Dua bulan usai sudah, gugatan cerai Asha dikabulkan Pengadilan Agama, dan hak asuh Keenan jatuh ke tangan Asha. Kemudian datang surat dari Lapas yang isinya Bayu ingin melihat anaknya. Hal ini tentu menimbulkan kegelisahan di hati Asha.
Di satu sisi ia tidak bisa menolak keinginan Bayu untuk bertemu anaknya, biar bagaimanapun Keenan adalah darah dagingnya. Tapi di sisi lain, Asha masih merasakan sakit hati atas pengkhianatan Bayu. Ntah apa jadinya jika mereka bertemu kembali setelah malam itu.
Hal ini lalu Asha diskusikan dengan kedua orangtuanya, yang akhirnya diputuskan mereka akan ikut mendampingi, tak lupa Ashapun menghubungi pengacaranya yang dahulu sudah membantunya selama proses perceraian. Untuk jaga-jaga pikirnya.
Pagi itu Asha mempersiapkan segala keperluan bayinya. Karena dilahirkan prematur tubuhnya masih terlihat mungil seperti bayi yang baru 1 bulan, padahal usianya sudah genap 4 bulan. Asha membungkusnya dengan kain dan selimut agar Keenan merasa nyaman selama di perjalanan. Kondisi Keenan secara keseluruhan sudah membaik. Segala pemeriksaan yang harus dilakukan terkait bayi prematur dengan telaten dijalanin oleh Asha. Beruntung dirinya tidak mengalami Baby Blues Syndrome, meski tanpa kehadiran suami. Kedua orangtuanya sangat mensupportnya. Tak luput Anggapun, memberikan banyak perhatian untuk bayinya Asha dengan caranya sendiri.
Tiba di Lapas, orangtua Asha menunggu di luar. Asha masuk bersama bayinya hanya didampingi pengacaranya. Setelah melewati pemeriksaan oleh portir dan ijin untuk membawa bayinya ke dalam, Asha mengikuti petugas Lapas menuju ruangan khusus untuk kunjungan.
Tampak seorang laki-laki tengah duduk di sana dengan seragam khusus tahanan. Wajahnya terlihat tirus, rahangnya telah ditumbuhi janggut. Tampak berbeda dengan Bayu yang dikenalnya dahulu. Meski demikian ketampanannya tidak membuatnya luruh. Pancaran matanya terlihat berbinar kala melihat Asha yang saat itu mengenakan long dress berwarna kuning, terlihat cantik dan keibuan. Dan tatapan Bayu makin berbinar kala beralih pada bayi yang tengah digendong Asha. Sesekali menggeliat dalam tidurnya, tampak menggemaskan.
Asha dan pengacaranyapun duduk di kursi yang telah disediakan.
"Asha apa kabar?" tanya Bayu memulai percakapan. "Siapa nama anak kita?"
"Seperti yang Kau lihat, aku baik-baik saja. Tak kurang satu apapun," jawab Asha datar. Sorot matanya tajam, acuh tak acuh. Terlihat mata itu masih menyimpan kekecewaan. "Namanya Keenan, seperti keinginanmu dulu sebelum ...," Asha menggantungkan ucapannya, tak sanggup ia meneruskan kata-katanya.
"Maafkan aku, Asha," pinta Bayu lirih.
"—"
"Andai aku bisa mengulang waktu, aku tidak ingin seperti ini," sesal Bayu.
"Penyesalan memang datang terakhir, Mas. Sudahlah. Sekarang kita jalan masing-masing, Mas. Jaga dirimu baik-baik. Aku pamit. Tidak baik Keenan berlama-lama di dalam. Dan kumohon jangan mencari kami ketika Kau bebas nanti. Aku sudah tenang dan punya kehidupan sendiri. Biar pengacaraku nanti yang menjelaskannya padamu." Kemudian Asha bangkit berdiri.
