Manusia mana yang pergi membawa kucing ke taman makam seluas ini? Kurasa dia bukan manusia. Pria tampan... ah tidak! Dia bukan pria tampan. Pria bernama Ben Reagan Amancio adalah alien yang hendak menjajah bumi, batin Aurora.
Aurora tak menyangka terjebak dalam situasi aneh saat ini. Dia malah mencari kucing ras berbulu pendek britania bersama pria yang membuatnya malu setengah mati beberapa waktu lalu.
Kucing bernama Olie itu hilang bagai ditelan bumi. Bahkan mereka tak menemukannya di sekeliling makam padahal sudah mencarinya dengan begitu teliti. Aurora menoleh ke arah Ben yang tak kunjung menyerah atas pencarian kucing berwarna biru itu.
"Haish! Mengapa aku jadi ikut mencari kucing sialan itu?!" gerutunya.
Seolah memiliki indra paling tajam sedunia, pria yang berjarak dua meter dari Aurora itu tiba-tiba menoleh secepat kilat. "Apa yang barusan Anda katakan?!"
Aurora mendelik dengan kedua tangan yang terlipat. "Sial sekali! Pantas jika kucing itu menghilang. Pasti ia baru saja menyadari kalau ia telah salah memilih majikan."
"Memangnya Anda pikir Anda itu siapa? Saya tak menyuruh Anda ikut mencarinya!" Ben menyahut dengan nada tinggi, "bahkan dia lebih berharga dari seorang wanita pengangguran seperti Anda ini."
Mendengar perkataan Ben, sontak dua bola mata Aurora hampir menjorok keluar. Masih dengan kedua tangan yang bertolak pinggang, wanita itu beringsut mendekat. "Pengangguran katamu?!" sergah Aurora. Ia langsung melupakan bagaimana resminya cara ia berbicara.
Ben seketika menyeringai. Pria itu makin menajamkan tatapannya. Tubuh idealnya sebagai seorang pria kini tampak menantang dengan jarak yang sangat dekat. "Apa ada yang salah dari kalimatku, huh?" Ben menyahut dengan cara yang sama.
"PE-NGANG-GU-RAN. Kau baru saja mengatakannya!"
Ben mendengus, lalu melengkungkan setengah senyum mengejek. "Itu kenyataan," sahut Ben seraya menoyor pelan dahi Aurora dengan telunjuknya.
Sial! Apa-apaan pria ini? Sama sekali tak punya sopan santun! batin Aurora geram.
Aurora meradang. Kedua tangannya mengepal kuat. Lolita, Margareth, dan Tuan Edison yang berada cukup jauh dari keduanya seketika saling menatap heran. Mereka bingung dengan apa yang membuat seorang Ben dan Aurora ribut hingga membuat telinga mereka berdenging.
Margareth menoleh pada Lolita. "Lolita, mengapa Aurora berteriak pada pria itu?"
"Sebentar, Bi!" Lolita tak memberi jawaban melainkan langsung menggulung kedua lengan kemejanya.
"Kau mau ke mana, Lolita?"
"Membuat dua manusia itu menghentikan pertengkaran mereka!"
Dengan gagah bak seorang pembela kebenaran, Lolita berjalan menghentak. Kedua alis Lolita hampir bertautan menukik ke bawah kala langkahnya terhenti di tengah-tengah mereka.
"Berhenti! Apa yang sebenarnya kalian ributkan?!" teriaknya.
Kedua orang itu menoleh. Untuk sesaat keduanya melupakan pertengkaran mereka. Mengarahkan pandangan kepada Lolita dengan tak sabar. Namun, Lolita tak melanjutkan perkataannya.
"So?" Aurora mengubah raut bingung.
"Ya-ya, kalian berhenti! A-apa tak malu bertengkar di tengah-tengah makam? Di tengah-tengah orang-orang yang sudah terkubur di bawah sana!" Lolita menjawab seraya menunjuk ke sekeliling makam.
Ben mengembuskan napas pelan, berusaha menetralkan amarahnya. Kehilangan kucing kesayangannya membuat ia tak bisa berpikir jernih. Pria itu kemudian menoleh ke arah Tuan Edison.
"Tuan Edison, sepertinya kita harus mengakhiri pencarian Olie," ucapnya.
"Apa tidak masalah? Kau tak pernah kehilangan Olie, bukan?" sahut pria penjaga taman makam itu.
"Ya, tapi sepertinya aku harus merelakannya. Entah apa yang Olie rasakan. Ia mungkin butuh waktu untuk berpikir dan kembali lagi kepadaku."
"Baiklah, Ben. Aku akan segera menghubungimu jika melihat Olie. Kurasa kucingmu itu hanya butuh udara segar. Kau pasti jarang membawanya jalan-jalan karena kesibukanmu."
