"Kapan pulang?"
"Baru tadi malam." Suara itu terdengar sangat jelas dari balik punggung Asha. Seketika Asha membalikkan badannya. Dilihatnya Keenan dalam gendongan Angga sedang tertawa bahagia. Keenan hanya mengenakan kemejanya saja dengan dua kancing di atasnya dibuka. Sepertinya terlalu lama di dalam membuat anaknya kegerahan.
"Keenan tadi menangis di dalam, jadi aku bawa keluar jalan-jalan," terangnya. Perlahan Angga mendekati Asha. Seketika Asha terpana dengan pemandangan di hadapannya. Persis ayah dan anak. Oh tidak! Asha meracau lagi.
"Ma ... ma ...," kata Keenan seraya mengulurkan tangan minta digendong oleh Asha ketika jarak di antara mereka tinggal selangkah lagi. Asha mengambilnya dari tangan Angga.
Dilihatnya Angga masih tersenyum lebar. "Buat Tuan Putri Asha." Seraya menyerahkan satu tangkai bunga mawar merah.
"Kok cuman satu siy, Ngga?" tanya Asha pura-pura merajuk. Yang membuat Angga terkekeh geli.
"Yang banyak nanti ..., klo Kamu udah jadi istri aku," jawabnya mantap, langsung membuat Asha diam tak berkutik. Tiba-tiba suasana jadi canggung.
"Da ... da ...." Keenan memecah kecanggungan itu, seraya menunjuk-nunjuk Angga.
"Iya Keenan, ini daddy. Kita ke kakek dan nenek yuk," ajak Angga kepada Keenan. Kemudian diambilnya Keenan dari gendongan Asha, kemudian tanpa diduga ditariknya tangan Asha yang bebas. "Biar gak ilang," ucap Angga saat Asha melihat tangannya berada dalam genggaman Angga. 'Berasa de ja vu,' batinnya.
Wajahnya serasa panas. Jika Angga melihatnya mungkin bakal diledeknya bak kepiting rebus. Asha hanya menunduk dan mengikuti arah tangannya dituntun menuju tempat Haryanto dan Marisa menunggu. Rasa bagai sengatan listrik itu menjalar lagi di jari jemarinya yang saling bertaut dengan jari jemari Angga yang besar dan kuat, padahal ketika di rumah sakit dahulu dirinya mengira tak akan ada lagi getaran itu. 'Oh jantungku berdetaklah normal!' Jeritnya dalam hati seraya memejamkan mata kemudian menghelakan napasnya.
Mereka bertiga berjalan seperti ini. Angga menggendong Keenan di tangan satunya, sedang tangan lainnya menggenggam erat tangannya. Apa kata orang-orang yang melihatnya? Pikirannyapun melayang ke masa SMU, ketika Angga membawakan sebuah lagu saat acara perpisahan ....
(Silahkan reader membaca bagian ini dengan mendengarkan lagu We Could Be in Love yang dipopulerkan oleh Brad Kane dan Lea Salonga)
***
"Akhirnya ketemu juga," kata Marisa ketika melihat putri dan cucunya datang mendekat bersama Angga. Keenan langsung diambil alih oleh Marisa. Asha yang menyadari ada sesuatu langsung menembak.
"Mama Papa udah tau ya klo Angga bakal datang ke wisuda Asha?" tanyanya curiga.
Haryanto dan Marisa saling bertukar pandangan.
"Mama papamu baru tau tadi ko, Sha," tutur Angga yang langsung diangguki Marisa dan Haryanto.
"Jadi tadi Keenan di dalam mendadak rewel, jadi papa bawa keluar. Ternyata malah ketemu Nak Angga." Sambil melirik Angga yang segera diangguki oleh Angga.
"Sudah, sudah kita pulang sekarang yuk. Mama laper niy." Marisa menengahi. Agar Asha tidak memperumit masalah kecil seperti ini.
"Kita mampir ke rumah makan aja, Tan," saran Angga.
"Kamu bawa mobil Ngga?" tanya Marisa.
"Kebetulan nggak, Tan," jawab Angga.
