Persiapan untuk menonton film sedang dilakukan.
Mulai dari menghubungi pemilik bioskop terbaik diibukota, mendiskusikan keamanannya, jenis filmnya, makanannya, sampai para pekerja yang diperbolehkan untuk bertugas pada hari itu. Semua harus dipersiapkan dengan detail jangan sampai ada kesalahan yang sekecil apa pun.
Keamanan akan diminta untuk menyisir disetiap sudut bioskop pada hari itu sebelum kami mengantarkan putri pergi kesana, meskipun hal ini dirahasiakan dari siapa pun tapi siapa tahu akan ada penyusup yang akan berbaur atau bersembunyi diantara kami.
Semua keamanan, pekerja, sampai pelayan pada hari itu harus yang sudah profesional, dan memiliki kartu identitas yang jelas. Kartu identitas itu harus ditempelkan pada pakaian mereka, kartu itu dan pemiliknya akan diperiksa lagi dan lagi untuk memastikan bahwa mereka bukanlah para penjahat yang sedang menyamar.
Semua ini harus dilakukan bukan hanya untuk keamanan putri, tapi juga untuk keselamatan kami sendiri. Satu saja terjadi kesalahan pada keamanan putri maka kemungkinan kami akan kehilangan nyawa juga semakin besar. Meskipun rencana ini adalah permintaan putri, tapi bila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan tetap kami juga yang akan dihukum nanti.
Aku berbaring terlentang pada sofa yang empuk didalam ruang istirahat, dan sedang tidak ingin melakukan apa pun. Memandang keatas ke langit-langit yang dicat dengan warna putih, dan lampu kristal bulat yang tergantung tepat di atas kepalaku. Lampu itu tidak terlalu besar cuma seukuran kepalan tanganku, tapi jumlahnya ada lima dan tersebar di beberapa tempat.
Mungkin karena sedang menganggur aku jadi berfikir banyak hal konyol. Aku bertanya-tanya kalau lampu kristal itu tiba-tiba terjatuh tepat dikepalaku, separah apa luka yang akan kualami.
Manakah diantara lampu kristal atau kaca jendela yang lebih kuat, apa bila aku melempar lampu itu ke kaca jendela manakah yang akan pecah lebih dulu, atau jika aku mengambil lampu itu dan menjualnya berapa banyak uang yang bisa kudapatkan?, dan beberapa pemikiran bodoh lainnya.
Di academy ada banyak ruang istirahat seperti ini yang dipergunakan oleh para murid. Satu ruang istirahat biasanya digunakan untuk murid satu kelas, tapi ruangan ini berbeda karena ruangan ini adalah ruangan yang khusus diberikan untuk putri Sandrina. Dibandingkan ruang istirahat, tempat ini lebih mirip sebuah ruang tamu.
Ada tiga meja diruangan ini dan masing masingnya memiliki satu sofa panjang dan beberapa sofa kecil yang mengelilingi meja. Ada satu lemari es dua pintu di sudut, satu dispenser di sebelahnya, satu toilet, satu rak kayu, satu pendingin ruangan, satu pintu dan dua jendela.
Satu ruangan ini bahkan lebih luas dan mewah dari rumahku.
Putri Sandrina jarang mengajakku ketempat istirahat ini, bukan karena dia tidak ingin membawaku ke tempat ini, tapi karena tidak ada waktu. Jadwal belajar putri terlalu padat sehingga nyaris tak ada waktu luang, apa bila ada waktu belajar yang tiba-tiba kosong putri lebih memilih untuk menggantinya dengan jadwal yang lain atau langsung pulang kerumah untuk beristirahat.
Gagang pintu berderit dan daun pintu berayun terbuka. Sepasang kaki panjang memasuki ruangan, tubuh pemuda itu tinggi dan tegap, tempramennya dingin dan wajahnya tampan bak lukisan, ternyata itu Alex yang memasuki pintu. Aku hanya menoleh sedikit dan melanjutkan yang baru saja kulakukan, bermalas - malasan.
Alex melihatku disofa dan berjalan mendekat.
"Sedang apa kau disini sendirian, ada dimana Sandrina?" dia bertanya.
Mulutku masih tertutup, aku hanya menjawab dengan menunjuk kesatu arah dimana putri sedang duduk sekarang. Alex menoleh mengikuti arah yang kutuju, disana dia melihat putri sedang mojok berduaan dengan pacarnya. Itu sebabnya aku berbaring disini sekarang. Merasa lelah jadi obat nyamuk.
"Oh... " serunya tanpa mengubah ekspresi.
Alex berjalan menghampiri lemari es, setelah itu dia kembali sambil membawa dua gelas yang sudah di isi es batu dan sebotol cola. Dia membuka botol lalu menuangkan isinya ke dalam salah satu gelas lalu meminumnya.
