Chereads / Rainata / Chapter 10 - 9. Roti Bakar

Chapter 10 - 9. Roti Bakar

Gue hanya ingin dia bahagia, itu saja sudah cukup

# Gevan Radian Juniarta

Siswa-siswi kelas X Bahasa 1 sudah mulai bisa menerima kenyataan bahwa mereka memang harus ikut kuis dadakan dari Bu Linda. Dengan pasrah mereka mengeluarkan selembar kertas dan memberi identitas mereka di masing-masing kertas yang mereka pegang. Raut wajah kecewa dan tampang pasrah terlihat di semua wajah siswa-siswi kelas X Bahasa 1. Bisa dilihat diantara semua anggota kelas X Bahasa 1 hanya Rainata dan Gevan lah yang tidak mengeluh karena sebelumnya mereka sudah belajar dengan baik di rumahnya masing-masing. Mereka berdua sangat senang, karena itu artinya mereka pasti bisa menjawab kuis dadakan ini dengan baik.

"AYO ANAK-ANAK IBU BACAKAN SOALNYA YA!!!"

"BAIK BU!!!"

(Skipp)

"Baik anak-anak waktu kalian 60 menit, silahkan dijawab dengan baik ya. Jika sudah selesai bisa maju kedepan dan kumpul di diatas meja ibu ya anak-anak"

"Baik bu terimakasih" jawab seluruh siswa dengan serempak. Hanya itu yang bisa keluar dari mulut mereka, mereka sudah benar-benar pasrah dengan nilai mereka setelah ini. Bagaimana tidak? Soal yang Bu Linda berikan tergolong susah bagi mereka, terlebih lagi mereka tidak belajar sama sekali

40 menit kemudian...

Rain maju ke depan dengan santainya, "Ibu ini lembar jawaban saya" ungkap Rain lalu menaruh lembar jawabannya diatas meja di tempat bu Linda duduk

"Iya nak, akan ibu koreksi sekarang sambil menunggu lembar jawaban dari teman-teman yang lain. Kamu silahkan keluar kelas, tetapi jangan pergi ke kantin ya nak, bel tanda istirahat belum berbunyi " jelas Bu Linda mengingatkan

"Baik bu, saya akan menunggu di luar hingga bel tanda istirahat berbunyi, terimakasih banyak ibu" jawab Rain dengan polos

Rain berjalan menuju pintu, dengan santainya ia mendudukkan bokongnya di kursi depan kelas X Bahasa 1. Ketika sudah ingin duduk ia menoleh ke belakang lewat kaca jendela dan menatap kearah bangkunya dan tersenyum ketika Gevan melihat kearahnya. Dengan segara ia mengepalkan tangannya dan mengangkatnya keatas sejajar dengan kepalanya, tanda seperti memberikan semangat. Ia tersenyum manis sekali ketika respon Gevan sangat baik, Gevan juga tersenyum. Ketika sudah melihat senyum Gevan, ia seperti melihat senyum Arkan. Gevan dan Arkan sangat mirip dan Rain sudah jatuh cinta. Mungkin dulu ia jatuh cinta hanya dengan Arkan, namun kali ini sepertinya ia sudah lupa dengan sosok Arkannya, ia seperti sudah bisa move on dari Arkan, dan seperti sudah bisa menerima kenyataan bahwa Arkannya sudah pergi dan tak mungkin kembali lagi. ia sangat senang ketika ada Gevan dihidupnya. Ia sangat menyayangi Gevan, kali ini hanya sebagai sahabat terdekatnya, tidak ada yang tahu kan bagaimana hubungan Gevan dan Rain selanjutnya. Ia hanya menikmati setiap moment bersama Gevan, semoga saja Gevan tidak mempermainkannya. Karena ia benar-benar takut dikecewakan karena cinta. Ia belum siap hancur lagi. Ia belum siap jatuh cinta lagi dengan sahabatnya lalu ditinggalkan lagi. semoga saja Gevan tidak seperti Arkan. Rain sangat sayang dengan Gevan. Ketika sudah seperti ini, ia pasti akan berhalusinasi lagi, ia akan membayangkan Arkannya kembali…

Flashback On…

"Kamu kenapa nangis?" tanya Arkan dengan lembut

"Aku takut Arkan, mereka jahat" jawab Rain kecil dengan polos sambil menangis

"Mereka siapa Rain?, kamu tidak perlu takut kan ada aku disini yang jagain kamu"

"Mereka teman-teman sekolah kita, mereka ejekin aku karena pada saat jam olahraga aku gak bisa main bola voli, mereka tidak ada yang mau mengajak aku masuk ke kelompok mereka"

