Ben melangkah keluar dari sebuah minimarket. Pria itu memeluk sebuah tote bag besar. Terlihat cukup banyak berisi kebutuhan sehari-hari sekaligus barang-barang pribadinya.
Getar ponsel sekaligus bunyi notifikasi telepon masuk membuat Ben hanya mendengus kecil dan membiarkannya. Walau bunyinya terdengar berkali-kali, Ben dengan santai berjalan menuju pelataran parkir mobil. Namun si penelepon pantang menyerah. Mendesak sang Ben Reagan Amancio menyingkirkan sedikit egonya. Pada akhirnya, Ben menjawabnya.
"Ck! Semua sudah cukup jelas, 'kan? Saya tak akan pernah kembali ke rumah itu. Bahkan jika malaikat maut mencabut nyawanya!" marah Ben.
"Tapi Tuan–"
Tut!
"Mengganggu saja!" Ben memasukkan ponselnya kembali ke dalam saku. Raut wajahnya berubah kesal.
"Copeeet!"
Terdengar suara nyaring teriakan. Sontak bola mata Ben melebar, lalu sigap menoleh ke belakang. Seorang wanita paruh baya berdiri tak jauh darinya. Rautnya menunjukkan segurat rasa cemas sekaligus takut. Bola mata mereka seketika bertemu. Wanita itu kembali berteriak seraya menunjuk ke arah sebuah sepeda yang melaju cepat.
"Copet! Copet!"
Mengikuti arah si wanita yang menunjuk, pandangan Ben langsung mengarah pada sepeda yang melaju cepat melewatinya. Tanpa membuang waktu, Ben mengejarnya. Ben bukan pelari maraton tapi kakinya cukup panjang untuk memotong sedikit jarak antara dirinya dan copet sialan itu.
Tanpa pikir panjang Ben melempar kuat tote bag di tangannya. Wadah barang belanjaan itu dengan cepat melayang tepat mengenai kepala si copet.
Sepeda pun berjalan limbung. Si pengendara dan sepedanya seketika terjatuh. Suaranya cukup kencang hingga membuat beberapa orang yang sedang lalu lalang menoleh ke sumber suara.
Ben cepat-cepat menghampirinya. Ia merunduk mengambil tas kecil milik wanita itu, lalu berbalik menghampirinya.
"Awas!" teriak si wanita mengerling seraya menunjuk ke belakang. Pencopet itu sudah berdiri dengan sebuah kepalan tinju yang hendak mengarah kepadanya.
Ben menoleh cepat. Sekejap meraih lengan pencopet dan menariknya kuat hingga terpilin ke belakang punggung.
"Aarrggh!" teriak pencopet itu mengerang.
"Padahal aku tak ingin menyentuhmu sedikit pun, tapi kau malah memaksaku, huh!"
Tak ada jawaban selain erangan kesakitan yang keluar dari mulut si pencopet. Namun ia tak patah arang. Kakinya diangkat menendang ke belakang. Ben dengan cepat menghindar. Ia melepaskan tangan, lalu menendang kuat punggung lawannya. Pencopet itu pun jatuh tersungkur.
Ben menoleh singkat ke arah si pencopet. Dengan seringai kecil menakutkan, ia meninggalkan tubuh tak berdaya itu. Tepukan meriah seketika terdengar. Semua orang yang berada di area itu seolah baru saja menonton sebuah adegan perkelahian paling seru. Ya! Mereka hanya menonton saja dan tak membantu sama sekali.
"Tas Anda, Nyonya," ucapnya dingin seraya menyerahkan tas milik wanita tua itu.
"Terima kasih." Wanita tua itu menunduk kecil.
Ben tak peduli. Ia malah berbalik hendak mengambil barang belanjaan yang telah tercecer di jalan.
"Tunggu!" Wanita itu memanggil.
Ben menghentikan langkah, menoleh ke belakang. Wanita tua itu menghampirinya.
"Sepertinya saya pernah melihat Anda. Anda yang di makam itu, 'kan? Pria yang kehilangan kucingnya," tebak wanita itu.
Ben mengangkat sebelah alisnya memperhatikan tiap jengkal penampilan wanita itu. Kening bersihnya mengerut tak mengenalinya.
Wanita tua itu buru-buru mengulurkan tangan. "Saya Margareth."
Ben tak langsung menyambut tangan Margareth. Ia memperhatikan sebentar wajah wanita itu. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Tak lama, ia pun menyambutnya.
"Ben," ucapnya singkat.
