Happy reading,
Sudah empat belas hari Louise dirawat, dan luka di lehernya sudah mulai pulih, sedangkan luka di punggungnya sudah kering dan berbentuk keropeng, Namun ia masih disarankan untuk menghindari air yang terlalu banyak jadi saat ini ia hanya bisa mengelap badannya dengan washlap yang sudah dibasuh dengan air hangat.
Dan selama empat belas hari juga Ritz dengan sabar melayani semua keperluan Louise kecuali untuk urusan belakang, ia akan meminta bantuan salah satu perawat untuk membantu Louise membersihkan diri.
" Bisakah aku pulang? " tanya Louise dengan wajah penuh harap.
" Tunggu sampai benar - benar sembuh! " sahut Ritz dengan dingin,
" Tapi aku sudah mendingan.. lagian aku bosan berada di sini " ucap Louise setengah merajuk.
Semenjak Louise terbangun di rumah sakit, Ritz memperlakukannya lebih baik dari sebelumnya. Hal itu yang membuat Louise merasa nyaman dan berani mengekspresikan dirinya.
" Nanti kita tanya dokternya, sudah bisa pulang atau belum? " ucap Ritz sambil tersenyum samar karena melihat tingkah mengemaskan Louise.
" Benarkah???" tanya Louise antusias,
" Hm "
Pada akhirnya Louise di izinkan pulang ke rumah dengan catatan harus menuruti semua intruksi dari dokter. Ritz memberikan perintah kepada anak buahnya agar membereskan barang - barang milik Louise yang akan dibawa pulang ke rumah.
" Huft! Akhirnya bisa pulang juga " seru Louise ketika mobil yang ia tumpangi memasuki perkarangan rumah.
Ritz hanya tersenyum samar, tangan kanannya terulur mengusap pelan puncak kepala Louise. Perlakuan Ritz membuat wajah Louise bersemu merah, Louise tidak berani menatap langsung ke arah Ritz jadi ia memilih mengalihkan pandangannya keluar jendela. Tidak bisa dipungkiri sejak Ritz memperlakukannya dengan baik, jantungnya sering berdetak tak karuan, membuatnya menjadi salah tingkah.
" Turunlah " ucap Ritz ketika membuka pintu yang berada di samping Louise dari luar. Mendengar perkataan Ritz, Louise langsung tersadar dari lamunannya dan segera keluar dari mobil.
Ritz langsung menggengam erat tangan Louise lalu mulai melangkah menuju pintu rumah. Disana nampaklah bibi Iori, dan para pelayan yang menunggu untuk menyambut kepulangannya.
" Selamat datang kembali Tuan muda dan nona Louise " sapa para pelayan serempak sambil menundukkan kepalanya.
" ... "
" Ah! ini.. "
Sebelum Louise menyelesaikan perkataannya, Ritz lebih dulu menarik Louise masuk ke dalam rumah. Membuat Louise merasa bersalah, Ia ingin membalas sapaan para pelayan karena selama ini mereka memperlakukannya sangat baik. Namun Ritz tidak pernah mau ambil pusing tentang para pelayan di rumahnya.
" Istirahatlah sebentar sampai bibi Iori memanggilmu untuk makan malam " seru Ritz sambil terus menarik Louise menuju kamarnya dilantai atas.
" Hah!?! Tap..Tapi aku tidak begitu lelah " sahut Louise dengan gugup,
" Lukamu belum pulih sepenuhnya! " ucap Ritz dengan wajah acuhnya.
Dengan pasrah Louise mengikuti kemauan Ritz untuk beristirahat di kamarnya walau ia tidak merasa kelelahan sama sekali. Setelah membawa Louise ke kamarnya, Ritz melangkah menuju ruang kerjanya untuk mengurus sesuatu.
***
" Semuanya sudah siap tuan, tinggal menunggu perintah dari tuan muda " jawab Yota dengan hormat.
" Kirim secepatnya.. Jangan meninggalkan bukti apa pun!" seru Ritz dengan tegas sambil melambaikan tangannya agar Yota segera pergi.
" Baik Tuan "
Atas perintah Ritz, Yota segera mengirim beberapa barang yang masih utuh kembali ke negara Swiss. Ia juga sudah mencari seseorang pengganti yang bentuk fisiknya menyerupai gadisnya, hingga golongan darahnya juga sama.
Ritz mengklaim Louise adalah gadisnya, miliknya semenjak peristiwa Louise yang hampir meregang nyawa. Ia menyadari masih sangat membenci Jonathan Hansel karena kemunculannya merusak semuanya, termasuk menjerat kakak kesayangannya. Hingga sang kakak diusir dari keluarganya karena memilih meninggalkan tunangannya agar bisa bersama Jonathan.
Tetapi tidak berakhir sampai di situ, masih ada kejadian tragis mengerikan yang terjadi di masa lalu, sehingga menjadi trauma tersendiri untuk Ritz. Membuatnya menjadi pribadi yang dingin dan tidak tersentuh.
