita. Sebelum mengurus persiapan pernikahannya, ia terlebih dahulu akan menyelesaikan hal terakhir yang sudah menjadi kebiasaannya sejak lama.

Kebiasaan Iwata yang selalu ia lakukan adalah memeriksa kembali kasus yang sudah terselesaikan. Ia melakukannya agar tidak ada kesalahan dalam penangkapan, penemuan barang bukti, dan yang terpenting untuk meminimalkan risiko melewatkan sesuatu yang penting. Itu adalah caranya berhati-hati dalam melaksanakan tugas.

Setelah selesai memeriksa beberapa bagian tampaknya memang tidak ada yang salah. Semua sesuai prosedur dan seperti yang sudah seharusnya.

'Dengan mengirim ini ke kita jelas ini perang yang coba pelaku kobarkan.'

'Kita belum tahu si pengirim benar pelaku atau bukan.'

Ingatan mengenai pembahasan foto yang dikirim untuk Tim Khusus menggema dalam benak Iwata. Ia periksa lagi laporan pengakuan Dani dan tidak ditemukan sesuatu yang berhubungan dengan pengiriman foto disebutkan dalam rencana.

Merasa ada yang tidak beres dan perlu ia cari tahu, Iwata putuskan untuk menemui Dani yang mendekam dalam tahanan.

Tidak ada yang boleh terlewatkan olehnya sekecil apa pun hal yang menyangkut kasus. Sesuatu sederhana yang diremehkan bisa saja menjadi petunjuk untuk sesuatu yang penting. Jika tidak dipastikan siapa yang jamin sesuatu itu hanya hal remeh-temeh.

"Bagaimana perasaanmu ditangkap oleh teman sendiri?" Iwata memulai dengan basa-basi singkat.

Dani tersenyum simpul. Tidak terlihat terbebani dengan kondisinya yang mendekam di balik jeruji besi. "Bukan Ken yang menangkap saya, tapi Bapak."

"Tapi kalau bukan karena Ken segera sadar bahwa backsound yang didengarnya hanya tipuan dan tindakan inisiatifnya merekam pembicaraan kalian di telepon, polisi tidak akan bisa menemukanmu dengan cepat," jelas Iwata.

Dani tersenyum samar.

"Wah, ternyata dia lebih cerdik dari yang saya pikir." Dani yang belum mendengar apa pun mengenai rekaman merasa tertipu. Lagi, Ken berhasil mengalahkannya.

"Itu adil, 'kan. Skornya jadi satu sama. Kamu menipu Ken, Ken juga sama. Perteman kalian benar-benar aneh," komentar Iwata.

Dani tertawa kecil. Benar, pertemanan mereka benar-benar aneh. Awalnya ia pikir tidak akan begitu sulit membohongi Ken. Tapi ternyata saat ia menipu, ia juga tertipu. Meski berteman, mereka benar-benar rival selamanya. Dibanding pertemanan, persaingan mereka lebih mendarah daging. Bahkan masih bisa menipu disaat mempercayai.

"Sebenarnya saya ke sini bukan untuk membahas itu," Iwata mulai ke inti masalahnya. "Foto, kenapa kamu mengirim itu ke Tim Khusus. Apa kamu benar-benar berpikir untuk mengajukan tantangan secara langsung ke Ken dengan foto itu?"

Dani tidak langsung menjawab. Iwata memperhatikan gerak-gerik orang di depannya dengan sangat teliti. Bahkan sampai ke gerakan-gerakan kecil yang dilakukan bola matanya.

"Iya."

"Bohong!" bantah Iwata cepat. "Bukan kamu, 'kan? Itu sama sekali tidak ada dalam naskah dan kamu tidak mempunyai naluri persaingan dengan Ken seagresif itu karena kalian pada dasarnya berteman."

"Benarkah? Kalau begitu kenapa Bapak bertanya?"

"Hanya untuk memastikan." Iwata menatap langsung ke dalam mata Dani.

"Saya pikir setelah ken mengalahkan saya, mengirim tantangan secara langsung melalui foto itu bisa terlihat keren..."

"Siapa, siapa pengirim fotonya?" Iwata memutus.

Dani mengangkat kedua bahunya bersamaan. Ia bahkan tidak tahu foto apa yang Iwata maksud. Seperti katanya barusan, mengakui perbuatan yang tidak dilakukannya ia pikir akan memberi kesan keren.

Selain foto, hal lain yang belum terpecahkan adalah mengenai pembunuh bayaran yang menggantikan aksi Dani menghabisi korban kedua. Orang itu tidak terlacak dan sama sekali tidak diketahui identitasnya.

