"Kakek… kakek… (melihat kakek yang melepaskan tanganku dan menjauh) kakek… jangan… jangan lepaskan tanganku" ucapku sambil berlari mengejar kakekku yang menjauh. Aku memimpikannya meninggalkanku.
"Angelina… Angelina…" panggil Duke.
Aku bisa dengan samar mendengarkan orang memanggil nama 'Angelina', tidak…. tidak… aku tidak ingin menjadi Angelina, namaku adalah Angela, selalu Angela. Aku mengeluarkan air mata dengan mata terpenjam. Rasa sakit di punggung tidaklah sesakit rasa hati ini, aku tidak ingin bangun, biarkan saja aku meninggalkan semua yang ada dan mengejar kakekku. Aku tidak memiliki keinginan untuk melanjutkan semuanya.
"Dokter, bagaimana keadaannya sekarang? Kapan dia bisa bangun?" tanya Duke kepada dokter dengan paniknya.
"Duke (wajah cemas), luka dipunggung Lady Westernburgh sudah diperban dan pelan-pelan akan membaik. Akan tetapi, luka psikis yang dialaminya tidak akan semudah itu untuk sembuh. Gejalanya sangat jelas, mimpi buruk, demam, kesedihan mendalam hingga tertidur pun menangis. Rasa shock dan trauma ini hanya bisa dilewati oleh kekuatan Lady Westernburgh sendiri. Jika dia memiliki keinginan kuat untuk hidup, dia pasti bisa melewati ini semua tapi jika dia… jika dia menyerah maka…" ucap dokter menjelaskan.
Seketika Duke Westernburgh terjatuh pingsan akibat pukulan berat yang dihadapinya. Baru saja menemukan cucu perempuan satu-satunya yang ditinggalkan oleh anak serta menantu kesayangannya, sudah terjadi tindak percobaan pembunuhan terhadap cucunya itu.
---------------- 7 hari kemudian -----------------
"Angela… hidup… hiduplah… Angela…" terdengar suara panggilan yang membangunkanku. Aku mengingat suara ini. Ya… ini suara kakekku.
"Kakek… kakek… kakekkkkk…." aku memanggil kakekku dengan sekencang mungkin hingga terbangun dan membuka mataku untuk pertama kalinya setelah sekian lama tertidur.
"pennnnggg… (suara baskom terjatuh) oh my lady… Lady Westernburgh (lari keluar kamar)… Lady Westernburgh sudah bangun… segera sampaikan kabar gembira ini ke Duke dan panggil dokter" ucap pelayan yang kaget dan senang akhirnya aku terbangun.
"My lady… bagaimana perasaan Anda?" tanya pelayan itu yang segera kembali ke kamarku.
"Emm… sakit… (punggungku mulai merasakan sakit yang perih) apa… apa yang telah terjadi?" tanyaku yang masih mencoba memulihkan ingatanku.
"Kenapa punggungku sakit? Luka dari mana? Tunggu… kakek… kakek… TIDAK… KAKEK…" gumamku melanjutkan pertanyaanku tadi, akan tetapi pelan-pelan ingatanku mulai pulih aku mengingat kejadian itu lagi, 'KAKEKKKK' teriakku kencang dan akhirnya aku kesulitan bernafas, air mata mulai muncul menetes ke bawah. Aku merasa aku kehilangan kesadaranku semuanya dan mengalami mental shock.
"My lady… tidak my lady… (dokter datang sambil berlari ke ke kamarku kala itu) dokter, dokter my lady dia kesulitan bernafas" ucap pelayan yang terkejut melihat keadaanku yang mengalami mental shock dan mulai sulit bernafas.
"My lady… my lady lihat wajah saja. Pelan-pelan, pelan-pelan my lady, mulai tarik nafas iya tarik nafas yang dalam 1, 2, 3 keluarkan pelan-pelan. Ulangi lagi, ayo pelan-pelan tarik nafas…" dokter segera menjalani pertolongan pertama kepadaku sambil memegangi wajahku langsung, mengecek kedua bola mataku dan mencoba membuat kesadaranku kembali.
