"Jeng Arumi, bagaimana dengan perjanjian kita dahulu? Bukannya dulu kita sepakat menikahkan anak-anak kita kalau sudah lulus kuliah? Laura sudah lulus lho. Dari universitas di Jerman juga, sama dengan Angga kan? Laura suka cerita lho kalau Angga ternyata kakak tingkatnya di sana," tagih Siska panjang lebar.
"Perjodohan batal. Karena saya punya calon sendiri Tante." Angga tidak terima dengan perjodohan ini dan langsung berdiri mengajak Asha pergi dari situ.
Baru beberapa langkah mereka meninggalkan tempat yang membuatnya kesal, sebuah suara menghentikan langkah mereka.
"Aku hamil, Kak Angga," ucap Laura tanpa malu. Seketika semua terkejut mendengar pengakuan Laura.
Asha menghempaskan tangan Angga kemudian berusaha mengambil alih Keenan. Belum juga Keenan berada dalam gendongan Asha, Laura melanjutkan perkataannya.
"Sebetulnya aku malu mengakui ini. Tapi aku gak punya pilihan."
"Buktikan kalau Kamu hamil karena benih dariku! Karena aku gak kan mengakui! Kita tidak pernah berhubungan sebelum hari ini!" tantang Angga. Kemudian pergi bersama Asha dan Keenan. Tidak mempedulikan kedua orangtuanya yang memanggilnya untuk kembali. Dirinya kecewa pada kedua orangtuanya.
***
"Asha, tunggu aku! Aku bisa jelasin," sahut Angga seraya mengejar Asha yang menggendong Keenan menjauh dari tempat yang membuatnya kecewa.
"Gak ada yang perlu dijelasin, Ngga. Aku pulang." Terdengar Asha menahan air matanya tumpah.
"Aku antar." Angga berhasil menahan lengan Asha. "Masuk! Aku jelasin sambil jalan." Seraya membuka pintu penumpang. Meskipun enggan, Asha menurut karena tidak ada pilihan lain juga jika ia nekat pulang sendiri dari rumah Angga.
Sepanjang jalan Asha terdiam dan memalingkan wajahnya. Dipeluknya erat Keenan yang berada di pangkuannya. Hatinya sedih dan kecewa. Rasanya memang terlalu indah untuk menjadi kenyataan, menikah dengan pria kaya raya, tampan, dan mencintai tidak hanya dirinya namun putra semata wayangnya.
"Aku kemarin sudah bilang sama papi dan mami bakal bawa Kamu dan Keenan. Buat Aku kenalin sebagai calon istriku. Aku gak tau Sha kalau mereka bakal datang di hari ini dan mengacaukan semua."
"—"
"Dan bukan aku yang hamilin anaknya tante Siska, Sha. Demi Tuhan, Sha. Baru hari ini aku dan dia bicara. Selama di Jerman memang pernah ketemu tapi aku gak pernah negur dia. Hati dan pikiranku udah aku habiskan buat Kamu dan Keenan." Kata-kata itu menyentuh hati Asha dan perlahan air matanya jatuh yang sedari tadi ditahannya. Dadanya terasa sesak. Bahunya bergetar menahan tangis, agar tidak semakin menjadi. Dirinya merasa rapuh seperti dahulu saat pengkhianatan Bayu terbongkar. Disekanya kasar air mata yang sudah membasahi wajahnya.
Perlahan Angga menepikan mobilnya. Ditariknya Asha ke dalam pelukannya, beserta Keenan yang bingung dengan apa yang terjadi antara mama dan daddynya.
"Kamu percaya sama aku kan, Sha?" Asha masih tak bergeming. Tangisnya tumpah makin jadi.
Diciuminya mata Asha yang basah itu berkali-kali untuk menenangkan. Tak lagi memikirkan kalau dirinya belum menjadi suaminya.
"I love You, Sha. Cuman ada Kamu. Aku gak pernah nerima perjodohan antara aku dan Laura. Dari kami masih kecil aku gak pernah suka sama anak itu. Kamu tau kan Sha aku gak suka perempuan yang agresif."
Perlahan Angga merenggangkan pelukannya, ditatapnya mata sendu wanitanya yang tertunduk. Hatinya ikut merasakan kepiluan.
"Kamu mau kan menunggu aku membereskan masalah ini supaya jelas?" Angga menopang dagu Asha agar dirinya bisa menatap mata Asha. Perlahan Asha tersenyum dan menganggukkan kepalanya perlahan. Dengan sadar Angga mencium bibir Asha. Hanya sekilas. Tidak ada respon dari Asha, juga tidak ada penolakan atas tindakan kurang ajarnya ini. Mencuri ciuman di bibir wanita yang belum sah menjadi istrinya. Perlahan Asha memejamkan matanya. Anggapun kembali mencium bibir manis Asha, melumatnya. Seakan mencurahkan perasaan yang ada dalam hatinya pada Asha.
"Maafkan aku Sha," ucap Angga berkali-kali sambil terus menciumi bibir Asha yang membuatnya mabuk kepayang, dilumatnya lagi dan lagi, darahnya berdesir, ketika hasratnya naik Angga menghentikan ciumannya.
"Aku gak tahan buat gak langsung nikahin Kamu sekarang juga, Sha," katanya tersenyum dan menatap Keenan yang sedari tadi memperhatikan mereka berdua. "Daddy sayang Kamu Keenan juga mamamu," dikecupnya kedua pipi Keenan yang membuatnya tertawa. Ashapun ikut tertawa.