Menurut pengakuan Dani, ia bisa mendapatkan kontak orang itu setelah masuk ke sebuah situs terlarang. Situs yang kini sudah tidak bisa ditemukan lagi karena dihapus.

Tidak mudah ditemukan dan tidak mudah terlacak adalah ciri khas seorang profesional. Jaminan kepolisian bisa menangkap orang itu tanpa informasi lebih banyak sangatlah mustahil.

"Satu lagi," Dani berbicara sebelum Iwata memutuskan mengakhiri pembicaraan mereka. "Selain pembunuh bayaran itu ada satu hal lagi yang aneh." Dani menahan kalimatnya untuk sesaat. "Saya menemukan sebuah artikel mengenai kematian David Permana masuk di beranda facebook saya. Tapi kalian bilang sangat sulit melacak keberadaan David karena kakaknya bahkan tidak melaporkan kematiannya. Bagaimana bisa?"

Spontan bulu roma Iwata meremang. Ini seperti cerita dalam film horor. Si hantu yang mati penasaran mengirim tanda ke seseorang bahwa ia butuh pertolongan untuk membalaskan dendamnya.

Tidak, tidak!

Iwata menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Dalam film horor, si hantu lebih sering menulis dengan darah di cermin atau mendatangi seseorang dalam mimpi jika butuh pertolongan. Bukannya membuat artikel dan menyebarkannya di facebook.

Tidak langsung percaya perkataan Dani, Iwata memintanya untuk memperlihatkan artikel itu sebagai bukti. Dani masuk ke akunnya melalui ponsel Iwata. Saat diperiksa...

"Tidak ada, sudah dihapus!" kata Dani.

Iwata tidak berekspresi. Bulu romanya kembali meremang. Ia bahkan tidak berkedip selama lebih dari 3 menit. Ini benar-benar horor.

"Kenapa? Bapak pikir itu ulah hantu?" tanya Dani, Iwata tidak menjawab, tapi ekspresinya jelas mengatakan 'iya.'

Dani terbahak. Tawanya keras dan pecah.

Iwata berdecak. "Kamu berani bohong pada polisi?!" tambahnya kesal.

"Saya tidak bohong." Dani masih tidak bisa menahan tawanya. "Itu ada sebelumnya. Tapi karena dihapus itu jelas bukan ulah hantu. Sejak kapan ada polisi yang percaya hantu ikut campur dalam kausus pembunuhan," tambah Dani disertai nada ejekan.

Dani masih tidak bisa menghentikan tawanya. Iwata yang kesal hendak menjitak kepala Dani, tapi Dani justru mengancamnya.

"Saya akan menuntut Bapak kalau sampai Bapak memukul saya," katanya serius kemudian tertawa lagi.

"Sial!" Iwata meradang.

Iwata mengambil nafas dalam-dalam, banyak-banyak, sebanyak ia juga mengumpulkan kembali kesabarannya.

"Malam itu setelah terjadi kecelakaan saat semua orang yang menonton berhambur pergi karena tidak ingin terlibat masalah dan berhadapan dengan polisi, Tri Agus 20 tahun, korban kedua, dia memanggil ambulans setelah meninggalkan TKP." Iwata membuang jauh-jauh pemikiran horornya mengenai hantu dan kembali ke topik yang lebih serius. "Walau terlambat."

Tawa Dani perlahan terhenti. "Kalau terlambat apa artinya?"

"Artinya dia manusia. Dia berhak dimaafkan dan diberi kesempatan kedua untuk hidup," Iwata berkata bijak.

Pembahasan selesai. Tidak ada lagi yang harus dibicarakan. Meski menertawakannya, Iwata yakin mengenai kebenaran pernyataan Dani yang menyebutkan mengenai artikel kematian David. Ia akan menyelidiki lebih lanjut hal itu.

"Satu lagi... yang membuat saya penasaran," Dani menghentikan langkah Iwata. Iwata hanya berbalik, ini akan berakhir cepat jadi ia tidak perlu kembali duduk. "Sajak kapan... Ken mencurigai saya sebagai pelaku utamanya?"

Iwata berpikir sesaat, mengingat pertanyaan yang sama yang baru-baru saja diajukannya ke Ken.

"Sejak saya mengatakan akan ada kasus lanjutan tapi dia tidak bertanya lebih lanjut mengenai apa maksudnya atau kenapa begitu. Itu seperti dia sudah tahu kalau kasus lanjutan itu benar-benar ada," Iwata menjawab seperti apa yang Ken katakan. "Itu katanya."

"Oh."