Dia membenci Jonathan Hansel namun Ia mengakui jika dirinya tidak mau kehilangan Louisa Hansel. Ritz bertekad untuk mempertahankan keberadaan Louise di sisinya sampai dengan sendirinya Louise rela bersamanya tanpa paksaan.
Tok.. Tok.. Tok..
Suara pintu diketuk dari luar ruangan,
" Masuk! " seru Ritz sambil memeriksa dokumen perusahaannya.
" Maaf tuan.. waktunya makan malam " ucap bibi Iori setelah memasuki ruang kerja Ritz.
" Hm.. Kau sudah memanggil Louise? " tanya Ritz sambil mengalihkan pandangan dari dokumen yang ada di hadapannya ke arah bibi Iori.
" Belum tuan, Sebentar lagi saya akan ke kamar nona Louise untuk memberitahukan bahwa sudah waktunya makan malam " jawab bibi Iori dengan sopan,
" Kau bisa melanjutkan pekerjaanmu di dapur, biar saya saja yang memberitahukannya " ucap Ritz sambil membereskan kertas - kertas yang tercecer di atas meja kerjanya.
" Baik Tuan " jawab bibi Iori, lalu melangkah meninggalkan ruangan tersebut.
Lalu Ritz melangkahkan kakinya menuju kamar Louise. Sesampainya di depan pintu kamar Louise, ia mengetuk pintu tersebut. Tidak lama kemudian pintu terbuka dari dalam.
" Tu.. tuan.. "
" Sudah kubilang jangan panggil aku tuan! Panggil namaku atau kau bisa memanggilku dengan panggilan lain " seru Ritz dengan dingin,
" Ah! baik! Ada apa kau kemari? " tanya Louise bingung.
" Memangnya aku tidak boleh ke sini, huh?!" tanya Ritz sambil menatap Louise tajam,
" Ah! Bubu.. bukan seperti itu! tap.. tapi.. " sahut Louise gelagapan saat melihat Ritz mulai melangkah mendekatinya, memperpendek jarak antara dirinya dengan Louise.
Melihat Louise mulai panik, Ritz langsung melingkarkan salah tangannya ke arah pinggang milik Louise, dan tangan kanannya meraih rahang Louise. Dengan lembut Ritz menempelkan bibirnya ke arah bibir mungil milik Louise lalu melumatnya.
Kedua mata Louise membelalak karena terkejut, otaknya kosong dalam sekejap, tubuh mungilnya menegang. Merasakan ketegangan Louise, Ritz memperdalam ciumannya, ia mengisap dan berusaha mengeksplor isi mulut Louise. Ketika wajah Louise berubah warna menjadi merah, dan tangannya menggengam erat ujung kemejanya. Barulah Ritz melepaskan ciumannya agar Louise bisa menghirup oksigen sebanyak - banyaknya.
Hanya dua menit Louise dibiarkan menghirup oksigen, karena Ritz langsung melumat kembali bibir Louise yang telah basah karena ulahnya. Ritz terus menghisap lembut dan membimbing Louise agar membalas ciumannya.
Setelah puas Ritz baru melepaskan Louise perlahan, namun ia sempat berbisik
" Sangat manis "
Sehingga Louise yang saat itu sudah tersipu malu menjadi semakin salah tingkah.
" Kau benar - benar mesum! " celetuk Louise menutupi rasa malunya.
" Aku bersedia menjadi mesum jika di hadapanmu! Louise.. You are mine " ucap Ritz dengan lembut.
" ... "
" Say that you are mine! " bisik Ritz menegaskan kepemilikannya.
" I'm yours " jawab Louise sambil tersenyum malu.
Mendengar jawaban Louise, Ritz langsung memeluk tubuh mungil Louise dengan hati - hati karena takut menyentuh lukanya.
" Aku bukan seorang pria yang pandai mengatakan kata - kata indah, tapi aku akan melakukan apapun untukmu.. my queen!" seru Ritz sambil mengusap puncak kepala Louise setelah melepas pelukannya,
" Benarkah?? Bisakah aku kembali ke Swiss?? " tanya Louise wajah memelas,
" No.. not that request! " jawab Ritz tegas sambil memalingkan wajahnya menghindari tatapan puppy eyes milik Louise.
" Pembohong! "
" Not that my queen! " seru Ritz sambil menggeram menahan emosi.
" Hm.. Sorry! " jawab Louise sambil menundukkan kepalanya,
" Sudah waktunya makan malam " ucap Ritz mengingatkan Louise.
Setelah itu Ritz membawa Louise pergi ke ruang makan, untuk menikmati makan malam mereka yang sedikit terlambat. Kejadian malam ini membuat hubungan keduanya menjadi lebih harmonis walau Louise agak kecewa karena Ritz tidak mengizinkannya kembali ke Swiss untuk bertemu keluarganya.