"Ya udah kamu ikut kita aja," tawar Haryanto.
Percakapan mereka bertiga ini di telinga Asha terasa janggal. Seperti sudah direncanakan oleh mereka bertiga. Angga, dan mama papanya. Karena tidak biasanya Angga pergi tanpa mobil pribadi.
"Asha kamu gak kan ikut?" Marisa menegurnya yang sedang melamun.
"Eh iya, Ma," jawab Asha seraya berjalan ke kursi penumpang di belakang.
"Kamu mau ngapain?" tanya Marisa.
"Lho papa mama kok duduk di belakang?" Kecurigaannya terbukti!
Angga yang melihatnya dari balik kemudi tersenyum simpul. Asha-nya benar-benar jinak-jinak merpati. Baru sesaat tadi dia merasakan bahwa Asha membalas perasaannya, tapi lihatlah sekarang, seolah-olah mereka menjadi musuh lagi.
"Kamu ya yang rencanain?" tuding Asha menatap Angga curiga ketika sudah duduk di kursi penumpang di sebelah Angga. "Mama papa juga bersekongkol ya." Asha memutar tubuhnya ke belakang melihat kedua orangtuanya, membuat Marisa dan Haryanto saling tukar pandang lagi dan tertawa. "Igh malah diketawain," rajuk Asha.
Akhirnya mobil melaju ke sebuah rumah makan yang tidak jauh dari Universitas A.
***
Sambil menanti makanan dihidangkan mereka berbincang-bincang sejenak sambil meluruskan kesalahpahaman Asha.
"Om, saya mau minta ijin ajak Asha dan Keenan nanti malam, boleh?" tanya Angga di sela obrolan sambil santap makan siang.
"Mau ajak Asha dan Keenan ke mana?" tanya Haryanto.
"Jalan-jalan aja Om. Hadiah buat Asha yang udah lulus."
"Coba tanya Ashanya dulu. Mau tidak?" tanya Haryanto menatap Asha yang sedang menyuapi Keenan.
"—"
"Diam tanda setuju." putus Angga seraya tersenyum.
"Igh!" protes Asha.
"Udah siy Sha, pergi aja berdua deh, biar Keenan sama mama papa," ucap Marisa.
"Keenan harus ikut, Ma," Asha protes.
"Nah, sudah diputuskan. Nanti malam aku jemput ya." Angga tersenyum menang.
***
Tepat jam tujuh malam, Angga menjemput Asha dan Keenan. Asha memilih memakai terusan berwarna biru muda, dan dipilihkan baju yang senada untuk Keenan. Tak lupa Asha menyiapkan keperluan Keenan dan juga baju hangat. Karena Asha tidak tahu Angga akan membawanya ke mana.
Setelah berpamitan kepada Marisa dan Haryanto, merekapun berangkat. Asha duduk di kursi penumpang di samping kemudi sementara Keenan duduk di belakang di atas car seatnya.
"Aku harap Kamu belum makan, Sha." Ketika Angga menghentikan mobilnya di sebuah restoran mewah.
"Belum siy. Kalaupun udah, aku bisa kok makan lagi."
"Benar-benar gadisku yang dulu, yang masih doyan makan," ucap Angga jahil.
"Igh apaannya yang gadis coba. Itu udah ada Keenan." Asha mengingatkan sambil mengedikan dagu ke arah Keenan duduk. Anaknya tertidur pulas di belakang.
Angga tertawa. "Udah yuk kita turun."
Merekapun turun dari mobil dengan Keenan digendong Angga. Tidak lupa Angga meminta pelayan yang tadi menyambutnya di depan untuk menurunkan car seat Keenan dan membawanya ke dalam. Lagi-lagi tangannya yang bebas menggandeng Asha. "Biar gak nyasar," ucap Angga memberi alasan. Ashapun diam tidak menolak. Sedang menenangkan jantungnya yang lagi-lagi berdetak tidak normal.
Setelah melewati meja resepsionis mereka diantar menuju ruang makan privat yang sudah Angga booking. Asha terlihat gelisah. Berkali-kali menghela napas dan mengerutkan keningnya.