Aku heran melihatnya minum dan duduk.
"Kau mau?" dia mendorong botol cola ke arahku.
"Mau!" aku bersemangat. Menuangkan cola ke gelas satunya dan meminumnya. "Wuah segarnya.." rasanya seperti hidup kembali.
Aku menoleh ke arah Alex yang sedang duduk, pada saat itu dia sedang memperhatikanku minum. Apa sebenarnya yang sedang dilihatnya?, tiba-tiba aku jadi merasa malu.
"Bukannya para bangsawan biasanya tidak minum cola?" tanyaku. Coba mengalihkan perhatian dari rasa malu.
Alex mengangkat gelasnya "Kata siapa?"
"Seorang teman" jawabku.
Katanya itu karena cola menyebabkan peminumnya bersendawa, karena bersendawa didepan orang itu tidak sopan, oleh sebab itu mereka biasanya melarang anak-anaknya minum cola dan sejenisnya.
"Tidak juga" jawabnya sambil meneguk minumannya. Kenapa jawabannya singkat sekali sih?.
Aku melirik Nathan dan putri yang masih mengobrol dengan asiknya. Sesekali juga pembicaraan mereka diselingi dengan tawa. Jarang sekali mereka punya waktu berdua seperti sekarang ini selain waktu makan siang, karena jadwal kelas mereka selalu bertabrakan. Oleh sebab itu aku biarkan saja mereka mengobrol sepuasnya.
"Menurutmu Ratu sudah mengetahui hubungan mereka atau belum?" tanyaku sambil menurunkan volume suara agar tidak didengar orang yang bersangkutan.
"... mungkin belum, kalau sudah mereka pasti tidak akan bisa seperti ini sekarang?"
"Kenapa?" tanyaku. Tiba-tiba merasa penasaran.
"Sejak dulu Ratu tidak suka kalau Sandrina dekat dengan Nathan, aku tidak tahu apa alasannya" jawab Alex. "Kenapa kau mau tahu?" tanya Alex sambil menatap mataku.
"Tidak kenapa-kenapa" jawabku sambil memalingkan muka "Hanya ingin tahu saja"
"Jangan penasaran dengan hubungan orang lain, urusi saja urusanmu sendiri" kata Alex.
"Ck, iya.. iya..."
Aku tidak tahu sejak kapan rasa takutku pada Alex sudah tidak ada lagi, mungkin sejak aku menyadari kalau ternyata Alex itu tidak sejahat yang aku kira. Dia memang galak tapi aku tak pernah melihatnya menyakiti siapa pun.
Seperti yang dia lakukan pada para penggemarnya. Setiap hari Alex selalu dikelilingi oleh para gadis yang mengaguminya, meskipun terlihat jelas diwajahnya kalau dia tidak suka para gadis itu menempel padanya, Alex tak pernah membentak apalagi mendorong mereka. Dia akan selalu mengatakan alasan yang tidak akan membuat mereka merasa sakit hati agar mereka mau pergi tanpa paksaan. Lalu soal masalah kura-kura perak itu, dia sama sekali tidak pernah membahasnya.
"Bibi Diana kemarin bilang, kalau kau punya waktu dia minta agar kamu sering datang ke istana pelangi untuk mengunjunginya" kata Alex.
"Jangan coba-coba lewat lubang itu lagi, karena aku sudah menutupnya".
Apa?? lubang anjing sudah ditutup?. Habis sudah harapanku untuk mengunjungi Awan diam-diam lagi. Aku kira lubang itu terletak ditempat yang aman, dan tidak akan ditemukan oleh siapa pun. Rupanya Alex diam-diam mencari tau dari mana aku bisa masuk ke taman istana.
Melihat ekspresiku yang kusut pangeran Alex tiba-tiba bilang. " Datanglah lewat pintu depan, bilang saja kalau kau ingin bertemu Bibi Diana, atau kau juga bisa menghubungiku maka aku akan mengantarmu kesana".
Aku masih diam saja saat itu waktu Alex tiba-tiba melanjutkan perkataannya.
"Jangan salah paham. Aku tidak bilang ingin melihat kura-kura itu bersamamu, aku hanya tidak ingin ada rumor hantu lagi atau kalau kau tiba-tiba ditangkap karena disangka sebagai pencuri, itu bisa mencemari nama baik academy tau" katanya dengan suara yang sedikit naik, sehingga membuat putri dan Nathan yang sedang berduaan merasa terganggu dan ikut memperhatikan Alex.
"???"
Apa sih, aku kan tidak mengatakan apa pun. Kenapa dia tiba-tiba marah?