Chereads / Aku ... Sang Putri? / Chapter 5 - Lembaran Surat

Chapter 5 - Lembaran Surat

Ben mengangkat wajahnya. Tak ada satu pun kata yang meluncur dari mulut pria itu kala melihat Renata yang berdiri di ambang pintu. Ia malah menundukkan kepala kembali, fokus pada layar laptop di depannya.

Renata menutup pintu ruangan Ben. Ia beringsut menghampiri, mendudukkan dirinya di atas meja sang manajer. Roknya yang pendek seketika membuat kaki jenjang dan mulusnya makin terlihat jelas. Namun Ben hanya melirik sesaat, lalu menggelengkan kepalanya melihat tingkahnya.

"Haish! Jam segini kau masih saja sibuk!" komentar Renata lalu mengambil sebuah bolpoin dan memutar-mutarnya lincah.

"Turun!" titah Ben singkat.

Renata sontak mengerucutkan mulutnya, turun dari meja, lalu duduk di kursi depan Ben. "Hei! Apa aku tak cukup seksi untuk menggodamu?" Renata menggoda Ben.

"Sejak kapan paha anak ayam bisa menggodaku, huh? Dagingnya saja tak ada." Kali ini gantian Ben yang membentuk kerucut mulutnya. Tak lupa ia juga memasang air muka meremehkan untuk Renata. Sesaat kemudian pria itu pun mematikan laptopnya.

"Paha anak ayam?!" Renata hampir melotot. Sontak melemparkan bolpoin dari tangannya hingga mengenai mata Ben.

"Aduh!" Ben mengaduh dengan tangan yang menutup sebelah matanya.

Renata membeliak, buru-buru bangkit dari duduknya. "Haduh, Ben! Maaf! Aku benar-benar tak sengaja."

Ben bernapas panjang. Dia mengurai telapak tangannya dari wajah. "Aku pergi!" kata Ben tanpa banyak berbicara meraih tas ranselnya dan pergi dari hadapan Renata.

Menyadari Ben yang pergi karena marah, Renata dengan segera mengejar pria jangkung itu. "Ben, berhenti! Mengapa kau jadi sangat pemarah, sih?"

Ben tidak menyahut. Dia menekan remote mobilnya, beringsut menuju mobil jeep kuning yang terparkir di pelataran parkir. Beberapa saat sebelum mobil itu melaju, Renata tanpa ragu ikut masuk dan duduk di samping Ben.

"Kau ini benar-benar, ya! Stres boleh, tapi jangan melampiaskan kemarahanmu seperti ini kepada teman kecilmu," tutur Renata bernada protes.

Ben menarik napas dalam lalu membuangnya. "Kau tahu, Tuan George benar-benar gila! Dia hampir menendangku karena tak bisa menembus target yang ia berikan." Akhirnya apa yang membebani dalam hati meluncur cepat begitu saja dari mulut Ben.

"Dan kau hampir membuat anak buahmu kabur karena kemarahanmu yang luar biasa hari ini!" Renata menambahkan.

Ben sontak menatap Renata dengan sorot matanya yang tajam. Ia tak ingin disalahkan. Apa yang dirasakannya harus ia lampiaskan sama seperti Tuan George melampiaskan kemarahan kepadanya. Ditatap begitu, Renata menarik wajahnya menjauh.

"Baiklah, aku akan menutup mulutku khusus untuk malam ini." Renata cepat-cepat menarik garis bibirnya seolah sedang menutup sebuah resleting pada pakaian. Ben menyeringai puas. Ia tak perlu berkata apa-apa lagi untuk membuat Renata, teman masa kecil sekaligus sahabatnya untuk diam dan tak banyak berkomentar.

***

Pagi yang cerah bagi seorang Aurora. Ia terbangun dengan rasa segar. Sambil melakukan peregangan, wanita itu menoleh ke samping. Lolita tak ada di sana.

"Ke mana dia? Jangan-jangan ...," gumamnya segera melompat dari tempat tidur. Aurora khawatir Lolita akan kembali ke kediaman Tuan Gabriel lalu mendapatkan hukuman di sana.

Aurora bergerak menuju kamar mandi. Berteriak memanggil Lolita, tapi tak ada jawaban sama sekali. Panik. Gadis itu segera beringsut keluar kamar.

"Lolita! Di mana kau?!" teriaknya.

"Aku di sini!"

Terdengar suara Lolita dari arah ruang makan. Aurora segera berjalan menghampiri. Tampak Margareth dan Lolita yang sedang sibuk merangkai bunga di atas meja makan.

"Loh, Bibi tidak pergi kerja?" tanya Aurora heran dengan mata yang melirik jam dinding ruang makan. Pukul sepuluh. Seharusnya Margareth sudah pergi berkerja di restoran Tuan Gabriel.