"Jangan sedih Rain, aku bisa kok ajarin kamu supaya kamu jago main bola voli nya, supaya mereka mau mengajak kamu di kelompok mereka, jangan nangis lagi ya Rain. Kamu jelek kalau nangis" ungkap Arkan dengan tersenyum, dengan segera kedua tangannya menangkup wajah Rain dan membersihkan sisa-sisa air mata di pipi Rain

"Beneran Ar? Kamu beneran mau ngajarin aku? Kamu gak bohong kan?" tanya Rain bertubi-tubi dengan mata yang berbinar-binar

"Iya Rain, beneran. Emang kapan sih aku bohongin kamu?" tanya Arkan balik

"Ya gak pernah sih kamu bohongin aku. Aku kan cuma memastikan aja Arkan ganteng" jawab Rain dengan cengiran kudanya

"Yaudah sih emangnya kapan mau belajar main bola volinya?" tanya Arkan mengalihkan pembicaraan

"Nanti sepulang sekolah ya kamu kerumahku?, aku tunggu di bawah rumah pohon kita. Jangan lupa bawa bola volinya, aku kan gak punya bola voli Ar"

"Oke siap Rain, tetapi bola voli dirumah juga udah rusak, gimana dong?" tanya Arkan dengan raut wajah murung

"Yaudah kalau gitu sepulang sekolah kita pulang dulu ya, setelah itu ayo kita ke toko olahraga dan membeli bola voli baru. Aku kemarin baru diberikan uang saku oleh ayah dan bunda jadi sekiranya cukup untuk membeli bola voli" jawab Rain panjang lebar

"Siap laksanakan komandan!" jawab Arkan dengan senyum jahilnya dan tidak lupa tangannya membentuk tanda hormat di dahinya

Flashback Off…

Tubuh Rain terguncang dan ia tersadar, ketika itu ia melihat sudah ada Gevan di depannya. Kapan Gevan keluar kelas? Tanyanya dalam hati. Oh tidak ia melamun lagi, pikirnya lagi. Ia berdiri dan menoleh kebelakang, terlihat kelas X Bahasa 1 sudah kosong, tak ada satupun siswa yang ada di dalam, semuanya telah pergi ke kantin dan ia tidak menyadarinya karena asyik melamun dan berkelana di pikirannya

Gevan membuka suara "Cantik lo kenapa? Kok ngelamun lagi?"

Rain tergagap "Eh enggak apa-apa kok aku enggak ngelamun" jawab Rain berbohong

"Gue tahu lo lagi bohong Cantik, Oke enggak apa-apa kok kalau lo belum percaya sama gue. Lo bisa cerita nanti ketika lo udah siap dan udah percaya sama gue" jawab Gevan mengerti

Rain tersenyum tidak enak dengan jawaban Gevan "Maaf Gevan, bukannya saya tidak percaya dengan kamu, tapi rasanya terlalu cepat saja jika kamu harus mengetahui semuanya sekarang, semua tentang hidup saya. Berikan saya waktu ya Gevan, karena dengan saya menceritakan semua tentang kehidupan saya, itu berarti saya sudah siap membuka kembali luka yang sudah saya tutup rapat-rapat. Saya belum siap Gevan" ungkap Rain dengan tulus

"Gue ngerti Cantik"

"Terimakasih Gevan, saya beruntung punya sahabat sebaik kamu" ungkap Rain dengan senyum manisnya

Tetapi gue berharap kita bisa lebih dari sahabat Cantik, ungkap Gevan di dalam hatinya. Ia hanya menanggapinya dengan senyuman saja. Sedetik kemudian ia teringat dengan kotak bekal yang dibawanya dari rumah yang rencananya akan diberikan ke Cantik

"Cantik gue bawa roti, ayo kita makan sebelum jam istirahat berakhir" ajak Gevan lalu menarik tangan kanan Rain menuntunnya ke dalam kelas

Rain hanya menurut saja diperlakukan seperti itu, ia hanya menganggukkan kepalanya tanda ia setuju dengan ajakan Gevan. Ketika mereka sampai dimejanya, mereka mendudukkan bokongnya dengan mulus di kursi mereka masing-masing. Gevan dengan sigap mengambil kotak bekal berwarna abu-abu itu dari dalam tasnya. Ia membuka kotak bekal tersebut dan menyodorkannya satu untuk Rain, dan satunya lagi untuk dirinya sendiri. Gevan sudah mulai melahap roti bakarnya itu, menurutnya roti bakar ini sangat enak, padahal hanya roti bakar biasa dengan selai nanas. Rain menerimanya dan berkata,

"Gevan kamu suka nanas ya?" tanya Rain

"Enggak, gue suka lo"

"Ih serius Gevan" jawab Rain dengan muka yang sudah memerah seperti kepiting rebus

"Gue juga serius, gue sukanya sama lo bukan nanas"

"Ish terserah dah, aku gak jadi nanya" jawab Rain dengan wajah yang ditekuk

"Cie tuan putri ngambek nih, jangan ngambek-ngambek sayang nanti cantiknya ilang" rayu Gevan dengan jahil. Entah kenapa Gevan sangat senang menggoda Rain hingga Rain tersipu malu. Baginya itu sangat menggemaskan.

