Happy reading,
Dua hari kemudian..
Louise membuka matanya perlahan, dia mengalihkan pandangannya ke sekeliling ruangan, semuanya tampak berwarna putih. Tercium bau desinfektan bercampur obat - obatan yang sangat menyengat memasuki penciumannya. Akhirnya ia menyadari kalau dirinya masih hidup dan berada di salah satu ruangan rumah sakit.
" Eugh.. ssshh" rintihan terdengar dari bibir mungilnya.
Rasa perih menjalar dari luka yang berada lehernya. Ditambah rasa sakit dari arah punggungnya yang membuat dia tidak bisa banyak bergerak.
" Aku belum mati! " desis Louise dengan serak,
" Aku tidak mengizinkanmu mati! walau ke neraka sekalipun aku akan menyeretmu kembali! " ucap Ritz yang saat itu mengamati Louise dengan tajam dari kursi yang berada di samping tempat tidur.
" Aahh "
Louise terkejut mengetahui bahwa ia tidak sendirian dan pria itu berada di sampingnya dari tadi. Louise merasa sedikit kikuk karena tidak merasakan kehadiran seseorang pada awalnya.
" Sss.. sejak kapan kau berada di sini?" tanya Louise sedikit gugup,
" Aku yang membawamu kemari! kau haus?! "
" ... "
Louise hanya menganggukkan kepala sebagai jawaban, Louise mengerti bahwa pria ini yang menemukannya dan membawanya ke rumah sakit, jadi jelas Ritz berada di ruangan ini sejak saat itu.
Ritz bangkit dari kursinya menuju meja nakas yang berada disamping Louise berbaring, dia mengambil segelas air putih hangat untuk Louise. Dengan hati - hati ia membantu Louise minum air putih tersebut dengan menggunakan sedotan yang telah disediakan oleh pihak rumah sakit.
" Terima kasih " ucap Louise dengan wajah memerah karena merasa malu.
" Hm! Aku akan memanggil dokter " seru Ritz dengan cuek,
Ritz melangkah keluar ruangan meninggalkan Louise untuk memanggil dokter yang bertugas menangani Louise, beberapa menit kemudian seorang dokter dan dua orang perawat datang untuk memeriksa keadaannya.
Setelah dokter dan perawat tadi selesai memeriksa keadaan Louise, mereka mengundurkan diri dari ruangan tersebut, tidak lupa untuk menyarankan agar Louise banyak istirahat dan minum obat secara teratur. Louise juga tidak diperbolehkan bergerak terlalu banyak agar luka di lehernya tidak terbuka.
Akan ada perawat yang akan datang setiap dua jam sekali untuk memastikan apakah ia ingin ke kamar mandi. Walau tidak merasa nyaman tetapi Louise hanya bisa pasrah.
" Katakan.. jika kau tidak merasa nyaman?" ucap Ritz tiba - tiba ketika melihat Louise berkali - kali menghela nafas.
" ng.. tidak! Aku baik - baik saja " jawab Louise
" Ingin makan bubur? Aku akan membantumu" tawar Ritz dengan acuh,
" ahh! Aku.. "
" Kau harus mengisi perutmu! Kau juga harus minum obatnya " seru Ritz cepat memotong perkataan Louise,
Ritz langsung mengambil semangkok bubur nasi yang masih mengepul diatas meja nakas.
Sebelum itu Ritz menekan tombol yang berada disisi tempat tidur agar Louise bisa menemukan posisi duduk yang lebih nyaman. Louise sendiri tidak berani memprotes lebih jauh ketika melihat Ritz mulai serius meniup sesendok bubur sebelum mendekatkannya ke bibir milik Louise.
Hening.. tidak ada satu suara pun yang mengganggu moment itu. Dengan wajah datarnya, Ritz dengan sabar melayani dan menyuapi Louise. Sebaliknya Louise sangat gugup dan jantungnya berdetak kencang.
Cklek!
" Ahhh! Maaf.. sepertinya aku datang disaat yang tidak tepat! " seru seseorang yang tiba - tiba memasuki ruangan.
Ritz dan Louise menoleh ke sumber suara untuk melihat pelakunya.
" Untuk apa kau kemari? " tanya Ritz sambil mendengus tidak suka, ia meletakkan mangkok bubur yang isinya tinggal setengah ke atas meja nakas.
" He.. He.. He.. Aku hanya ingin menjenguk Nona Louise! " sahut Kenta sambil mengangkat parsel buah yang ia bawa.