"Ya, aku tak bisa bilang tidak mengenai hal itu, tapi terima kasih atas bantuanmu, Tuan Edison," pungkas Ben kemudian menoleh sebentar ke arah Aurora. Tatapan sinis pria itu tampaknya belum juga hilang dan Aurora menyadari hal itu. Mulut wanita itu komat-kamit berbisik mengutuk seorang Ben Reagan Amancio. Namun, Ben tampaknya tak terlalu memedulikan ekspresi Aurora. Dengan langkah dingin, ia berbalik dan segera pergi dari hadapan mereka.
Sial! Mengapa pria itu menjadi lebih menyebalkan dibanding pertemuan pertama kami?! Bahkan dia baru saja pergi tanpa mengucapkan terima kasih! kesal Aurora dalam hati.
Tuan Edison yang masih berdiri di sana memandang tiga wanita di depannya. "Kalau begitu, saya mohon diri. Terima kasih atas bantuan kalian semua."
"Sama-sama, Tuan Edison." Margareth menundukkan kepalanya diikuti oleh Lolita dan Aurora.
Tuan Edison tidak berkata apa-apa lagi. Ia hanya menyunggingkan senyuman kecil kemudian berbalik menyusul langkah Ben yang sudah lebih dulu pergi.
Margareth mengembuskan napas panjang menoleh ke arah keponakannya. "Aurora, kita pulang sekarang."
"Baik, Bi," sahut wanita muda itu yang langsung meraih tangan Lolita, "ayo kita pulang, Loly!"
"A-ayo!" pungkas Lolita.
***
Keesokan harinya....
Aurora melengkungkan garis bibir tersenyum-senyum. Entah apa yang terjadi. Kedua matanya memejam, tapi wajahnya menunjukkan ekspresi kegelian.
"Hentikan! Jangan di situ, Loly. Itu menggelitik kakiku," gumam wanita itu seraya menggerak-gerakkan kakinya. Menjauhkan telapak kaki dari benda lembut dan halus seperti bulu yang tiba-tiba menempel dan terasa bergerak mengganggu tidurnya.
Usaha Aurora memindahkan posisi kakinya tak membuahkan hasil. Benda itu bergerak mengikuti kaki Aurora yang berpindah tempat, kembali mengganggu tidurnya. Bahkan kali ini benda itu makin sengaja bersandar di telapak kakinya.
"Loly!" Kedua netra Aurora membulat. Ia sontak menegakkan tubuhnya dan memarahi Lolita yang berani mengganggunya, "Sudah kubilang jangan mengganggu tidurku! Aku tak suka bangun pagi!"
Tak mendapatkan jawaban Lolita, sekujur bulu yang ada pada tubuh Aurora seketika menegak. Jantungnya berdetak sangat kuat kala melihat seekor kucing ras bulu pendek britania berwarna biru makin menyandar di kakinya. Membelai kaki Aurora dengan tubuhnya yang berselimut bulu sangat indah itu.
"Meong!" Kucing itu bersuara dengan raut wajah menggemaskan tanpa dosa.
"Aaaaaaa!" Aurora berteriak. Raut menggemaskan kucing tak berlaku bagi gadis itu. Sebelah kakinya sontak menendang binatang itu hingga terjatuh mulus ke lantai. Namun, herannya dengan anggun kucing itu berdiri tegak kembali tanpa luka yang berarti. Dia kembali mengeong tanpa rasa sungkan di depan Aurora.
Masih dengan penampilannya yang berantakan, Aurora yang syok karena kehadiran si kucing cepat-cepat turun dari tempat tidur. Dia sontak berlari tunggang langgang tak tentu arah.
"Bibiiiii!" teriaknya memanggil Margareth. Namun Margareth tak ada di kamarnya. Gadis itu pun mencarinya ke dapur. Sepi. Tak ada sosok sang bibi di sana, bahkan Lolita. Sahabatnya itu juga tidak terlihat batang hidungnya.
Mengapa mereka berdua tak ada di rumah? batin Aurora bertanya-tanya.
Sedetik kemudian terdengar suara sesuatu yang membentur dinding dengan kuat, disusul oleh suara marah-marah seorang pria yang tak asing bagi Aurora. Suara itu berasal dari luar rumah. Segera, Aurora mempercepat langkahnya menuju halaman.
Aurora terhenyak melihat sebuah pemandangan yang tak pernah ia sangka. Lolita terduduk lemas bersandar pada dinding. Pipi kanannya memerah. Di depannya tampak Tuan Gabriel yang menatap geram dengan telapak tangan yang terbuka.
"Loly!" Aurora bergegas menghampiri Lolita, "kau tidak apa-apa, Loly?"
Lolita menggeleng lemah tanpa menatap Aurora yang menatapnya cemas. Ia masih merasakan sakit karena sang ayah baru saja mendorong tubuhnya sangat kuat hingga membentur dinding.
"Jika kau tidak ikut Daddy pulang ke rumah sekarang juga, selamanya Daddy akan menutup pintu rumah untukmu, Loly!" ancam Gabriel.
Aurora dengan cepat menoleh. Tak terima dengan perlakuan Gabriel, gadis itu langsung menyahut, "Kau tak bisa memaksanya untuk pulang, Tuan Gabriel. Kau bukanlah seorang Ayah yang baik untuk Loly!"