"Jangan panggil "Sayang" nanti aku baper" jawab Rain yang sudah menutup wajahnya dengan kedua tangannya

"Cie yang mau banget dipanggil Sayang" rayu Gevan lagi

"Udah ah Gevan jangan godain aku terus"

"Iya, iya. Tadi kamu tanya apa? coba diulang"

"Apa ya? Tuh kan jadinya aku lupa mau tanya apa"

"Ih masih kelas 1 SMA juga udah pikun kaya nenek-nenek aja"

"Kalo aku nenek-nenek berarti kamu kakek-kakek dong?" jawab Rain dengan cengirannya

"Cie yang mau banget menua bareng gue"

"Hah??? Maksudnya ?" bingung Rain

Gevan mengalihkan pembicaraan, ia memilih mengganti topik daripada harus berdebat dengan Cantiknya "Ya enggaklah, gue kan gak pikun kaya lo Cantik"

"Loh buktinya kamu juga lupa kan aku tadi tanya apa"

"Enggak gue inget kok, gue kan cuma mancing-mancingin lo aja wleee" jawab Gevan dengan menjulurkan lidahnya

"Apa??? emang aku tadi tanya apa ke kamu?"

"Gini lo tadi tanya gini "Gevan kamu suka nanas ya?" gitukan?"

"Wah Gevan daya ingatnya kuat, kamu suka makan minyak ikan ya?"

"Hah??? Apaan lagi tuh Cantik?" tanya Gevan dengan bingung

"Hehehe lupakan, jadi kamu suka nanas ya?" tanya Rain

"Kenapa nanya gitu?"

"Ih jawab aja kenapa sih" jawab Rain gemas

"Enggak, gue gak suka nanas"

"Lah? Ini kok selainya selai nanas?"

"Tadi lo nanyanya suka nanas kan? Ya gue jawab enggak, gue sukanya selai nanas. Bukan nanas mentah yang belum diolah menjadi selai" jawab Gevan dengan cengirannya

"Ih Gevan ya maksud aku itu, kelupaan bilang selainya"

"Oh"

"Oh saja?, apakah tidak ada kata yang lebih singkat dari itu?"

"Ya terus maunya apa Sayang?"

"Ih jangan panggil Sayang juga kali Ge"

"Ya terus maunya apa? kok daritadi gue salah mulu perasaan"

"Eh enggak bukan gitu maksud aku" Rain terdiam, mencoba mencari kata-kata yang tepat namun tidak menemukannya. Alhasil ia mencoba mengalihkan pembicaraan,

"Ehmm… Gevan aku boleh minta roti bakarnya 1 lagi tidak?" tanya Rain malu-malu

"Boleh lah cantik. Jangankan roti bakar, lo minta hati gue aja pasti bakal gue berikan" jawab Gevan seadanya. Sungguh Gevan ini tidak mengetahui situasi dan kondisi. Ia tidak tahu bagaimana Rain mencoba menenangkan jantungnya yang melompat-lompat ingin keluar dari tempatnya. Rain sangat gugup saat ini, setiap Gevan menggodanya entah kenapa ia selalu tersipu malu dan jantungnya selalau berdetak lebih cepat dari seharusnya.

"Nih roti bakar dengan selai nanas untuk tuan putri yang Cantik" goda Gevan kembali dengan menyodorkan 1 roti bakar kearah Rain,

Ketika Rain menerimanya dan hendak mengucapkan terimakasih, omongannya dihentikan oleh seseorang yang tiba-tiba duduk di depannya dan ia sama sekali tidak mengenal orang itu namun rasanya wajah tersebut tidak asing lagi baginya, seperti ia pernah melihatnya namun ia tidak bisa mengingatnya. Jadi ia hanya terdiam tidak jadi membuka suara ia mengunyah rotinya dengan pelan dan dengan kepala yang menunduk menatap meja yang ada di depannya, ia memilih untuk hening saja kali ini. Mungkin orang ini ada penting dengan Gevan, pikirnya