Margareth hanya memasang senyumnya. Dia tak menjawab pertanyaan itu melainkan mengalihkan pembicaraan, "Sini duduk! Bantu Bibi!"

Walau bingung Aurora tetap menurut. Ia duduk di hadapan Bibinya dan Lolita yang sedang merangkai bunga.

"Demammu sudah turun?" tanya Aurora menolehkan pandangannya pada Lolita.

"Ya. Lumayan." Lolita mengangguk seraya tersenyum.

Aurora balas tersenyum. Dia kemudian menatap Margareth heran. "Untuk apa karangan bunga ini, Bi?"

"Kau tidak ingat hari ini?" Margareth mengernyitkan keningnya.

"Hari apa?" Aurora mengedikkan bahu.

"Hari ini adalah hari peringatan kematian ibumu. Apa kau lupa?"

"Astaga! Aku benar-benar lupa!"

Aurora menepuk dahinya. Ia benar-benar tak ingat sama sekali. Akhir-akhir ini ia merasa stresnya makin parah. Tak mendapatkan pekerjaan dalam waktu yang relatif lama membuat ia merasa menjadi seseorang yang tidak berguna. Pikirannya terus dipenuhi pikiran negatif yang tak seharusnya.

"Kau keterlaluan, Rora. Itu ibumu! Bukankah kau sangat menyayanginya?" Lolita berkomentar.

Aurora mengembuskan napas panjang. "Ya, aku sangat menyayanginya. Tapi karena itu juga aku merasa jadi manusia tak berguna. Aku sangat tak produktif karena menganggur sejak lulus kuliah," sahut Aurora.

"Tidak ada satu pun makhluk di dunia ini yang tidak berguna, Aurora. Semua memiliki peran hidupnya masing-masing," ujar Margareth sontak menasihati keponakannya.

"Bibi ...." Pandangan Aurora sontak berubah berkaca-kaca. Seketika ia merasa sangat beruntung memiliki Margareth di hidupnya.

"Kau ini pagi-pagi sudah melantur saja! Lebih baik cuci muka dan sadarkan dirimu kalau hari ini kau masih memiliki kesempatan memperoleh keberuntungan." Margareth menasihati Aurora lagi.

Aurora yang patuh itu pun mengangguk. Ia segera beranjak dari ruang makan menuju kamar mandi. Di pertengahan langkahnya, dia mendadak berhenti. Sebuah amplop yang berada di meja ruang tengah menarik perhatian. Di atasnya terlihat sebuah surat dengan kop yang sama sekali tak asing baginya. Gabs fish and chips.

Aurora pun mendudukkan tubuhnya di atas sofa ruang tengah. Tangannya tergoda meraih lembaran kertas yang ternyata berjumlah dua lembar. Sebuah surat pemecatan Margareth dan sebuah surat yang menyatakan kalau Margareth harus membayar ganti rugi atas kerusakan pintu restoran dan biaya rumah sakit Tuan Gabriel. Jumlahnya tak main-main. Tuan Gabriel meminta kerugian sebanyak enam bulan gaji Margareth.

Kedua bola mata Aurora perlahan melebar membacanya. Ia baru tahu akan dua hal itu. Pantas saja Margareth kemarin pulang cepat dan hari ini tidak pergi bekerja. Semuanya dikarenakan oleh dirinya yang membuat masalah.

Napas Aurora serasa tertahan. Ia tak menyangka Margareth akan menyembunyikan hal sepenting itu darinya. Perlahan air mata Aurora pun meluruh.

"Aurora." Suara Margareth terdengar. Namun Aurora langsung menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Tampaknya Margareth segera menyusul Aurora ke ruang tengah begitu ia teringat meninggalkan suratnya di sana. Wanita itu pun segera duduk di samping keponakannya.

"Kenapa Bibi tak bilang kepadaku mengenai hal ini?" tanya Aurora di sela tangisnya.

"Maaf, Sayang. Bibi hanya tak mau membuatmu merasa bersalah," sahut Margareth yang ikut merasa sedih.

"Tapi ini memang salahku. Sekarang bagaimana kita hidup? Walau Tuan Gabriel sangat keterlaluan meminta ganti rugi sebanyak itu, aku tahu sebenarnya tabungan Bibi jumlahnya tak seberapa untuk bisa menggantikan pintu restoran dan kepala Tuan Gabriel yang bocor."

Mendengar Aurora, Margareth segera merangkul erat keponakannya. "Kau terlalu memandang remeh Bibimu. Bibi masih ada uang di bank yang lain yang kau tidak tahu," sahut Margareth berbohong. Ia mencoba menenangkan keponakannya.

"Benar, Bi?" Seketika tangis Aurora mereda mendengarnya.

Margareth mengangguk cepat seraya tersenyum. "Sekarang kau cepatlah mandi. Kita segera pergi ke makam ibumu."