Chereads / Serial Killer (A - Accident) / Chapter 22 - Dua Puluh Satu.

Chapter 22 - Dua Puluh Satu.

Setelah materi penyelidikan cukup, untuk menentukan tema baru kasus yang sedang Tim Khusus tangani, para anggotanya kembali berkumpul untuk rapat. Ini adalah pembahasan lanjutan dari fakta yang sebelumnya berhasil Huda kumpulkan.

Kelompok Iwata dan Ken yang bertugas memeriksa korban kecelakaan, dan tugas Haikal dan Huda yang memeriksa anak-anak yang mungkin terlibat dalam balapan liar akhir November dua tahun lalu. Mereka telah siap melaporkan temuan-temuan mereka di lapangan.

"Jadi?" Ketua tim langsung bertanya begitu mereka semua berkumpul.

Iwata memulai sebagai yang pertama.

Salah satu korban dalam kecelakaan dua tahun lalu adalah keluarga Anugrah Permana, seseorang yang sebelumnya mereka curigai sekaligus mantan salah seorang pekerja di tempat truk perusahaan yang digunakan untuk membunuh dicuri.

David Permana 27 tahun adalah salah satu korban selamat dari kecelakaan 2 tahun lalu. David adalah adik kandung dari Anugrah Permana.

"Dan…" Iwata menahan kalimatnya untuk beberapa saat "David memiliki masalah dengan kakinya. Setelah kecelakaan itu masa depannya sebagai atlet sepak bola hancur. Luka di kaki kanannya membuat David tidak lagi bisa berjalan normal."

"Tentang tidak banyaknya jejak kaki yang tertinggal di TKP, apa ini petunjuknya?" Huda mengajukan pertanyaan.

Iwata tidak langsung menjawab. Tatapannya tertuju ke arah Ken untuk beberapa saat. Anak itu semakin pendiam sejak beberapa hari lalu. "Mungkin," jawabnya singkat.

"Sekarang David ada di mana?" Ketua tim juga bertanya.

"Tidak diketahui."

Jawaban terakhir Iwata menjadi pernyataan penutup untuk mengakhiri keterangannya. Tidak ada lagi yang bisa ia sampaikan.

Laporan selanjutnya disampaikan oleh Huda.

Menurut keterangan saksi yang ada di TKP pada malam akhir November dua tahun lalu itu, anak-anak yang ikut balapan ada 4 orang dan 1 orang yang bertugas mensterilkan jalan.

Sementara Huda melanjutkan penjelasannya, Haikal membagikan daftar nama anak-anak yang dimaksud.

Korban pertama, Tri Agus adalah orang yang kebetulan lewat, kebetulan melihat kecelakaan terjadi, namun mengabaikan korban-korbannya yang sedang sekarat. Korban kedua, Aditya Zainuddin adalah anggota aktif yang rutin mengikuti balap liar setiap minggu malam sampai dua tahun yang lalu. Sementara korban ketiga Fahri Syahreza adalah orang yang bertugas mensterilkan jalan.

Sisanya tiga orang lagi adalah Darwis Edi, Ramli, dan Arifin. Para pemuda yang baru memulai hidup mereka setelah terlepas dari seragam putih abu-abu.

Haikal dan Huda juga sudah menemui ketiganya, menjelaskan secara singkat hal darurat apa yang bisa saja menimpa mereka dan meminta pada ketiganya untuk bekerja sama dengan polisi. Beberapa hari ini mereka hanya akan dipantau, tapi jika memungkinkan dan memang dibutuhkan, mereka akan diberi perlindungan ekstra.

"Bagus! Mereka anak-anak yang mudah diatur," komentar ketua tim. "Haikal, minta bantuan tim lain untuk memantau ketiga anak-anak itu bergantaian."

"Siap!"

"Huda, kordinasikan ke unit Resmob untuk melakukan pelacakan keberadaan David Permana, masukkan dalam DPO[2]. Kalau perlu kita akan menggunakan media untuk menemukan persembunyiannya."