"Boleh aku menggendongnya sebentar?" mohon Bayu seraya mengulurkan tangan ikut berdiri. Tampak Asha ragu-ragu melihat tangan yang terulur di depannya. Tangan yang selama ini selalu memeluknya, menyentuhnya, namun ternyata juga telah menyentuh wanita lain yang tidak halal baginya.
Karena tidak ada respon dari Asha, Bayupun menurunkan tangannya kembali. Tampak kekecewaan di raut wajahnya. Ashapun berlalu dari ruangan tersebut meninggalkan pengacaranya bersama Bayu.
***
"Permisi ada paket untuk Nyonya Asha," ucap kurir yang mengantarkan bungkusan besar yang kemudian diterima oleh bi Inah.
"Paket dari siapa Bi?" tanya Marisa kala sang kurir sudah berlalu.
"Dari den Angga lagi sepertinya, Bu," jawab bi Inah seraya memutar-mutar bungkusan besar itu di lantai, untuk melihat pengirimnya.
"Duh, itu anak masih belum nyerah cari perhatian Asha." Hela Marisa. Meski sebetulnya ada perasaan senang di hatinya, karena Angga masih mencintai putrinya dan juga sepertinya menyayangi cucunya.
Setiap bulan, sejak kelahiran Keenan, putra Asha. Angga kerap kali mengirimkan macam-macam hadiah. Mulai dari pakaian hingga mainan. Semua hadiah-hadiah itu memang dikhususkan untuk Keenan dan tidak ada satupun dari hadiah-hadiah itu diperuntukkan untuk Asha. Dan ini membuat Marisa juga Haryanto heran. Bertanya-tanya apa maksud dan tujuan Angga dibalik semua sikap memanjakan ini terhadap cucu mereka.
Bungkusan yang Marisa terima itu adalah kiriman dari Angga yang kedelapan. Ntah apa isinya pemberian Angga kali ini. Marisa tidak berani membukanya sebelum Asha pulang. Ya Asha kembali aktif berkuliah sekarang, meneruskan kuliahnya yang sempat tertunda beberapa waktu setelah melahirkan.
Keenannya dititipkan pada mamanya selama ia kuliah. Segala keperluan anaknya sebelum berangkat kuliah sudah disiapkannya seperti ASIP, MPASi dan lain-sebagainya. Asha selalu berusaha memprioritaskan anaknya.
***
'Untuk Keenan. Moga dia suka yah.'
Itulah isi tulisan di secarik kertas yang Asha temukan di dalam bungkusan yang diterimanya saat pulang kuliah. Dia memutar bola matanya jengkel. 'Lagi-lagi Angga memanjakan anakku,' batinnya.
Dibukanya dus itu perlahan. Meski dari luar sudah jelas terlihat ada gambar mainan semacam motor-motoran untuk anak-anak. Tapi Asha berharap bukan itu isinya. Dan ternyata harus kecewa. Angga benar-benar membelikan anaknya sebuah mainan motor-motoran. Kemudian ditutupnya kembali dus itu dan dipindahkan ke sudut ruangan di kamarnya. Asha dan Keenan tidur di kamar yang sama. Karena memang rumah orangtua Asha hanya memiliki dua kamar.
Rumah Asha dan Bayu sudah mereka jual saat mereka bercerai. Dan uang hasil penjualan rumah itu dibagi sesuai kesepakatan. Bagian Asha dia gunakan untuk membiayai kuliahnya. Dirinya tidak sampai hati membebankan papanya untuk menanggung biaya hidupnya. Karena selama ini papanya sudah banyak membantu kala perawatan Keenan yang harus kontrol rutin ke rumah sakit, memantau tumbuh kembangnya.
————————
*Angga:*
["Sudah sampai paketnya?"]
————————
Sebuah pesan masuk dari Angga. Ya akhirnya hampir sebulan lalu Asha mengijinkan mamanya memberikan nomor kontaknya kepada Angga, setelah beberapa waktu selalu melarang mamanya. Semua tidak lepas dari andil kedua orangtua Asha, yang beberapa kali mengingatkan bahwa Anggalah dahulu yang mendonorkan darahnya ketika Asha kritis. Sebagai bentuk terima kasih, tidak ada salahnya bersikap baik pada Angga.