Dani tertawa lagi. Kali ini tawa lirih yang berarti kekalahannya. Sekali lagi ia kalah langkah dari Ken. Pemikiran tajam Ken, tindakan cepat, dan tepat yang diambil. Mungkin ia tidak akan pernah bisa menyamai itu, yang artinya tidak ada kesempatan untuknya mengalahkan Ken.

Iwata tidak jadi lagsung pulang ke rumah setelah menemui Dani seperti rencana awalnya. Ia masih harus memeriksa beberapa hal. Jika tidak segera menemukan jawabannya, ia tidak akan bisa tenang meski sudah di rumah.

Kembali ke markas Tim Khusus, Iwata memeriksa rekaman CCTV terdekat dari TKP yang sebelumnya sudah dikumpulkan. Iwata duduk di kursinya dan menonton semua selama berjam-jam. Fokus.

Ketua tim datang untuk berkemas menjelang magrib.

"Belum pulang?"

"Masih ada yang perlu saya periksa, Ndan." Iwata mengangkat wajahnya dari layar komputer. "Ngomong-ngomong kapan Tim Khusus akan resmi dibubarkan?"

"Tidak jadi dibubarkan, ada kasus baru."

"Apa?"

"Jangan khawatir itu tidak akan memengaruhi permintaan cutimu yang sudah disetujui. Hanya akan ada pergantian ketua tim dan penambahan anggota," jelas Ketua tim.

"Oh."

Setelah Ketua tim selesai membereskan semua barang-barangnya dan pergi, Iwata kembali dengan kesibukkannya. Setelah berpindah ke beberapa file, Iwata akhirnya menemukan seseorang yang ia curigai. Seseorang yang mengantungkan kamera fotografi di lehernya. Orang itu masuk ke sebuah swalayan.

'Resolusi gambarnya terlalu bagus untuk diambil dengan kamera ponsel jadi sudah jelas itu menggunakan kamera fotografi...'

Iwata teringat hasil laporan lab. forensik yang disimpulkan Ketua tim.

Segera setelah itu Iwata meninggalkan kantor. Tujuan selanjutnya adalah swalayan 24 jam itu, dan mengkonfirmasi wajah yang tertangkap CCTV.

"Bisa perlihatkan rekaman CCTV tanggal 5 Agustus?" kata Iwata setelah memperlihatkan tanda pengenalnya.

Seorang gadis yang bertugas di kasir meminta Iwata menunggu sebentar. Ia harus memberitakukan kedatangan Iwata pada bosnya lebih dulu. Setelah si bos yang ternyata adalah ibu-ibu bertubuh gemuk, pendek, dan mengenakan kaca mata, keluar, Iwata kembali menyampaikan permintaannya.

Dengan diawasi si ibu bos di belakang punggungnya, Iwata memeriksa rekaman CCTV yang ditunjukkan padanya. Meski sudah menunjukkan tanda pengenal polisinya, tampaknya Iwata belum cukup ia percayai untuk masuk ke dalam daerah kekuasaannya.

"Dapat!" Iwata berseru. Ia kemudian memperbesar gambar dengan memfokuskan pada wajahnya. "Orang itu!" Iwata tidak dapat bereaksi untuk beberapa saat. Tidak ingin percaya pada apa yang baru dilihatnya.

Orang itu bernama Bagas. Dia adalah korban kasus salah tangkap. Ia diduga membunuh pacarnya dan sempat dipenjarakan. Bagas juga dicurigai terlibat dalam kasus yang Tim Khusus tangani setahun lalu.

Tapi semuanya hanya sebatas kecurigaan. Karena setelah pelakunya tertangkap, Bagas dinyatakan tidak bersalah, tidak terlibat. Bukti keterlibatannya pun tidak ditemukan.

Bagas mulai bekerja di salah satu perusahaan surat kabar lokal terkenal setelah terbebas dari kasus salah tangkapnya.

Ada banyak hal yang hilang karena kasus salah tangkap itu selain pekerjaannya. Menjadi pembicaraan di sana-sini, dipandang rendah, juga dikutuk semua orang karena kasus yang salah. Ibunya yang menjalani perawatan di rumah sakit meninggal karena serangan jantung, adiknya yang beranjak remaja pun bunuh diri karena tidak tahan dengan komentar-komentar yang selalu menyudutkannya.

Bahkan setelah polisi mengklarifikasi kasus salah tangkapnya dan meminta maaf dihadapan media, dan nama baiknya telah dikembalikan, tidak satu pun dari banyak hal yang hilang itu kembali. Semua itu membuat Bagas marah. Bahkan dengan hanya mengutuki seluruh dunia saja tidak akan cukup.

Kata-kata adalah senjata yang mampu menyakiti siapa pun dan tidak dapat ditarik kembali. Setelah terluka hanya akan ada bekas yang tertinggal.

