"Baiklah. Jika diterima, Anda akan segera kami hubungi." Ben bangkit berdiri mengulurkan tangannya.
Sedikit ragu, Aurora ikut bangkit. Membalas telapak tangan besar itu. Mereka bersalaman dengan pandangan yang saling menyimpan tanda tanya.
"Terima kasih," sahut wanita itu, kemudian ia terdiam sejenak, "mengenai ongkos taksi itu, saya akan membayarnya."
Tak ada jawaban keluar dari mulut Ben. Pria tampan itu hanya menyengih penuh arti. Setelah pertemuan mereka, Aurora pun segera pulang.
Waktu berselang begitu cepat saat Aurora tiba di sebuah restoran berukuran sedang bernama Gabs fish and chips pada waktu tengah hari. Margareth—sang bibi sedang sibuk berdiri di meja kasir.
"Siang, Bi!"
Margareth mengangkat wajahnya. "Aurora! Bagaimana wawancaranya?" tanya Margareth sesekali matanya beralih menghitung uang kembalian dengan jemarinya yang lincah, lalu memberikan uang kembalian itu kepada pelanggan restoran.
"Not too good," jawabnya dengan desahann napas yang sedikit kecewa mengingat insiden di dalam taksi bersama Ben.
"Tak apa-apa. Orang-orang itu akan menyesal jika menolakmu. Kau sering membantu Bibi di rumah. Yah, walau kadang ceroboh, Bibi tahu sebenarnya kau sangat rajin, Nak."
Aurora memanyunkan bibirnya. "Sebenarnya Bibi sedang memuji atau mengataiku, sih?"
Margareth mengekeh mendengar sahutan Aurora. Dia kemudian berusaha menghibur keponakannya. Tak usahlah kau bersedih. Mencari pekerjaan yang sesuai pasionmu memang tak akan selalu lancar."
"Terima kasih karena telah menghiburku."
"Aurora!"
Walau tak terlalu kencang, terdengar suara seorang gadis memanggil Aurora. Kedua tangannya tampak memeluk nampan berukuran sedang. Dia adalah Lolita, anak dari pemilik restoran yang juga merupakan sahabat Aurora. Gadis itu tampak sedang mengantar makanan ke salah satu tamu restoran. Walau seorang anak dari pemilik restoran, Lolita tak malu terjun sebagai seorang pelayan di restoran orang tuanya sendiri.
Aurora tersenyum berjalan ke arah Loly, begitulah ia disapa. Ia langsung menyadari ada aura yang berbeda dari sahabatnya. Wajah gadis itu pucat. Tubuhnya pun terlihat kurus dan tak bersemangat.
"Loly, kudengar kau sedang sakit. Mengapa kau masih melayani pelanggan restoran?" tanya Aurora dengan kernyitan pada dahinya. Ia kemudian menoleh kepada sang bibi yang merupakan pengawas restoran itu. "Bibi, apa orang tua Lolita tak tahu kalau putrinya sedang sakit?" Suara Aurora yang hampir berteriak sontak membuat beberapa tamu restoran mengarahkan pandangan ke arah mereka.
"Sssttt!" Lolita menempelkan telunjuk pada bibirnya, lalu mengedarkan pandangan dengan wajah memerah.
Aurora sontak mengalihkan pandangannya lagi ke depan. "Kenapa? Aku tak salah, 'kan? Kebiasaan! Meski kau anak pemilik resto, memperkerjakan orang sakit itu telah melanggar undang-undang!" tegasnya tak suka. Namun Lolita mematung, masih dengan posisi yang sama. Ia memberi beberapa kode kepada sang sahabat agar Aurora bisa menjaga mulutnya.
"Ehem!" Suara dehaman seorang pria terdengar keras.
"Ya! Aku tidak bisa diam saja dan akan menemui Tuan Gabriel," ucap gadis itu sontak berbalik. Seorang pria botak dengan wajah penuh brewok dan tinggi menjulang tiba-tiba sudah berdiri di hadapannya.
"Ada apa mencariku?" Pria tua yang merasa seseorang menyebut namanya itu sontak mengangkat sebelah alisnya.
Aurora menelan salivanya sendiri. Perkataan yang tadinya hendak ia sampaikan tiba-tiba tertelan kembali kalah dengan raut menyeramkan Gabriel.
"Ada apa, Aurora? Kau hendak mengatakan apa, huh?" tanya Gabriel sekali lagi. Pandangannya begitu tajam seolah hendak mencincang Aurora hidup-hidup.
Aurora menghela napas berkali-kali, mengumpulkan keberaniannya. "Tuan Gabriel, Loly sedang sakit. Tidak bisakah kau perkenankan ia untuk istirahat dan tidak bekerja?"