"Siap!"

"Pertama-tama saya akan melaporkan temuan-temuan kita ke atasan lebih dulu." Ketua tim menggosok-gosokkan telapak tangannya satu sama lain tanda sedang bersemangat. "Oke, kalau tidak ada yang perlu ditambahkan lagi…"

"Maaf, Ndan," Iwata menyela "Ada yang belum saya sampaikan."

"Apa?"

Iwata memberi jeda, kemudian melemparkan pandangannya ke arah Ken yang hanya duduk saja membisu. "Kamu tidak ingin bilang apa pun?" katanya pada Ken.

"Kenapa?" Ketua tim tidak mengerti dengan gelagat aneh Iwata dan Ken yang saling melempar pandangan. "Ken ada apa? Apa yang belum disampaikan?"

"Kenapa?" Huda berbisik pada Haikal. Haikal hanya mengangkat kedua bahunya bersamaan.

Haikal memang tahu ada sesuatu yang Ken sembunyikan dan itu besar kemungkinannya mengenai kasus yang sedang mereka selidiki. Tapi sampai sejauh ini ia masih belum tahu apa tepatnya sesuatu yang Ken sembunyikan itu.

Iwata menghela nafas. Tidak ingin menunggu jawaban Ken lebih lama lagi, Iwata akhirnya bicara sendiri. "Korban kecelakaan 2 tahun lalu, Ken mengenal salah satu keluarganya."

Semua mata kini tertuju pada Ken. Dipandang semua orang di saat bersamaan seharusnya membuat Ken merasa terintiminadasi. Tapi meski seperti itu, ia tetap tidak juga segera bicara.

"Ibu Nur Hasanah dan Putrinya Aeni 7 tahun," Ken akhirnya mulai bicara. "Keduanya, ibu dan adik perempuan salah seorang teman di akademi."

"Di akademi?" Haikal mengulang. "Itu artinya dia masuk karakteristik pelaku dari sudut pandangmu. Seseorang dari kalangan yang memahami cara kerja kepolisian."

"Apa temanmu itu mungkin pelakunya?" Ketua tim bertanya tanpa basa-basi.

"Bukan dia."

"Kamu yakin?" tanya Ketua tim lagi, memastikan.

Ken tidak langsung menjawab. Ia menjadi ragu, lebih ragu lagi. "Malam ketika pembunuhan kedua terjadi saya bersama dia. Jadi bukan dia, pasti bukan dia!"

Hening.

Ken adalah tipikal orang yang teliti. Jika memang mencurigakan dan memiliki kemungkinan besar orang yang dicurigainya itu adalah pelaku yang sebenarnya, tidak mungkin ia menjadi seragu-ragu ini. Sedekat apa pun hubungan perteman Ken, ia tentu tahu mana yang prioritas.

"Bagaimana kalau pelaku ingin orang lain berikir seperti itu." Haikal mengeluarkan argumennya. "Pertanyaannya adalah kenapa korban pertama dan kedua meninggalkan tanda pembunuhan yang serupa, sementara di pembunuhan korban ketiga tidak."

"Karena pelaku ingin orang lain berpikir bahwa korban pertama dan kedua dibunuh oleh orang yang sama?" Huda mengambil alih sebagai penjawab.

"Tepat!" Haikal menjentikkan jarinya. "Jika pelakunya memang sama, dia bisa terbebas dari tuduhan karena memiliki alibi sempurna saat pembunuhan kedua terjadi. Alibi yang disaksikan langsung oleh salah satu anggota yang kebetulan dari Tim Khusus.

Semua orang kembali menatap Ken.

"Bagaimana? Kamu masih yakin temanmu itu bukan pelakunya?" Ketua tim mengajukan pertanyaan yang sama untuk ketiga kalinya.

"Dia... bukan orang seperti itu." Suara Ken merendah, dalam. Penuh keraguan.

