Matahari terik siang itu. Aurora, Margareth, dan Lolita tiba di depan pintu taman makam Beckenham. Sambil membawa beberapa karangan bunga, ketiganya berjalan menyusuri jalan setapak menuju makam Beatrice—ibu kandung Aurora.
Aurora mematung menatap nisan berbentuk salib yang berdiri di hadapannya. Beatrice Anne Weasley, begitu tertulis di sana. Tanggal kelahiran dan kematian Beatrice pun tak luput dari pandangan matanya. Ya. Kematian itu merenggut nyawanya lima belas tahun yang lalu. Aurora ingat betul, tepat di tanggal yang sama, ia mendapati kematian Beatrice sepulangnya dari sekolah.
Aurora meletakkan karangan bunga yang ia bawa di dekat baru nisan. Kepalanya menunduk sebentar, mendoakan sang ibu. Tak lama, ia mengangkat kepalanya dan berkata dengan suara lirih.
"Mom, maaf karena aku melupakan hari kematianmu yang jatuh di hari ini. Saat ini, bukan hanya Bibi Margareth, Lolita ikut menemaniku, Mom. Kasihan dia. Sepertinya, tak lama lagi Daddy Gabriel akan memecatnya sebagai anak adops–"
Tuk!
"Aww!" pekik Aurora seraya mengusap kepalanya yang tiba-tiba terasa sakit. Ia langsung menoleh ke belakang. Lolita sedang mengepalkan sebelah tangan dengan ekspresi yang menyeringai kesal, "mengapa kau menjitakku, Loly?!"
"Sembarangan saja kau, Aurora! Daddy-ku tak akan memecatku sebagai anak. Dasar Berengsek!"
Aurora hanya menyengir. "Aku tak sembarangan, Loly! Buktinya, Tuan Gabriel tak mencarimu meski anak adopsinya hilang semalaman," sahut Aurora.
"Itu karena dia tahu aku bersamamu, bodoh!" jawab Lolita geram.
Melihat kedua gadis itu bertengkar, Margareth pun segera melerai, "Sudah! Sudah! Astaga! Apa yang kalian ributkan, sih?!"
Aurora dan Lolita pun terdiam. Jika Margareth sudah turun tangan, mereka tak berani saling membalas. Margareth membuang napas pelan, mengarahkan pandangannya kepada Aurora.
"Apa kau sudah selesai berdoa, Aurora?" tanya Margareth.
"Belum." Aurora menggeleng cepat-cepat. Ia berbalik kembali menundukkan kepalanya menghadap nisan Beatrice. Tak lupa ia menautkan kedua telapak tangannya. Sebenarnya ia tak benar-benar berdoa. Aurora hanya ingin meluapkan isi hatinya. Dan kali ini cukup di dalam hati saja.
Mom, Tuan Gab memecat Bibi Margareth dari pekerjaannya. Semua itu karena ulahku. Dan kini kami tak memiliki penghasilan sama sekali. Tapi untungnya kemarin aku baru menghadiri sebuah interview pekerjaan. Walau ragu mendapatkan pekerjaan itu karena pria bernama Ben, aku harap setelah ini aku bisa menjadi seseorang yang membanggakan Bibi. Maaf, karena ceritaku membosankan, Mom. Sungguh tak ada yang menarik di hidupku setelah Mom tak ada di dunia ini. Namun aku harap Mom berbahagia di alam sana. Amiin.
Sambil meneteskan air mata, Aurora melangkah mundur menandakan dirinya yang telah selesai berbicara kepada ibunya. Margareth melangkah maju menggantikannya.
Tanpa kata, Lolita yang berdiri di samping Aurora langsung memeluk sahabatnya. Ia tahu betul bagaimana Aurora akan menjadi seseorang yang cukup sensitif setelah mengunjungi makam ibunya.
Pelukan itu hanya terjadi beberapa saat. Aurora mendadak menarik diri dari Lolita ketika tiba-tiba ia merasakan kakinya tersentuh oleh suatu benda asing hidup, tapi permukaannya terasa lembut. Pandangan matanya sontak tertuju ke bawah. Seekor kucing ras bulu pendek britania berwarna biru dengan sengaja bersandar dan menempel di kakinya.
"Aaa!" pekik Aurora terkejut. Ia sontak melompat menghindar dari hewan yang tidak ia sukai itu.
"Ada apa, Aurora?" Margareth sontak menoleh terkejut.
"Kucing, Bi," jawab Aurora dengan pandangan meringis.
Lolita memandang Aurora dengan pandangan tak heran. Bekebalikan dengannya, ia tahu betul Aurora yang tak suka segala jenis kucing. Dia pun menggelengkan kepala. Buru-buru mengangkat hewan menggemaskan itu dan dengan sengaja mendekatkannya pada wajah Aurora.
"Kucing ini sangat lucu, Aurora," katanya terkekeh, meledek Aurora.