"Keluarkan… keluarkan emosi Anda, tidak apa-apa… jangan dipendam… menangislah" ucap dokter itu.
"Hahhhhh… hahhhh… hahh… (bernafas dengan berat) hehh… hikkkss…. hikss… hwaaa hwaaa wuaaaa wuaaaa" teriakku menangis dengan kencangnya.
Duke Werternburgh yang mendengar kabarku sudah terbangun setelah tujuh hari tertidur koma, segera mengunjungi kamarku. Akan tetapi sesampainya didepan pintu kamar, dia berhenti. Hatinya begitu pedih melihat aku yang sedang menangis kencang. Dia memutuskan untuk tidak masuk ke kamar mengunjungiku.
"Savire, pastikan Dokter Yovisch memberikan perawatan terbaiknya" perintah Duke dengan wajah tanpa ekspresi lagi.
"My Lord, Anda tidak ingin masukkah melihat Lady Angelina?" tanya Savire cemas.
"Tidak perlu. Ada kerjaan lain yang lebih penting dari ini. Panggil semua pengikut Westernburgh dan segera siapkan kereta untuk berangkat ke Imperial Palace Arcadian" perintah Duke.
Semenjak saat itu, aku melewati hari dengan kekosongan. Ya, hanya wajah datar tanpa ekspresi, baik sedih dan menangis pun aku sudah berhenti melakukannya. Tidak hanya itu, aku juga mulai berhenti berbicara dan tidak memperdulikan keadaan disekelilingku. Dokter Yovisch mencoba mengajakku ngobrol, melakukan terapi dan berbagai macam hal, akan tetapi selalu tidak kuhiraukan. Bagiku, kehidupanku sudah tiada artinya lagi akan tetapi kakek menyuruhku untuk hidup, ya hidup, kata terakhirnya untukku.
Kejadian ini berlangsung hingga satu bulan lamanya… Duke Westernburgh akhirnya kembali ke castlenya melihat keadaan Angelina.
"Bagaimana keadaannya?" tanya Duke dengan ekspresi dingin sambil menatap Angelina yang berada ditaman duduk terdiam bersama pelayannya dari jendela ruang kerja.
"Maafkan saya My Lord, Lady Westernburgh masih dalam keadaan mental shock dalam belum membaik" ucap dokter Yovisch.
"Saya pulang bukan untuk mendengar keadaannya yang masih belum membaik. Apa yang harus dilakukan agar dia membaik?" tanya Duke dengan tegas, akan tetapi terlihat jelas kedua matanya yang mulai berkaca-kaca. Duke telah menahannya begitu lama bahkan menyiksa dirinya dengan tidak bertemu cucunya itu sebelum menyelesaikan permasalahannya dengan para pembunuh itu.
"My Lord, mengobati luka psikis atau pun batin bisa dilakukan dengan self-healing (penyembuhan diri sendiri). Setelah sebulan lebih memantau kondisi Lady Westernburgh dan mempelajari latar belakang lukanya, menurut saya dia menyalahkan dirinya sendiri atas kematian Sir Frederick. Dia harus bisa mencoba berhenti menyalahkan dan memaafkan dirinya sendiri" ucap dokter menjelaskan.
"Savire… dimana gadis kecil yang membunuh salah satu assassin waktu itu?" tanya Duke setelah beberapa menit menenangkan diri.
"Gadis itu bersama dengan para ksatria lainnya di lapangan training sesuai dengan permintaanya. Kita akan melatihnya menjadi ksatria khusus untuk melindungi Lady Angelina" jawab Savire.
"Dokter, kematian Knight Frederick bukan sepenuhnya salah Angelina, gadis itu… gadis itu mengatakan jika Angelina tidak menolongnya maka dia tidak mungkin disegap oleh para assassin. Dia juga menyalahkan dirinya sendiri atas kejadian itu. Jika saya membawanya bertemu dengan gadis itu, apa Angelina bisa berhenti menyalahkan dirinya melainkan menyalahkan gadis itu?" tanya Duke.
