"Woaaah! Benar-benar... Kamarmu benar-benar tak berubah sejak zaman dulu," komentar Lolita dengan pandangan mata yang mengedar saat ia memasuki kamar Aurora. Ada sebuah rak buku yang berdiri menjulang. Sebagian besar isinya adalah novel dan komik kesukaan sahabatnya.
Sontak mulut Aurora mengerucut. "Zaman dahulu... kau pikir aku hidup di zaman purba? Haish! Memangnya selama apa kau tidak memasuki kamarku?"
Mendengar sahutan Aurora, Lolita pun tergelak seolah melupakan rasa tak nyaman pada tubuhnya yang sedang demam. Lolita beringsut mendekati rak buku itu. Dia mengambil salah satu buku cerita bergambar yang menjadi kesukaan Aurora sejak dulu. Sleeping Beauty.
"Ternyata kau masih menyimpan buku cerita bergambar ini?" Lolita menunjuk buku Sleeping Beauty di tangannya.
Wajah Aurora mendadak bersemu merah. Dia mendengus dengan wajah keberatannya. Buru-buru wanita itu merebut buku cerita bergambar itu dari tangan Lolita.
"Kembalikan!" teriaknya.
Lolita bergeming, membiarkan Aurora meraih buku cerita itu dari tangannya. Ia tidak terkejut. Wanita itu menarik napas panjang lalu membanting tubuhnya di atas kasur Aurora. Berlari menghindari ayahnya cukup memakan energi. Terlebih lagi, tubuhnya sedang tidak fit.
"Rora, aku benar-benar tak habis pikir. Apa kau masih memercayai cerita dongeng anak-anak sleeping beauty? Biarkan aku membuatmu sadar! Di umurmu yang ke dia puluh tiga tahun ini, kau itu tetaplah seorang Aurora biasa. Bukan seorang putri Aurora yang nyawanya diselamatkan oleh seorang pangeran tampan berkuda putih," nasihat Lolita. Tatapannya kini beralih pada langit-langit kamar.
Mendengar perkataan Lolita, Aurora ikut merebahkan tubuhnya di atas kasur. Dengan tangan yang masih memegang buku cerita anak-anak itu, ia pun menyahut, "Tak ada salahnya bermimpi tentang pangeran berkuda putih yang datang menolong sekaligus mencintai kita. Kau tahu sendiri, bagaimana seringnya mendiang ibuku menceritakan dongeng ini. Jika aku tumbuh dewasa bersama dengan kehaluan yang abstrak, aku tidak akan menyesal. Aku percaya, setiap orang pasti memiliki pangeran berkuda putihnya masing-masing."
Lolita mendesahh pelan. "Aku hanya takut kau kecewa. Melihatmu lulus kuliah dengan susah payah dan menjadi pengangguran saja membuatku miris. Yah! Walau tidak kuliah, aku bersyukur ayahku masih membolehkanku beraktivitas di restoran."
Aurora buru-buru membalik tubuhnya, mendelikkan matanya. "Mengapa kau masih saja membela Tuan Gabriel? Dia hanya menganggapmu sebagai anak adopsi yang bisa ia manfaatkan seenaknya! Kau pikir aku tak tahu berapa banyak ia memberikanmu upah, huh? Bahkan jumlahnya tak ada setengahnya dari upah yang diterima oleh Bibi Margareth!"
Lolita memejamkan matanya sejenak. "Rora, sungguh! Aku benar-benar bersyukur ia telah mengambilku dari panti asuhan busuk itu. Jika kau tahu, perlakuan ibu panti lebih parah dibandingkan ayahku."
"Haish! Aku bosan mendengar kau membela ayah sialanmu itu!" Aurora buru-buru beranjak dari kasurnya. Menaruh buku cerita bergambar itu kembali ke dalam rak buku.
Melihat Aurora bangkit, Lolita buru-buru menegakkan tubuhnya. Namun Aurora sontak menoleh kepadanya, bertitah bagai seorang putri raja, "Tetaplah berbaring di sana. Tunggu sebentar! Aku akan mengambilkanmu obat."
Lolita yang mendengar perkataan Aurora seketika tersenyum. "Baik, Putri Aurora," sahutnya dengan kepala yang menunduk patuh.
Aurora tergelak mendengar sahutan Lolita. "Aku tahu jauh dalam lubuk hatimu, kau mengakuiku sebagai seorang putri raja."
"Whatever!" Melihat Aurora yang sangat senang. Lolita kembali membanting tubuhnya di atas kasur.