Melihat suasana hati Asha yang membaik, Anggapun melajukan kembali mobilnya mengantarkan Asha pulang.
***
Tiba di depan rumahnya, sebelum beranjak dari mobilnya, Angga kembali meminta Asha memberinya waktu untuk menyelesaikan masalah yang ditimbulkan oleh teman maminya.
"Jangan dulu cerita masalah ini sama papa mama ya. Aku janji pekan depan sekembalinya aku ke sini, masalah ini sudah selesai. Habis itu aku akan melamarmu resmi dan menikah sebelum aku ke Jerman. Aku ingin Kamu dan Keenan ikut bersamaku."
"Tapi mami dan papimu? Dan Laura ...."
"Kamu tenang aja. Aku pasti bisa menyelesaikannya. Ini pasti akal-akalan Laura dan orangtuanya, ntah dia berbohong tentang kehamilannya, atau dia hamil dengan pria lain dan menjeratku. Keperjakaanku untuk Kamu, Sha."
Asha tak tahan untuk menahan senyumnya, "Gombal Kamu, Ngga."
"Aku serius. Ciuman pertamaku aja aku kasih Kamu." Seketika Asha membelalakan matanya tidak percaya.
"Masa siy, Ngga. Aku yang pertama?"
"Kenapa?" Asha menggeleng dan tersenyum, "Apa ciumanku sehebat itu, Sha?" tanya Angga tak tahan menggoda Asha. Tanpa peringatan Angga kembali mencium bibir Asha tiba-tiba. Melumatnya, lagi dan lagi hingga Asha membalas ciuman itu.
"Kamu terbuai ya, Sha?" ucapnya seraya menatap manik mata Asha, usai ciuman mereka, "Sebaiknya kita turun, aku kuatir bakal terjadi hal-hal yang aku inginkan," kekeh Angga.
"Jangan macem-macem, Ngga. Ada Keenan di sini." Seraya membelai lembut rambut putranya yang tertidur.
***
Angga kembali ke rumahnya dan berharap tamu maminya sudah pulang. Di rumah Asha, Angga sudah menjelaskan rencana ke depannya bersama Asha kepada Haryanto. Dan dia merestui. Tinggal menunggu orangtua Angga datang ke rumahnya.
Beruntung mobil mereka sudah tidak ada, digantikan dengan mobil kakaknya yang terparkir di sana. Anggapun segera turun dari mobil dan mencari kedua orangtuanya. Dia harus membereskan semua kekacauan ini sebelum berangkat besok ke Australia bersama Darwin. Ada hal yang harus segera mereka urus di sana.
Di dalam tampak sudah menunggu Arumi dan Darwin, Arlan kakaknya beserta Naomi kakak iparnya, dan kedua keponakannya yang sudah makin besar sejak terakhir mereka bertemu. Kenzo yang kini berusia 5 tahun, dan Zaki 3 tahun. Keduanya langsung berlari menghampiri adik ayahnya dan Angga menyambutnya dengan pelukan hangat.
Melihat semua anggota keluarganya sudah lengkap, Darwin mengisyaratkan Naomi untuk membawa kedua cucunya keluar ruangan. Dituntunnya anaknya ke taman belakang rumahnya dan dititipkan kepada baby sitternya, Naomi kemudian kembali ke dalam.
"Bukan Angga yang hamilin Laura Pi!" Didengarnya suara Angga dari dalam ruangan.
"Tidak ada bukti juga kalau dia hamil. Mungkin saja itu hanya akal-akalan mereka agar aku mau menikah dengan Laura," lanjut Angga gusar. Rahangnya mengeras.
Naomi duduk di samping suaminya, diam mendengar perkataan adik iparnya.
"Kita tunggu saja bukti yang mereka janjikan," ucap Arumi yakin, sahabatnya tidak mungkin berbohong apalagi memfitnah anaknya. Ini aib bagi keluarganya dan mereka harus segera melangsungkan pernikahan ini sebelum kehamilan Laura membesar.
"Aku gak butuh bukti mereka Mi! Pi ... Papi tau kan anakmu bukan orang yang menganut seks bebas. Gak pernah sekalipun aku menyentuh Laura!"
"Tapi kami sudah menjodohkan kalian sejak lama. Kalian serasi sejak kecil. Mami ingin Kamu bahagia, Ngga," Arumi berdalih.
"Ini bukan lagi jaman Siti Nurbaya Mi! Aku gak percaya dengan perjodohan ini bisa bawa kebahagiaanku." Matanya kemudian melirik Arlan dan Naomi, mereka juga menikah karena dijodohkan, "Aku gak bicarain pernikahanmu, Kak. Kalian berdua saling mencintai sebelum mengetahui perjodohan itu. Kasusnya berbeda denganku. Aku mencintai Asha."
"Mami gak mau tau! Pokoknya Kamu nanti menikah dengan Laura! Titik!"
"Sudah cukup!" Darwin akhirnya angkat bicara. "Kita bicarakan hal ini nanti, kalau buktinya sudah ada. Dan saat itu Kamu harus siap-siap bertanggung jawab, Angga."
"Aku gak kan mempertanggungjawabkan apa yang gak aku lakukan!" tegas Angga kemudian meninggalkan mereka semua.
***