Dengan salah tingkah Kenta melangkah masuk mendekati tempat Louise berbaring,
" Aku tidak mengganggu kaliankan? " tanya Kenta sambil mengedipkan sebelah matanya ke arah Louise, bermaksud menggodanya.
Perkataan Kenta barusan membuat wajah Louise berubah menjadi kemerahan karena menahan malu, Louise hanya menggelengkan kepalanya pelan lalu memalingkan wajahnya ke arah lain untuk menghindari tatapan Kenta.
Melihat tingkah Louise, Kenta tertawa geli dan hal itu membuat Ritz mengernyitkan dahinya tidak suka.
" Lihat Ritz! dia benar - benar menggemaskan!" celetuk Kenta di sela - sela tertawanya.
" Sepertinya akhir - akhir ini kau menganggur " ucap Ritz sambil menyeringai.
" Ah! Tidak! tidakk.. pekerjaanku sangat banyak! Sebaiknya aku melanjutkan pekerjaanku yang tertunda " sahut Kenta dengan panik, ia langsung menyerahkan parsel buahnya ke pelukan Ritz dan langsung melarikan diri dengan jurus langkah kaki seribu.
Louise terperangah melihat tingkah Kenta barusan, berbanding ke balik dengan Ritz. Ritz malah terlihat seperti tidak terjadi apa - apa.
" Dia baik - baik sajakan?" gumam Louise pelan,
Namun Ritz masih bisa mendengar perkataan Louise.
" Jangan khawatirkan dia! Minum obatnya! " perintah Ritz dengan tegas, lalu Ritz meletakkan parsel itu di atas meja nakas dan memberikan obat yang telah disediakan kepada Louise agar ia segera meminumnya.
Setengah jam kemudian Louise tertidur karena efek dari obat yang ia minum, Ritz langsung membenahi selimut Louise agar tidurnya merasa nyaman. Ritz bangkit berdiri lalu melangkahkan kakinya menuju sofa yang berada di pojok ruangan tersebut untuk melanjutkan pekerjaan yang tertunda.
Sejak Louise berbaring di rumah sakit, Ritz membawa semua pekerjaan dari kantor ke rumah sakit. Ketika harus rapat dengan klien pun ia melakukannya dari rumah sakit melalui aplikasi zoom meeting yang terpasang di laptop pribadinya.
***
Brakk!!
" Hah! Untung saja aku berhasil melarikan diri dari raja iblis " seru Kenta sambil mengusap dadanya yang terengah - engah.
Karena kelelahan ia menyandarkan tubuhnya ke daun pintu, tidak lupa ia segera mengunci pintu tersebut takut iblis itu mengejarnya.
" Apa yang sedang kau lakukan?? " tanya Yuki bingung.
" Ahhhhh!! Kau!?! Kau benar - benar mengagetkanku!" seru Kenta dengan kesal
" Memangnya apa yang terjadi? " tanya Yuki penasaran melihat suaminya terkejut seperti itu.
" Aku datang disaat yang tidak tepat dan raja iblis itu marah padaku " jawab Kenta sambil meraih segelas air minum yang terletak tidak jauh darinya. Langsung meminumnya hingga tandas,
" Sudah tahu dia pemarah tapi kau terus memprovokasinya! " celetuk Yuki sambil menggelengkan kepalanya.
" Sejak kapan kau ada di sini?" tanya Kenta heran,
" Jadi aku tidak boleh kemari?? " tanya Yuki sambil menyipitkan matanya,
" Ah! Tidak seperti itu sayang, maksudku jika kau ingin datang kau kabari aku dulu, jadi aku bisa mempersiapkan sesuatu yang kau sukai" Jelas Kenta agak gugup.
" Benarkah??! " tanya Yuki dengan pandangan menyelidik.
" Kapan aku pernah berbohong" sahut Kenta sambil menghampiri Yuki, Tanpa basa - basi ia langsung menarik Yuki dari kursi dan langsung melingkarkan tangan kirinya ke pinggang Yuki.
Sedangkan tangan kanannya meraih tengkuk Yuki agar memudahkannya meraup bibir cerry milik Yuki yang mengoda imannya. Dengan lembut ia menghisap dan mengeksplor bibir Yuki, membuat Yuki meleguh menikmati perlakuan suami tercintanya.
Ketika wajah Yuki berubah menjadi merah padam barulah Kenta melepaskannya, Namun Kenta langsung mengendong Yuki yang masih sibuk menghirup oksigen, dan membawa Yuki ke kamar pribadinya yang berada di kantor tersebut.