"Biar gak ada yang ganggu acara kita BERTIGA." Angga sengaja menekankan kata 'bertiga' demi menenangkan hati Asha. Seketika terlihat raut wajahnya yang menjadi lega dan terlihat tenang. Angga hanya tersenyum melihatnya.
Di dalam Angga menidurkan Keenan di kursinya pelan-pelan agar tidak mengusik tidurnya. Ruangan yang Angga pesan sengaja yang model lesehan. Agar Keenan bisa duduk dengan nyaman jika nanti terbangun. Angga benar-benar menyayangi anak semata wayang Asha.
Saat pesanan datang, ternyata Keenan bangun dan menangis. Angga langsung menggendongnya mencoba menghibur, namun gagal.
"Mungkin dia haus, Ngga," ucap Asha. Angga langsung memberi Keenan minum yang ada di meja, namun anak itu menggelengkan kepalanya sambil terus menangis.
"Oh Keenan mungkin lapar? Daddy dah pesenin kentang goreng kesukaan Keenan niy. Mau ya?" Seraya mengambil kentang goreng dan menyodorkan ke tangan Keenan. Lagi-lagi Keenan menolak dan tangisannya makin kencang.
"Angga ... Keenan mungkin haus dan lapar ...." Asha terlihat tidak sabar seraya menjulurkan tangannya.
"Tadi dikasih minum gak mau. Dikasih kentang juga gak mau, Sha." Angga mencoba menjelaskan meski dirinya sendiri bingung dan tidak yakin dengan penjelasannya sendiri.
"Angga ...." Asha memutar bola matanya dan masih menjulurkan tangannya untuk mengambil alih Keenan.
Angga kemudian menyadari 'haus' dan 'lapar'-nya Keenan. Seketika mukanya memerah dan menyerahkan Keenan pada Asha. Asha yang menyadari itu tersenyum. Perlahan dia duduk agak menjauh dari Angga dan menghadap tembok.
Jangan salahkan Angga! Dirinya tidak tahu lho jika Keenan yang sudah bisa makan nasi itu ternyata masih butuh ASI ibunya. Dia belum pernah menjadi seorang ayah. Hei! Dia bahkan belum menikah. Mana dia tahu bukan hal-hal seperti ini?
"Awas ngintip!" ancam Asha. Suaranya memang sengaja dibuat seolah mengancam padahal dibalik itu dia menahan tawanya.
Angga terpana melihat gerakan tangan Asha dari balik punggungnya, kemudian dia berdeham dan mulai mengambil makanan yang sudah terhidang di hadapannya. Mencoba memakannya pelan-pelan, namun mengapa susah sekali menelan makanan di mulutnya? Tiba-tiba dirinya menjadi gugup. 'Ah sial! Kenapa harus memesan ruangan privat gini siy,' sesalnya dalam hati.
Dia pikir jika memesan ruang tertutup begini, privasinya akan terjaga, dia kuatir ada wartawan yang tidak sengaja melihatnya sedang makan bertiga dengan Asha dan anaknya di restoran ini. Sejak kejadian di Ball Room Hotel itu, Angga memang benar-benar jadi bersikap hati-hati di muka umum jika sedang bersama Asha—Arman yang memberitahukannya tempo hari lalu, kalau memang ada wartawan kala pernikahannya dengan Nia diselenggarakan. Mereka memang meliput berita pernikahan anak dari seorang pengusaha terkenal, yaitu ayah Arman—Tapi lihatlah hasil pemikirannya sekarang, dia jadi canggung berada satu ruangan dengan seorang ibu yang sedang menyusui. Meski tidak melihatnya langsung.
Setidaknya jika makan di ruangan terbuka, Asha pasti akan mencari ruang lain untuk menyusui anaknya yang baru lima belas bulan dan masih menyusui itu bukan?
'Ah sial! Benar-benar sial kau Angga!' Hasrat lelakinya tetiba bangkit karena tanpa sengaja membayangkan Asha ... dan Keenan ... yang sedang ... menyusu ... di pojok ruangan itu! 'Secepatnya kau harus menikahi wanita itu Angga!!!' kata suara hatinya.
***