"Bukannya tidak mungkin, tapi beresiko karena kita tidak tahu bagaimana reaksi Lady Westernburgh. Tapi (ragu)… hmm baiklah, tidak ada salahnya untuk mencoba. Kemungkinan sekecil apa pun bisa menjadi kesempatan penyembuhan untuknya. Saya akan menyiapkan obat penenang dan kebutuhan lainnya untuk berjaga-jaga" ucap dokter Yovisch yang merupakan dokter setia yang mengabdi pada keluarga Werternburgh turun-temurun.
"Baik. Savire persiapkan gadis itu dan pertemukan mereka besok" perintah Duke.
"Siap, my Lord. Ada kabar baik dari Commander Zhaskegh my Lord, pasukan kita telah berhasil mengalahkan kingdom Eutia" ucap Savire.
"Good, lanjutkan rencananya" jawab Duke.
Setelah dokter dan butler meninggalkan ruang kerja Duke Westernburgh, dia melanjutkan memandangi Angelina dari kaca ruang kerjanya. Sambil meletakkan tangannya di jendela, dia mengucapkan kalimat ini dengan hati yang menangis, "kamu adalah duniaku, tolong… tolonglah, jangan juga kamu meninggalkan kakek sendirian di dunia ini."
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Aku yang masih terpuruk dalam kehampaan hidup tidak mengetahui apa yang terjadi disekelilingku dengan jelas selama sebulan lebih. Mataku yang terbuka tidak bisa melihat indahnya kehidupan disekelilingku. Telingaku yang mendengar tidak memperdulikan apa yang mereka coba katakan kepadaku. Aku masih mengingat perasaanku saat itu, yang kurasakan hanyalah hampa, kosong, dan ketiadaan.
Saat tidur pun aku hanya menutup mata tanpa benar-benar tidur, rutinitas ku selama tidur adalah mimpi buruk. Aku pun sudah terbiasa dengan mimpi itu, rasa sakit yang awalnya aku rasakan sudah tidak ada, hanya ada rasa hampa dan kekosongan. Hal yang sama juga akan terjadi malam ini pikirku. Akan tetapi ada yang berbeda, ketika tengah malam aku mendengar suara pintu kamarku terbuka, mungkin saja itu pelayan. Tapi sebelumnya tidak pernah ada pelayan yang datang tengah malam begini. Mungkin saja itu assassin lagi, ha… lebih bagus lagi, aku berserah dan berpasrah pada nasibku malam ini sembari memenjamkan mataku.
Ada perasaan hangat yang menyentuh tanganku yang dingin. 'Siapa itu' tanyaku dalam hati.
"Maaf… maafkan… (sambil meneteskan air mata), maafkan grandpa, Angelina. Ini adalah kesalahan grandpa. Jika saja grandpa menghabiskan kingdom Eutia waktu itu, maka mereka tidak mungkin akan berani mengirimkan assassin untuk mencoba membunuhmu. Maafkan grandpa…" ucap grandpa sambil menangis.
Hatiku yang dingin, pikiran yang dingin bahkan seluruh tubuhku yang dingin bisa merasakan hangatnya dari tetes air mata grandpa. Ingatanku yang hampa mulai muncul sesuatu, ah itu yang hilang. Aku tidak pernah bertemu dengannya setelah bangun, bagiku aku sudah tidak punya siapa-siapa saat itu. Aku melupakannya, masih ada grandpa di dunia ini.
Pikiranku mulai sadar, ingatanku tidak sehampa dulu lagi, tubuhku mulai measa hangat dan aku ingin membuka mataku melihat grandpa. Tapi ketika mataku terbuka, grandpa tidak ada disampingku. Apakah tadi hanya halusinasiku saja kah? Tidak, tidak mungkin. Ah tanganku masih basah karena air mata grandpa. Aku segera turun dari tempat tidurku dan mencari grandpa.
Aku berjalan menelurusi castle ini, ke tempat tidurnya, ke ruang kerjanya, ke jendela untuk mengecek taman, tapi tidak ada… aku tidak menemukannya. Ah ruang itu menyala, apakah dia di sana? Aku segera berjalan ke arah pintu ruangan itu dan mendengar suara di dalamnya.