"Ada waktu untuk bicara sebentar?"

Begitu tahu wajah siapa yang terekam CCTV, Iwata datang untuk mengkonfimasinya langsung. Karena tahu Bagas adalah tipe karyawan orang yang selalu pulang paling lambat dari tempatnya bekerja, ia tahu bisa menemui orang itu di mana.

"Ada perlu apa?" Bagas sama sekali tidak merasa terganggu.

"Kasus baru-baru ini, saya mencurigai Anda sebagai orang yang mengirim foto yang ditujukan ke Tim Khusus." Iwata langsung ke inti maksud dan tujuannya menemui Bagas.

Iwata memperlihatkan foto yang ia ambil dengan kamera ponselnya untuk ditunjukkan pada Bagas sebagai bukti. Foto saat Bagas membeli air mineral di swalayan 24 jam yang berjarak tidak jauh dari TKP korban ketiga.

"Benar." Bagas mengaku tanpa banyak pertimbangan. "Aku berpikir kecelakaan itu berhubungan dengan dua kasus sebelumnya. Sebagai warga negara yang baik bukannya memang harus memberitahukannya kepada polisi?"

"Kenapa harus diam-diam? Kenapa tidak menyertakan identitas Anda sebagai pengirim?" Iwata kembali mengajukan pertanyaan.

"Kalian... bukannya yang paling tahu. Bagaimana bisa, orang yang memiliki trauma terhadap kalian mengirimkan itu secara terang-terangan? Mencoba terlihat sebagai pahlawan."

Iwata tidak bisa membantah. Perkataan Bagas memang benar. Tidak mungkin setelah semua yang menimpanya, secara terang-terangan ia mencoba memperlihatkan diri sebagai pahlawan. Bagas bukan orang dengan kepribadian seperti itu.

"Artikel yang masuk ke berada Dani, apa Anda yang mengirimkannya?"

Bagas menghela nafas. "Ini terlihat seperti kalian berusaha mencari-cari kesalahanku." Kali ini Bagas merasa terganggu.

"Saya hanya bertindak sebagaimana seharusnya."

"Bukan," jawab Bagas singkat.

"Terima kasih untuk kerjasamanya. Kalau begitu..."

"Setiap orang memiliki sisi gelapnya sendiri, hanya perlu menyulutnya untuk membangkitkan bagian jahatnya," Bagas mengucapkan kutipan dari kalimat yang paling disukainya. "Apa kalian pikir hanya Dani orang yang memiliki sisi jahat? Orang lain yang kesepian dan kehilangan adik tersayangnya tidak akan apa-apa?"

Sama seperti ketika Dani mengatakan ada artikel yang masuk ke beranda facebooknya mengenai kematian David yang entah siapa penulisnya, kalimat Bagas barusan sama menakutkannya, membuat bulu roma Iwata mendadak meremang.

Entah itu petunjuk atau tipuan untuk membuatnya goyah, satu hal yang perlu dilakukannya. Memastikan.

Iwata kembali ke tempat semula, rumah tahanan. Anugrah ditahan di tempat yang sama dengan Dani namun dalam sel yang berbeda. Ia hanya perlu mendengar jawaban Anugrah untuk memastikan perkataan Bagas hanya tipuan untuk menggoyahkannya atau petunjuk.

Seorang sipir mengantar Anugrah memasuki ruang besuk. Sebenarnya tidak ada jam kunjungan pada malam hari, tapi karena wewenang yang Iwata miliki sebagai seorang petugas, kedatangannya masih diterima.

"Anda berbohong saat mengatakan tidak mengetahui identitas Dani sebagai pelaku yang sebenarnya. Dani memang tidak melakukan kontak dengan bertatap muka secara langsung dengan Anda, tapi Anda tahu siapa dia. Anda tahu benar!" Iwata mendakwa Anugrah dengan tuduhan-tuduhannya tanpa memulai dengan pertanyaan. "Itu karena Anda yang mengirimkan artikel yang berisi berita kematian David. Anda yang membangkitkan keinginannya balas dendam menggantikan adik Anda."

Anugrah tidak bereaksi untuk beberapa saat, tapi kemudian bibirnya tertarik sedikit. Menyeringai keji. Wajahnya yang polos dan tidak tahu apa-apa tertelan seringai kecilnya yang mengerikan.

Iwata menggerbrak meja. Marah, kesal, merasa tertipu. Ia ingin menyalak. Ia juga menyesalkan kenapa hati manusia begitu mudah berubah. Tapi suaranya tertahan. Tatapannya nanar tertuju kepada iblis yang baru terlahir di depannya.

***