————————
*Sayangku:*
["Sudah. Dan tolong jangan kirim macam-macam lagi untuk anakku!"]
*Angga:*
["Terima kasih kembali :) "]
————————
Tak lama dering telepon genggam Asha terdengar. Dilihatnya nama Angga di sana. Dengan kesal ditekannya tombol menerima panggilan.
"Aku cape, Ngga. Baru pulang," keluh Asha.
"Baru pulang kuliah? Kapan wisuda?" tanya Angga tidak mempedulikan keluhan Asha.
"Masih enam bulan lagi mungkin. Skripsiku belum lulus."
"Perlu bantuanku?" goda Angga di seberang sana tersenyum.
"Gak usah!" jawab Asha galak dan membuat Angga tertawa. "Udah dulu ah, rooming tau! Ntar pulsaku habis buat telepon dosen. Lagian kamu gak ada kuliah apa, jam segini telpon aku?" Asha melirik jam di atas nakas yang menunjukkan pukul 01.15 siang. Perbedaan waktu Indonesia-Jerman 4 jam lebih cepat.
"Masih sejam lagi kok. Makanya aku telpon Kamu dulu. Kamu tuh ngangenin. Okay, Sayang," jawab Angga masih dengan tawanya menggoda.
Asha langsung mematikan telepon sepihak. Mukanya tiba-tiba memanas. Dirinya sudah lama tidak mendengar kata 'sayang' dari seorang laki-laki kecuali papanya. Sejak dirinya pertama kali 'berkencan' dengan Angga, kemudian melepas kepergiannya di bandara, hilang kontak dengannya, lalu akhirnya membuatnya menikahi lelaki lain, dan berakhir dengan perceraiannya. Baru kali itu Angga berani memanggil 'sayang' padanya. Ntah kenapa, kata itu membuat jantungnya berdetak cepat tiba-tiba, seperti dulu. Apakah ini artinya masih ada cinta untuk Angga? Tak ingin terbuai, Asha menganggap mungkin Angga asal sebut saja. Lagi pula dirinya bukan lagi remaja labil seperti dulu, sekarang dirinya sudah menjadi seorang ibu. Anaknyalah prioritas utamanya.
Terbesit rasa khawatir juga di hati Asha, tanggapan kedua orangtua Angga nantinya jika hubungan mereka berlanjut ke jenjang yang lebih serius. Menikah misalnya. 'Hah? Menikah?' Duh pikirannya menerawang terlalu jauh. 'Sadar Asha! Dirimu sekarang berstatus ibu tunggal beranak satu!' batinnya mengingatkan. Dan lagi, bayangan masa lalu masih kerap menghantui. Perasaan takut dikhianati.
Tak lama terdengar suara notifikasi pesan masuk yang memberitahunya bahwa nomor telepon genggamnya telah diisi pulsa sebesar lima ratus ribu. Matanya seketika terbelalak. Sudah bisa ditebak siapa yang mengisinya. Kemudian terburu-buru Asha menelpon Angga. Satu kali nada panggil, Angga sudah mengangkatnya.
"Kenapa? Masih kangen ya?" goda Angga sambil terkekeh.
"Angga, please deh. Apa-apaan siy isiin pulsa aku?"
"Kenapa? Lima puluh ribu kurang ya?" Masih dengan nada menggoda.
"Apa? Lima puluh ribu? Angga, Kamu isiin lima ratus ribu!" Asha terdengar histeris.
"Oh baguslah. Jadi aku bisa sering-sering telpon Kamu dong, kalo aku kangen Kamu dan gak bikin Kamu takut pulsamu habis." Terdengar Angga terkekeh dan langsung membuat Asha terbelalak dan seketika itu juga mematikan teleponnya kesal. Meski setelah itu terbit senyum di sudut bibirnya. Dirinya kemudian beranjak keluar dari kamarnya mencari putranya Keenan yang sedang asyik bermain dengan Marisa.
***