"Eve, papa telah berhasil menghabisi kingdom eutia, membalaskan kematin kalian. Akan tetapi masih telat selangkah, papa gagal melindungi putrimu, Angelina (meneteskan air mata). Eve, dia adalah seluruh dunia papa sekarang. Jika kamu bisa melindunginya dari sana bantulah dia untuk sembuh. Papa tidak bisa jika tidak ada dia… dia adalah satu-satunya alasan papa hidup sampai sekarang. Jika bukan karena tahu Angelina masih hidup di luar sana, papa sudah pasti menyusulmu" ucap grandpa mengutarakan isi hatinya. Ruangan itu ternyata adalah kamar mamaku, tempat grandpa menunjukkan foto kedua orang tuaku waktu itu.
Kesedihan grandpa begitu mendalam, telingaku mulai bisa mendengar suara pedih dari dalam hatinya. Suara ini membuat air mataku juga ikut menetes. Aku… aku masih ada alasan hidup, bukan hidup untuk diriku sendiri saja tapi untuk grandpa. Sama sepertinya, hidup untukku, karena aku dia memiliki keinginan hidup lagi.
Aku kembali ke kamarku, dan mencoba untuk tidur. Kali ini aku bisa tidur dengan nyenyak tanpa mimpi buruk. Aku bahkan bangun lebih siang dari pada biasanya. Tak kusangka aku yang sedang menikmati tidur malah membuat para pelayan khawatir.
"Dokter bagaimana ini? Biasanya lady Angelina sudah bangun jam segini, tetapi sudah lebih dari dua jam dia tidak bangun? Apakah dia baik-baik saja?" tanya pelayan dengan gelisah. Dia tidak berani membangunkanku, awalnya dia kira aku baik-baik saja dak tidak menggangguku, tetapi semakin ditunggu semakin gelisah sehingga memanggil dokter Yovisch memeriksaku.
Dokter Yovisch segera memeriksaku dan mencoba mengetes pupil mataku. Ah… sangat terang dan mengganggu sekali. Aku terbangun dari tidur nyenyak tanpa mimpi buruk untuk pertama kalinya setelah terbangun saat itu. Aku menatap ke kiri, ke depan dan ke kanan, melihat wajah mereka dan mencoba mencari apakah grandpa juga ada di sini. Melihatnya tidak ada diruangan ini, seketika rasa kecewa muncul dan membuatku memanggilnya.
"grandpa…" panggilku dengan nada yang kecewa dan kecil untuk pertama kalinya setelah hampir dua bulan tidak berbicara.
"Ohh… my lady (terkejut), bolehkah anda mengulangi apa yang anda katakan tadi?" tanya dokter Yovisch yang terkejut.
Aku hanya menatapnya dengan penuh tanda tanya, aku bingung kenapa harus mengulang perkataanku tadi. Aku ingin segera bangun dan mempersiapkan diri untuk mencari grandpa. Aku ingin sekali melihatnya.
"(menatap pelayan yang ada disamping dan mengulurkan tanganku) bersiap dan dandani aku" ucapku dengan nada pelan dan datar.
"Oh my… baiklah my lady" ucap pelayanku yang kaget tapi juga senang.
Dokter Yovisch segera meninggalkan kamarku dan menemui Duke untuk memberitahunya kabar baik ini. Aku baru saja akan selesai memakai gaunku, tiba-tiba seorang pelayan berlari ke kamarku dan memberitahu bahwa kesehatan grandpa memburuk. Kabar itu membuatku terdiam sejenak, pikiran kacau menghampiriku, aku… aku ingin mencoba melarikan diri kedalam kehampaan dan ingin menyalahkan diri sendiri lagi. Seandainya semalam aku langsung menemuinya dan tidak ke kamar, maka bisa jadi dia… dia tidak akan sakit.
'slap! (suara tambaran kencang menyadarkanku)' aku melihat mengecek apa yang terjadi. Ternyata Savire datang dan menampar pelayan yang menginfokanku bahwa grandpa sakit parah.
