Chereads / ASTREA / Chapter 18 - perundungan

Chapter 18 - perundungan

Aku sedang berbaring nyaman dengan selimut menutupi tubuhku, malam yang semakin larut menenggelamkanku dalam mimpi.

Di dalam mimpiku itu aku sedang berada di Oktus, mendaki bukit yang hijau dan berbaring dipadang rumput tempat aku dan teman temanku biasa bermain. Menghirup udara segar yang bergerak, aroma rerumputan, bau harum bunga juga sesekali aroma buah-buahan liar ikut tercampur didalamnya. Tapi tiba-tiba ada suara orang yang sedang bermain musik, pada awalnya musik itu pelan dan enak didengar tapi lama-lama menjadi semakin keras dan mengganggu, lalu aku terbangun menyadari bahwa suara musik itu berasal dari ponselku diatas meja.

Tanpa melihat siapa orang yang menelfon aku langsung menekan tombol angkat, aku ingin segera memarahi orang yang sudah mengganggu mimpi indahku dimalam yang selarut ini.

"Ella.. " suara Sandrina muncul dari ponsel. Suaranya terdengar aneh dan sedikit gemetar.

Mendengar suara yang begitu menyedihkan rasa jengkelku menghilang, berganti dengan rasa cemas.

"Putri Sandrina, ada apa denganmu?" "Kenapa kau menelfonku selarut ini?"

"Ella maaf karena sudah menelfonmu malam-malam, tapi aku tidak tahu harus berbicara dengan siapa lagi?" suaranya lirih.

"Tidak apa, katakan saja" ucapku.

"... Ella, Ibu ku sangat aneh hari ini, tadi aku tidak sengaja lewat didepan kamar ibuku dan melihat lampunya masih menyala. Aku bermaksud untuk mengingatkan Ibu supaya beristirahat, tapi tiba-tiba aku mendengar suara Ibu sedang mengobrol, dan saat aku mengintip tidak ada orang lain dikamar Ibuku" kata Sandrina.

"Maksudmu Ibumu berbicara sendiri?" tanyaku.

Sandrina menjawab iya.

"Apa kamu yakin? mungkin saja Ibumu sedang berbicara ditelfon"

"Tidak Ella, aku yakin Ibu tidak sedang berbicara ditelfon. Aku lihat Ibu sedang berdiri didepan cermin sambil berbicara sendiri, dia bahkan tertawa sesekali" ucap Sandrina.

"Ella, apa mungkin Ibuku sudah gila?"

Kalau dari cerita Sandrina yang mengatakan ibunya berbicara dan tertawa sendiri sih memang salah satu ciri-ciri orang gila, tapi mungkin juga tidak. Dia adalah seorang ratu yang dipilih dengan seleksi yang ketat dan ujian yang sulit, tidak mungkin kan para bangsawan bisa memilih orang gila untuk memimpin Astrea. Tapi aku tidak mungkin mengatakan isi fikiranku ini pada Sandrina.

"Mari kita berfikir positif, mungkin saja Ibumu sedang belajar berakting"

"Untuk apa Ibuku belajar berakting Ella?, Ibuku itu seorang ratu. Bukankah lebih baik baginya untuk belajar berpidato atau belajar yang lain dari pada berakting?"

Masuk akal juga. Tapi siapa tahu kan Ratu ingin terjun kedunia entertainment suatu hari nanti, saat sudah pensiun tentunya.

"Mungkin Ibumu cuma sedang stress saja, kamu tahu kan pekerjaan seorang pemimpin negara itu sangat berat?, dia mungkin merasa tertekan akhir akhir ini" kataku mencoba mencari alasan lain.

Sandrina terdiam beberapa saat.

"Mungkin saja" katanya "Ibuku memang pernah mengeluhkan pekerjaan yang tak ada habisnya pada asistennya Janne".

" putri, saat ini kau sedang ada dimana?" tanyaku.

"Dikamarku. Setelah melihat Ibu aku segera berlari kekamar dan mengunci diriku sendiri di dalam"

katanya pelan. Suaranya terdengar jauh lebih santai dari sebelumnya.

"Bagus, untuk sementara jangan kau katakan apa yang kau lihat tadi pada siapa pun" aku memperingatkan.

"Kenapa?" dia bertanya.

"Sebagai seorang ratu dia harus menjaga nama baik dan wibawanya bukan?!, dan sebagai seorang Ibu dia pasti tidak ingin terlihat menyedihkan dihadapan putrinya" kataku "Biarkan ini cukup jadi rahasia kita berdua saja, perhatikan saja dia diam-diam dan lihat dulu kondisinya, bila ada apa-apa kau bisa bicarakan denganku"

"... Baiklah kurasa kau benar, terimakasih Ella, bicara denganmu membuatku merasa lebih tenang sekarang, akhirnya aku bisa tidur dengan nyenyak "

Setelah mengatakan terima kasih sekali lagi karena mau mendengarkan curhatnya, putri Sandrina menutup telfon. Aku juga segera menarik selimut dan melanjutkan tidurku.

Kali ini aku juga bermimpi, tapi dimimpi kali ini aku sedang berdiri dibawah pohon yang sangat tinggi. Aku memanjat pohon itu dengan susah payah, rasanya berat sekali memanjat pohon ini, baru naik satu langkah saja rasanya sangat melelahkan. Bahkan sampai fajar datang dan alarm berbunyi untuk membangunkanku aku masih belum bisa sampai dipuncaknya.