"Jauhkan dia, berengsek!" kesal Aurora yang langsung menepis kucing berbulu biru itu. Kucing itu pun segera melompat dan berlari kencang entah ke mana. Lolita si pecinta kucing memandang kepergian hewan itu dengan rasa kecewa. Dia balas menatap geram Aurora.
"Haish! Aurora, kau membuat kucing itu pergi!" protes Lolita.
"Biar saja! Itu gara-gara kau! Heran. Mengapa ada kucing seperti itu di taman makam? Bukankah kucing itu sangat mahal harganya?" Aurora melipat kedua tangannya kesal.
"Mungkin saja seseorang membawanya, Aurora," sahut Margareth ikut berkomentar. Ia menghentikan ritual berdoanya sejenak.
Aurora mengembuskan napas kasar. "Kurang kerjaan sekali membawa kucing ke makam!"
Mendengar komentar Aurora, Margareth hanya tersenyum sambil menggeleng, kembali membalik badan berdoa untuk kakak kandungnya.
***
Sementara itu, seorang pria dengan penampilan necis berdiri di samping mobil jeep berwarna kuning. Pandangannya tampak putus asa mengedar ke sekeliling seolah sedang mencari sesuatu di depan taman makam Beckenham.
"Ck! Ke mana perginya dia?!" gerutunya seraya melepas kacamata hitam yang ia kenakan, lalu memutuskan untuk kembali masuk ke taman makam.
"Ben!" Seorang pria tua penjaga makam memanggil pria itu.
Ben menoleh, menghentikan langkahnya. Billy Walles Edison-sang penjaga makam menghampirinya.
"Ada apa, Tuan Edison?" tanya Ben bingung.
"Kucingmu sudah ketemu?"
Ben menggeleng. "Belum. Aku sudah mencarinya ke mana-mana hingga sekeliling makam tapi Olie tak juga terlihat."
"Ah, sayang sekali. Bagaimana kalau aku membantumu?" Edison menawarkan bantuan.
"Baiklah. Maaf merepotkan."
Ben menjawab pasrah. Pasalnya sudah satu jam Olie menghilang. Padahal kucing ras bulu pendek britania itu sangat penurut dan tak pernah pergi jauh dari darinya, kecuali ketika pria itu harus pergi bekerja. Tuan Edison yang menawarkan bantuan sejak satu jam lalu itu ditolak halus oleh Ben karena merasa tak enak merepotkan pria tua renta yang untuk berjalan saja harus menggunakan sebuah tongkat.
Keduanya pun beringsut memasuki taman makam. Ben dan Tuan Edison sama-sama menyerukan nama Olie, tapi kucing itu tak kunjung menghampirinya.
"Ini aneh sekali," gumam Ben bingung ketika setengah taman makam itu sudah mereka jelajahi.
Seraya mengenakan kacamata hitamnya, pandangan Ben kembali mengedar. Taman makam itu terlihat sepi. Dari kejauhan terlihat tiga orang wanita yang sedang berdiri di depan salah satu batu nisan. Satu wanita paruh baya sedang menunduk berdoa. Dua yang lainnya tampak sedang bertengkar. Namun yang paling parah satu di antara dua orang itu tak dapat mengontrol emosi. Ia berteriak-teriak seolah makam adalah tempat yang pantas menjadi tempat gurauan. Ben hanya menggeleng tak habis pikir melihat pemandangan itu. Mengikuti langkah Tuan Edison, Ben akhirnya menghentikan langkahnya di depan mereka.
"Permisi, Nona."
"Ya-ya, Tu-Tuan?"
Gadis berpakaian hitam sontak menyahut tergagap saat melihat dua pria berdiri di depannya. Bukan pria tua yang membuat ia bersikap seperti itu, melainkan seorang Ben Reagan Amancio yang berdiri di hadapannya. Walau mata indahnya tertutup oleh kacamata hitam, seperti seorang cenayang, Lolita paling tahu kalau pria itu sangat tampan.
Dengan rikuhnya, Lolita lantas menoleh ke belakang, memanggil seorang gadis yang berdiri agak jauh darinya. "Aurora, sini!"
"Apa kalian melihat kucing ras bulu pendek britania berwarna biru?" tanya Tuan Edison.
Lolita yang rikuh kembali mengalihkan pandangannya kepada pria tua renta dan pria gagah yang berdiri di depannya. "Kucing?"
"Ya, tadi kami melihatnya!" Aurora menyela, lalu menoleh kepada bibinya yang baru saja selesai berdoa, "ya 'kan, Bi?"
"Iya. Ada apa kalian mencarinya?" Margareth balas bertanya.
Ben yang mendengar pertanyaan Margareth tiba-tiba melepas kacamata hitamnya. "Kucingku menghilang, dan itu adalah kucingku," jawab Ben dengan lagak dinginnya. Sosoknya yang tampan kini dengan jelas terlihat dalam pandangan mata tiga wanita itu. Khususnya Aurora, ia terkesiap bertemu dengan Ben lagi. Bukan di Diamond Smith Company, tapi di taman makam. Apa ini sebuah pertanda buruk?
Tuan Amancio? batin Aurora tak percaya.