Aurora segera beringsut keluar menuju dapur. Bola matanya seketika melebar melihat Margareth yang sedang duduk di meja bar. Ia termangu dengan tatapan lurus mengarah pada lemari pendingin di depannya.
"Bibi? Mengapa Bibi ada di sini?" Aurora melirik jam dinding. Pukul tiga sore. Seharusnya Margareth masih berada di restoran. Segera gadis itu menghampiri bibinya.
Margareth menoleh tak bersemangat menatap sang keponakan. "Bibi meminta izin pulang cepat kepada Tuan Gabriel," jawab Margareth berbohong.
Air muka Aurora berubah cemas. Ia langsung menempelkan telapak tangannya pada dahi Margareth. Namun tak ada yang aneh. Suhunya normal dan tidak cenderung panas. Aurora sampai membandingkan suhu tubuhnya sendiri.
"Bibi sakit?" tanya Aurora seperti orang tak berdosa. Padahal pada kenyataannya ia baru saja menimbulkan kekacauan di restoran Tuan Gabriel.
"Hanya sedikit sakit kepala." Margareth turun dari bangku bar, "sebaiknya kau tidak mengganggu Bibi karena Bibi ingin beristirahat."
"I-iya, Bi." Aurora mengangguk tapi ia merasa sedikit heran. Sikap Margareth tampak berbeda.
Margareth segera pergi dari dapur meninggalkan Aurora yang hanya bisa bergeming menatapnya keheranan.
"Apa aku baru saja melakukan kesalahan?" gumam gadis itu.
***
Ben Reagan Amancio masih terlihat sangat kusut hingga sore hari di ruangannya. Matanya masih sibuk memandang sebuah file laporan penjualan yang tidak mencapai target bulanan. Suasana hatinya ikut kusut setelah dimarahi habis-habisan oleh atasannya, Tuan George.
Sementara di luar ruangan yang terjadi adalah sebaliknya. Para rekan kerja dan anak buahnya tampak santai bersiap-siap pulang ke rumah mereka masing-masing seolah tak peduli dengan apa yang sedang atasannya hadapi. Mereka hanya memandang ruangan Ben dengan pandangan acuh tak acuh.
"Hei, apa tidak apa-apa jika kita pulang lebih dulu?" bisik Becca di telinga Renata dengan mata melirik ke arah ruangan Ben yang masih terang benderang.
Renata ikut melirik ruangan dingin pria dingin itu. Dia hanya bisa membuang napas berat. Bagaimanapun ia sangat mengenal Ben yang merupakan seorang pria pekerja keras dan sulit dibantah.
"Tidak apa. Lagipula, kita sudah membantu dan lembur selama dua jam. Aku rasa dia akan maklum jika kita pulang lebih dulu," jawabnya.
"Benarkah? Aku tak yakin. Kau lihat sendiri bagaimana marahnya dia saat meeting tadi siang. Dia sampai menggebrak meja di hadapan kita semua."
"Feeling saja."
"Aku tidak percaya. Sepertinya kau sangat mengenal Tuan Ben. Padahal kau masuk hanya dua bulan lebih lama dariku di perusahaan ini. Apa kalian saling mengenal sebelumnya?"
"Tidak. Aku punya keistimewaan dapat membaca kepribadian seseorang dengan cepat." Renata menarik senyumnya yang tampak aneh, "sudahlah, tidak usah kau anggap serius," tambah Renata sambil mengibaskan tangannya.
"Baiklah. Jika kau benar, aku akan pegang perkataanmu. Dan jika besok dia masih marah-marah kepada kita, kau harus mentraktirku makan siang." Becca menyengir.
"Kau ini...." Renata sontak menggeleng. Becca makin memperlihatkan barisan giginya yang rapi. Renata tak dapat berbuat apa-apa, ia sontak mengangguk-angguk. "Satu cheese burger cukup?"
"Okay!" balas Becca setuju, "by the way, ayo pulang bersama!"
"Tidak bisa. Aku ada janji," Renata menolak.
"Baiklah." Becca segera mencangklongkan tas bahunya, "sampai ketemu besok, Renata."
"Ya! Hati-hati di jalan." Renata melambaikan tangannya mengiringi Becca yang segera menghilang dari pandangan mata.
Renata yang tinggal sendirian di ruangan besar itu kemudian mengalihkan pandangannya kembali ke ruang kerja Ben. Dia menarik senyumnya beringsut menuju tempat itu.
"Ben, apa kau tidak mau pulang?" tanya Renata yang tiba-tiba membuka pintu ruangan Ben tanpa izinnya.