Semalam putri Sandrina mengatakan kalau ibunya masih melarangnya datang kekampus, jadi sekarang aku masih belum bertugas. Tapi katanya itu tidak mempengaruhi jumlah uang pada gajiku, aku tak tahu harus senang atau tidak karena makan gaji buta seperti ini.

Begitu sampai diacademy aku mampir dulu dilocker untuk menyimpan mantelku, udaranya dingin sekali pagi ini jadi ibu menyuruhku memakai mantel sebelum pergi.

Pada saat aku membuka locker beberapa benda jatuh kelantai, bukan benda penting tapi beberapa bungkus plastik dan kaleng kosong. Lockerku dipenuhi dengan sampah. Aku tidak tahu siapa yang memasukkan semua sampah ini, tapi aku bisa menduganya.

Terserah lah, lagi pula aku jarang memakai locker ini. Aku jarang menyimpan barang-barang ku disana, karena biasanya aku selalu membawa barangku ditas dan sisanya aku akan membawanya pulang. Mungkin karena aku tidak terbiasa memakai locker, disekolah - sekolahku dulu tidak ada yang menyediakan locker untuk para murid, bukannya pelit tapi sudah tidak ada ruangan lagi untuk membangunnya, atau karena kami memang tidak membutuhkannya.

Siang ini saat berjalan ditaman selepas mengikuti kelas, beberapa balon yang berisi cairan menjijikkan dilemparkan padaku. Warna cairannya putih seperti tepung, tapi berbau seperti telur busuk. Aku bisa menghindarinya karena reflek ku bagus.

Ayah pernah menggunakan balon berisi air untuk melatihku, tentu saja tidak akan berhasil dalam percobaan pertama. Pada saat itu aku basah kuyup, seperti kucing yang jatuh keair. Kedinginan.

Aku sampai di kafetaria untuk makan siang, dan disana sudah ada Violet dan Nadira yang melambai padaku. Hari ini aku memesan nasi dan ayam untuk makan siang, tak lupa segelas air es untuk mendinginkan emosiku. Jangan sampai aku meledak.

Aku datang membawa nampanku menghampiri gadis-gadis itu, mereka sedang semeja dengan Alex dan yang lain. Kalau sebelumnya karena aku bertugas menjaga Sandrina wajar kalau aku mengikutinya duduk semeja dengan Alex yang merupakan teman masa kecilnya, tapi kalau sekarang kayaknya agak....

Aku sedang berfikir untuk duduk dimana waktu itu, saat tiba-tiba Lily dan gengnya datang ingin bergabung. ketika semakin dekat aku bisa mendengar Lily dan gengnya ditolak dengan alasan tempat sudah penuh, hanya ada satu kursi tersisa yaitu disamping Violet tepat didepan Alex.

Lily menunjuk kursi didepan Alex yang masih kosong dan bersikeras ingin duduk disana. Jadi dia ingin meninggalkan kelompoknya untuk bisa semeja dengan Alex?, tampaknya dia bukan orang yang setia kawan. Aku bisa melihat wajah muram Caroline dan Isabell waktu Lilly mengatakannya.

"Maaf lily, bukannya tidak boleh tapi ini adalah tempat duduknya Elliana" kata Violet sambil menunjuk kearahku.

Tidak, tidak berikan saja kursi itu padanya, kumohon. Aku memberikan kode pada Violet dengan mataku, tapi tampaknya dia tidak mengerti artinya. Terbukti karena setelah itu dia melambai padaku.

Hancur sudah harapanku, tak ada pilihan lain aku harus duduk disana.

Lily menyodok tanganku waktu aku lewat disampingnya. Air dingin yang kubawa hampir saja tumpah, untung aku berhasil menyeimbangkan nampanku sehingga itu tidak terjadi, tapi sebagian kecil air digelas sempat terciprat dan membasahi tangan kiri Alex.

"Hei!!!" Alex sedikit berteriak "Hati-hati dong"

"Maaf, itu tadi dia yang..." aku menunjuk kearah gadis ikal pergi. Ah sudahlah percuma saja.

Aku letakkan nampanku dimeja dan segera duduk.

Diseberangku, Alex sedang melepaskan gelang lalu mengeringkan tangan kirinya dengan tissu.

"Wah apa itu, tanda lahir ya?" tanya Stefan yang ada disamping Alex.

"Coba ku lihat" kata Nathan sambil berdiri dari dari kursinya. "Bentuknya bintang, kenapa aku belum pernah melihatnya?"

"Itu karena dia selalu memakai gelang hitam itu kan, mangkanya kita tidak pernah melihatnya" Kata Daniel.

"Kenapa kau menutupinya?, itu kan bagus"

Semua orang dimeja sedang membicarakan tentang bekas luka itu, aku juga jadi penasaran. Waktu itu aku tidak melihatnya terlalu jelas. Ku julurkan kepalaku untuk dapat melihat bekas luka yang ada ditangan kiri Alex, memang sebagus apa sih sampai dikira tanda lahir?.

Sialnya Alex melihatnya saat aku melakukan itu dan menatapku, mata kami sempat bertemu selama beberapa saat. Antara terkejut dan malu aku menundukkan kepalaku diatas piring untuk makan, berpura-pura tidak terjadi apa-apa.