"Setiap orang memiliki sisi gelapnya sendiri, hanya perlu menyulutnya untuk membangkitkan bagian jahatnya." Iwata mengutip kalimat yang pernah didengarnya diucapkan orang lain.

"Heh, anak baru!" Haikal memburu ke depan dan mencengkram kerah baju Ken. "Jadi sebatas ini saja kelebihanmu. Selain bocah tukang ngambek dan gampang tersinggung ternyata kamu juga cengeng. Saya yakin di rumah kamu cuma anak mama yang manja."

"Siapa?!" Ken menyolot. "Saya kenal baik dia, jadi rasanya mustahil. Apa Bapak pernah ada di posisi ini, mencurigai teman sendiri?"

"Enggak," Haikal berkata tegas. Terlalu tegas bahkan. "Tapi mencurigai siapa pun yang mencurigakan memang tugas polisi, kemudian selidiki. Kamu memang belum menjadi polisi secara resmi, tapi kamu petugas di tim elit sekarang," tambah Haikal menekan kata 'tim elit.'

"Oke, cukup!" Ketua tim akhirnya menengahi.

"Dasar bocah!" Haikal melepaskan cengkramannya, masih kesal.

"Perdebatan kita putus sampai di sini. Kasus harus segera dipecahkan dan kita tidak punya cukup waktu untuk saling tunggu. Jadi Ken, cepat putuskan posisimu." Ketua tim pergi.

Seperti yang ketua tim katakan sebelumnya. Hal pertama yang akan dia lakukan adalah melaporkan temuan-temuan timnya ke atasan, ke Kabareskrim serta pengawas Tim Khusus. Ia memerlukan izin dari atasan untuk mengambil langkah selanjutnya serta mendiskusikan beberapa alternatif tindakan yang mungkin perlu diambil.

"Ke mana si anak baru?" Haikal yang baru kembali setelah membasuh wajahnya tidak menemukan Ken di mejanya.

"Ke luar sebentar, katanya," jawab Huda.

"Hah, dasar bocah itu!"

Selagi menunggu pembicaraan Ketua tim dan para atasan selesai, tidak ada yang dilakukan selain duduk tenang.

"Sen, kenapa hari ini emosional sekali?" Huda berbicara pada Haikal. "Ini mirip seperti perdebatan kalian setahun lalu," tambah Huda menunjuk Haikal dan Iwata bergantian.

Diingatkan kembali mengenaai kejadian setahun lalu, Iwata dan Haikal saling pandang. Sama seperti perdebatan dengan Ken hari ini, setahun lalu Haikal juga berdebat dengan Iwata dengan cara menarik kerah bajunya. Masalah yang diperdebatkan juga sama, sama-sama mengenai orang yang dicurigai.

Tapi kemudian keduanya menjadi semakin kompak dan akrab setelah berdebat. Huda adalah saksi mata langsung bagaimana hubungan keduanya yang begitu buruk di tahun lalu.

"Karena saya benci orang yang tiba-tiba berubah ragu." Haikal buang muka dan hanya duduk di tempatnya.

"Ragu dan hati-hati itu berbeda." Iwata yang duduk tepat di belakang punggung Haikal membeladiri. "Ken memang benar ragu, tapi saya dulu berhati-hati."

"Terserah apa katamu," Haikal menanggapi ketus.

Iwata tidak menanggapi lagi.

"Setiap orang memiliki sisi gelapnya sendiri, hanya perlu menyulutnya untuk membangkitkan bagian jahatnya." Haikal membuka pembahasan lain, mengulang kalimat yang Iwata ucapkan di depan Ken. "Itu... bukannya kalimat yang diucapkan 'orang itu' ke Sakhi."

'Orang itu.'

Huda menghentikan bunyi-bunyian yang dibuatnya dengan pulpen ceteknya.

'Orang itu,' adalah panggilan yang tidak menyebutkan nama orang yang dimaksud. Seolah tabu atau menyebutnya berarti sesuatu yang buruk mungkin akan terjadi.

Iwata tidak menjawab.

***

[2] Daftar Pencarian Orang.