Dua bola mata berwarna biru Gabriel tampak melebar. Ia menoleh tajam kepada Lolita. "Jadi kau benar-benar sakit?"
"Ti-tidak, Daddy! Aku tidak sakit. Lihat! Aku sangat bersemangat," jawab Lolita langsung mengangkat tangannya bergaya seperti seorang binaragawati.
"Kau dengar? Loly tidak sakit. Anakku sangat bersemangat membantu orang tuanya." Gabriel menjawab Aurora dengan seringainya yang tampak menyebalkan.
Aurora yang berdiri di depan Lolita sontak menoleh ke belakang. "Are you sure?" Aurora bertanya setengah berbisik.
"Tentu saja!" Lolita menjawab begitu yakin. Sekali lagi ia memperagakan tangan kurusnya yang minim otot.
Aurora kembali menatap Tuan Gabriel. Pria tua itu menggelengkan kepalanya, lalu menoleh pada Margareth. "Margareth! Kau harus mengajarkan keponakanmu agar ia tak sering-sering ikut campur masalah orang lain!" titahnya seperti seorang raja.
Margareth sontak menghela napas panjang. Ia berkata sambil menundukkan kepalanya, "Baik, Tuan Gabriel. Maafkan keponakan saya yang telah kurang ajar kepada Anda. Saya akan sering-sering mengajarkan ia tata krama."
Gabriel mendengus lalu tersenyum puas. Namun saat ia berbalik melangkah pergi, Aurora mengangkat kakinya, mencopot stiletto yang ia pakai. Dengan begitu berani melemparkan stiletto itu hingga tepat mengenai kepala belakang Gabriel.
Buk!
Suaranya cukup keras menghantam kepalanya yang tak berambut. Sebelah stiletto Aurora pun jatuh ke lantai. Aurora dan Lolita yang berdiri sangat dekat dengan Gabriel hanya bisa membeliak dengan mulut terbuka lebar.
Gila! Aku benar-benar tak waras!
Aurora bergumam dalam hati. Emosinya sudah naik sampai ubun-ubun. Pasalnya bukan hari ini saja Gabriel bertindak semena-mena kepada Lolita. Begitupun Lolita yang begitu lemah dan tak bisa membela diri, padahal itu semua demi kebaikannya. Ada apa dengan ayah dan anak itu? Aurora tak habis pikir dibuatnya.
Kedua bola mata Gabriel seketika berubah bak api menyala-nyala. Ia berbalik, menyipitkan pandangannya lurus bak laser yang hendak membumihanguskan Aurora. Napasnya sudah terasa panas meski Aurora berdiri berjarak satu meter darinya.
Gabriel merunduk, mengambil stiletto Aurora. Ia menggenggamnya sangat kuat. Kemudian dengan langkahnya yang sangat gagah mendekat.
Aurora mengerjap beberapa kali. Deru napasnya mulai memburu tak beraturan. Ia menoleh ke arah Lolita, membisikkan sesuatu yang Lolita mengerti.
"Apa, Aurora?" tanyanya bingung.
"Lari!" teriak Aurora seketika, kemudian dengan cepat membebaskan pasangan stiletto lainnya dari kaki sebelahnya. Tangan kanan Aurora segera lengan kurus Lolita, memaksa gadis itu ikut pergi dengannya.
"Hei! Mau ke mana kalian?!" teriak Gabriel dengan nada suara yang masih sangat marah. Ia langsung melemparkan sebelah stiletto Aurora dari tangannnya.
Prang!
Pintu restoran berkaca tipis sontak hancur berkeping-keping. Stiletto murah Aurora itu memang cukup berat melekat pada kaki sang gadis pengangguran. Aurora dan Lolita untungnya tak terkena pecahan kaca itu. Mereka berhasil kabur dari amarah Gabriel.
Dada Gabriel yang membusung begitu sombong tampak naik turun. Emosinya belum stabil. Apalagi saat menyadari lelehan darahh tiba-tiba meluncur dari belakang kepalanya. Ia mengumpat sangat marah.
"Berengsekk!"
Gabriel mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Wajahnya memerah saat para tamu restoran tampak membicarakan ia dengan suara berbisik.
Margareth yang kebetulan berada di dekat pintu masuk untungnya tak terkena pecahan kaca. Namun saat melihat Gabriel dengan kepala berdarah, ia langsung menghampiri bosnya.
"Tuan, kita harus ke rumah sakit," ujar Margareth.
Gabriel menoleh tajam. Seolah tak ada ampun lagi, ia berkata dengan lantang, "Margareth, kau kupecat!"