"My lady, anda tidak perlu khawatir. Duke hanyalah…" ucap Savire dengan wajah tersenyum setelah menghilangkan wajah kejamnya ketika menampar pelayan tadi. Di kala itu aku tidak memperhatikan detail ini. Savire bisa sekejam itu dalam menghukum pelayan. Kala itu memang benar pelayan itu terlalu panik dan menyebabkan mental shock mulai menyerangku jadi wajar saja Savire menghukumnya walaupun terlalu berat sampai sekencang itu tamparannya.
"Tidak… (memotong ucapan Savire) jangan… jangan sampai…" ucapku panik dan segera berlari menuju kamar grandpa. Saking paniknya aku tidak memakai shoesku sama sekali. Setelah ku pikir-pikir di saat itu aku sangatlah naif, pikiran negative menghantuiku, dan aku sangat takut kehilangan grandpa, jadi tanpa berpikir panjang aku langsung lari menemuinya pada hal bukanlah sakit parah.
"grandpa… (segera memegang tangannya dan mata pun mulai berkaca-kaca) jangan sakit hikss… hikss… hikss…" ucapku sambil menangis.
"(tersenyum dengan mata biru indahnya yang berkaca-kaca) jangan khawatir, grandpa hanya kelelahan" ucapnya.
"please… jangan tinggalkan aku dan maafkan aku. Grandpa… grandpa juga adalah seluruh duniaku, tanpa grandpa aku juga tidak bisa hidup. Sama seperti grandpa, alasan aku hidup juga adalah grandpa, jadi grandpa jangan sakit, hiduplah bersamaku juga" ucapku setelah menenangkan diri dengan air mata berlinang di wajah mungilku waktu itu.
"Oh Angelina (senyum bahagia dan memeluknya) iya baik, grandpa janji akan segera sembuh" ucap grandpa.
"Maaf mengganggu tapi, my lady anda melupakan shoes Anda. Bolehkah saya membantu anda memakainya?" tanya Savire datang menghampiri kami.
"Ah yes please, thank you Savire" jawabku sambil tersipu malu, bisa-bisanya melupakan shoes sendiri hingga paniknya.
Savire membantuku memakai shoesku sembari aku memberikan perintah kepada pelayan menyiapkan sarapan untuk grandpa. Aku akan makan bersama dengannya dan merawatnya. Aku mulai menyuapi grandpa sarapannya, membantunya minum obat dan memegang erat tangan besarnya itu yang penuh kehangatan. Terakhir, aku membantunya untuk bersiap istirahat.
"Grandpa, cepatlah tidur dan sembuh" ucapku tersenyum manis.
"Iya baik" jawab grandpa.
Aku meninggalkan kamar grandpa dan berjalan ke kamarku. Well, aku masih belum menyelesaikan etika berpakaian, rambutku masih berantakan. Setelah aku meninggalkan ruangan, dokter Yovisch masih di sana dan berbincang sebentar dengan kakekku.
"Dokter, saya tidak tahu bahwa sakit itu bisa membawakan kebahagiaan" ucap Duke Wenternburgh yang sedang berbahagia cucunya sudah sembuh.
"My Lord, ini adalah keajaiban. Saya rasa kasih sayang anda kepada Lady Westernburgh telah menggerakkan hatinya. Dia akan semakin membaik oleh karena itu Anda juga harus segera sehat kembali" ucap dokter.
"Iya baik" jawab Duke.
Ketika aku sudah selesai semua, Savire mengetuk pintu kamarku.
"Masuk. Hmm… ada apa Savire?" tanyaku.
"My Lady, ada seseorang yang ingin dipertemukan dengan Anda" ucap Savire.
"Siapa?" tanyaku singkat.
"Akan lebih baik jika Anda bertemu dengannya langsung dan membuat keputusan" jelas Savire.
"Baiklah jika begitu, di taman, aku ingin melihat taman" ucapku.
"Pilihan tempat yang bagus my lady, saya akan mengantarkan Anda" ucap Savire senang.