Margareth menyunggingkan senyum. Tanpa berbasa-basi wanita itu berkata, "Sebagai ucapan terima kasih, bagaimana kalau saya mengundang Anda untuk minum teh? Rumah saya tak jauh dari sini. Bahkan kita bisa berjalan kaki untuk menuju ke sana."
"Maaf, saya sibuk, Nyonya!" tolak Ben yang segera memutar tubuh berjalan menuju mobilnya.
"Tunggu!" Margareth kembali memanggil. Ben berbalik menatap heran ke arah wanita itu. "Saya hanya ingin membalas budi."
"Mengapa Anda jadi sangat memaksa? Bagaimana kalau saya adalah orang jahat lain yang akan menjahati Anda, Nyonya?"
"Orang jahat tak mungkin menolong orang lain hingga mengorbankan barang belanjaannya sebagai senjata, kan?" sahut Margareth mengarahkan pandangannya pada tote bag di tangan Ben.
"Huh!" Ben menunduk pada kantung yang ia bawa lalu mengembus napas panjang. Ada sedikit rasa senang dalam hati Ben begitu mendengar perkataan Margareth. "Baiklah," katanya lagi nada dingin.
"Ya. Anda akan senang jika datang ke rumah saya." Margareth menjawab yakin. Entah apa yang ada dalam benaknya.
Tak membutuhkan waktu lama untuk menuju kediaman Margareth. Beberapa langkah lagi mereka akan tiba. Namun tiba-tiba terdengar suara keras seorang wanita.
"Kau tak bisa memaksanya untuk pulang, Tuan Gabriel. Kau bukanlah seorang Ayah yang baik untuk Loly!"
Margareth yang terperanjat melebarkan bola matanya. Ia sangat mengenal suara itu. Margareth mempercepat langkah. Ben mengikutinya dari belakang.
"Berhenti, Tuan Gabriel!" Margareth berlari menghampiri sumber keributan di halaman rumahnya.
Gabriel menoleh ke belakang. Mantan pegawai restorannya sudah berdiri di sana. Seketika bibir pria itu menyungging miring.
"Oh, akhirnya si mantan pegawai terlihat juga di sini." Bola mata Gabriel melebar, hampir melotot.
Mendengar suara Margareth membuat Aurora mengerlingkan pandangannya. Margareth datang bersama seorang pria yang kemarin sempat membuatnya kesal.
"Tuan Amancio. Mengapa dia ada di sini?" lirihnya.
"Tuan tampan, Rora," tambah Lolita yang langsung dapat mendeteksi ketampanan seorang pria. Rasa sakit pada tubuhnya seolah telah hilang begitu saja karena kehadiran seorang Ben Reagan Amancio.
Mendapat tatapan tak menyenangkan Gabriel tak membuat Margareth patah arang. Dia membalas Gabriel sambil bertolak pinggang.
"Sedang apa kau di sini, Tuan Gabriel? Kehadiranmu sungguh tak diharapkan. Pergi kau dari sini!" usirnya.
"Margareth ... kau ingin menjadi pahlawan kesiangan, huh?!"
"Aku membela anak-anakku!"
"Anakmu, huh? Aku yang mengadopsinya dari panti asuhan busuk itu! Aku juga yang membesarkannya! Sudah sewajarnya dia membalas budi!" Gabriel berteriak-teriak sambil mengarahkan pandangan dan menunjuk Lolita dengan tak sopannya.
"Itu bukan alasan untuk menjadikannya sasak tinju!" balas Margareth lalu mengarahkan pandangannya pada Aurora. "Bawa Lolita masuk Aurora!"
"I-iya, Bi." Aurora tergagap menganggukkan kepalanya. Ia tak peduli ada urusan apa Ben datang bersama sang bibi ke kediaman mereka.
Aurora belum sempat berbalik saat tiba-tiba ia melihat sebuah tamparan keras dilakukan oleh Gabriel di pipi sang bibi.
Margareth merasakan pipinya yang panas. Ia langsung menempelkan telapak tangannya di sana. Sementara, Gabriel hanya menarik setengah senyuman licik.
"Bibii!" Aurora berteriak geram. Ia tak tahan melihat perlakuan Gabriel.
Aurora berlari meninggalkan Lolita, hendak menghentikan Gabriel yang akan mengangkat tangannya lagi. Namun yang terjadi di luar dugaan. Ben yang berdiri tak jauh dari Margareth kembali menjadi seorang pahlawan. Ia menghentikan perbuatan Gabriel dengan cepat. Menahan lengan Gabriel yang hendak menyentuh pipi Margareth.