Sesampainya di taman, aku benar-benar menggunakan mataku untuk melihat keindahan yang ada. Kali ini bukan kehampaan, bahkan wangi harum bunga mawar dapat terciumkan dari pintu masuk taman.
"My lady, ingat pertama kali Anda ke sini dan berharap ada bunga mawar berwarna-warni di sini?" tanya Savire.
"Iya, aku ingat (terharu) Savire terima kasih (menatapnya dan tersenyum) terima kasih dan maafkan aku yang sudah membuat kalian khawatir" ucapku terharu. Bagaimana tidak? Satu taman dipenuhi mawar bahkan pavilion dan rumah kaca semuanya mawar baik merah, pink, putih, kuning, biru, peach dan lain-lain. Indah sekali, taman terindah yang pernah ku lihat.
"My lady, orang yang akan bertemu dengan anda adalah gadis ini" ucap Savire seketika gadis kecil datang mendekati kami di taman.
"My Lady (berlutut layaknya ksatria)" ucap gadis itu.
"Ah, aku mengingatmu. Gadis malang digang yang kutolong" jawabku dengan wajah datar. Aku tidak tahu harus berekspresi apa, jika dibilang senang juga tidak, dibilang kasihan lagi juga tidak. Aku juga tidak mungkin menyalahkannya ketika aku tahu sendiri bahwa akulah yang menyebabkan kejadian pahit itu terjadi.
"My lady, saya bersumpah setia dan akan melindungi Anda seumur hidupku. Terimalah saya menjadi pedang Anda (maksudnya pedang di sini adalah ksatria)" mohon gadis itu.
"Tidak perlu, aku tidak bisa menerima kematian lebih banyak lagi. Jika kamu tidak bisa melindungi dirimu maka jangan harap kamu bisa melindungi orang lain" ucapku tegas sambil membalikkan badan dan bersiap pergi.
"Saya telah membunuh assassin yang mencoba membunuh Anda, dan saya sudah menghabisi mereka yang membully saya di gang waktu itu" ucap gadis itu dengan tekad kuatnya.
"(membalik badan lagi dan berjalan ke gadis kecil itu yang sedang berlutut memohon) Siapa namamu?" tanyaku.
Dia tidak menjawab pertanyaanku dan hanya memberikan tatapan sedih. Sepertinya dia sendiri juga tidak ingin mengingat masa lalunya dan bahkan tidak ingin menggunakan namanya. Baiklah jika begitu, dia juga anak yang malang, akan kuberikan nama untuknya pikirku saat itu.
"Lavender… memiliki arti kesetiaan. Tidak hanya setia kepadaku tapi kepada dirimu sendiri. Oleh karena itu, kau harus jadi kuat dan jangan pernah mati sebelum ku izinkan" ucapku.
"Yes, my lady. Saya Lavender bersumpah setia kepada Lady Angelina Westernburgh. Hidup saya adalah untuknya, dan hanya akan mati jika diizinkan olehnya" ucap sumpah dari Lavender.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sumpah setia itu mengakhiri ceritaku di masa lalu. Kini setahun sudah berlalu, Lavender menemaniku ke pemakaman kakekku. Aku hanya berdiri menatap batu nisannya dan meneteskan air mata rindu akan dirinya.
"Lavender… aku masih mengingatnya, kata terakhir yang kakek ucapkan padaku. Dia menyuruhku untuk hidup" ucapku dengan linangan air mata yang berjatuhan wajahku yang sudah tidak mungil lagi.
"Iya, kata itulah yang membuatku berani mengambil pedang dan menusukkannya ke assassin itu. Tapi my lady, kata terakhir yang benar-benar diucapkan Sir Frederick adalah bahagia" jawab Lavender.
Aku terkejut mendengar jawaban Lavender. Dia mengingatkanku kata terakhir yang kulupakan selama setahun lebih ini. Kakek tidak hanya menyuruhku untuk hidup, tapi untuk bahagia. Entah keajaiban apa yang datang, perasaan sedih ini sekilas menghilang dan tanpa ku sadari aku tersenyum dengan sendirinya.
"Ya kakek… aku akan hidup bahagia" ucapku dengan tersenyum bahagia.