An Jia Li kembali merasakan kepalanya seperti berputar. Keringat dingin mengalir dari pelipisnya. Nampaknya demam yang sempat ia lupakan itu protes dan datang untuk kembali tinggal.
"Xing Yi"
"Xing Yi"
"Xing Yi"
An Jia Li membaca ulang karakter nama itu berkali-kali dan tidak berubah sama sekali. Karakter itu tetap menunjukan nama 'Xing Yi' yang berarti satu bintang. Nama sang penulis novel dimana An Jia Li kini berada dalam ceritanya. Fikiran An Jia Li mulai berfantasi dengan banyak hal tidak masuk akal. Ia seperti akan segera gila, padahal selama ini ia selalu membaca cerita-cerita yang diluar akal logika manusia umumnya. Tapi membaca dan merasakan langsung hal-hal fantasi seperti itu tentu saja berbeda.
Ada sebuah pepatah yang mengatakan, "yang buta tidak dapat melihat, yang bisu tidak akan bisa bicara, yang tuli tidak akan bisa mendengar, yang mati tidak akan merasakan"
"jika tidak merasakan maka ia tak akan mengerti rasanya "
Tentu saja, saat ini hanya An Jia Li yang merasakan hal fantasi yang membuat jiwanya bergetar. Tapi, disisi lain ia juga tak mengerti. Mungkin karena terlalu gila, jadi An Jia Li tidak dapat berfikir dengan tenang saat ini. Kepalanya semakin berguncang seperti ada gempa, tsunami, badai dan semua bencana berkumpul di satu tempat dengan tidak masuk akal. Fikiran An Jia Li merasakan kiamat. Jiwanya terasa terjun melintasi cakrawala seperti bintang yang jatuh.
"Mei-Mei, aku lupa mengatakan sesuatu" suara Nona Liu menyadarkan An Jia Li yang hanyut dalam fikirannya.
An Jia Li terkesiap. Dirinya mendadak seperti ikan yang baru keluar dari kolam dan berusaha merangkak di daratan. Tangannya yang gemetar tidak sengaja menjatuhkan apa yang digenggamnya dan telah memasukan buku di tangannya kedalam kotak yang berisi tumpukan buku-buku yang sudah dipisahkan untuk dilenyapkan. Meski buku-buku itu akan berakhir di tangan An Jia Li nantinya.
Nona Liu mengerutkan dahinya sehingga alis sungainya nampak bersatu. Ia menatap heran An Jia Li sesaat "kenapa wajahmu sangat pucat seperti itu?" Tanya Nona Liu. Ia lalu kembali menyentuh kening An Jia Li dan terkejut.
"Ya Ampun!. Kau demam tinggi?!. Bagaimana bisa?. Tadi suhu tubuhmu tidak sepanas ini" Nona Liu sibuk dengan kata-katanya dan setiap tindakannya yang mengecek suhu tubuh An Jia Li di titik tertentu secara berulang untuk memastikan apakah ia salah atau tidak. Sementara itu, An Jia Li justru merasakan kepalanya seperti terus diputar. Keringat dingin semakin deras mengalir di pelipisnya. Nafasnya juga mulai memburu dan panas. Fikiran An Jia Li menjadi kacau oleh nama itu. Semakin ia terus mengulang membaca karakter nama itu, semakin dirinya merasa tertekan.
"Kau-" Nona Liu nampaknya kehabisan kata-kata atau memang enggan melanjutkan kata-katanya saat melihat ada yang aneh di pergelangan tangan adik perempuan angkatnya itu. Meski tidak sepenuhnya mengerti, tapi dengan semua kondisi yang ada, Nona Liu mampu dengan cepat menebak apa yang terjadi.
"Kau tidak akan seperti ini jika hanya tercebur kedalam kolam ikan dangkal, bodoh" gumam Nona Liu. Wajahnya terlihat menahan marah. "Ayo kembali ke kamarmu dan istirahat"
Nona Liu mengajak An Jia Li berjalan pergi dari ruangan yang bagai surga bagi An Jia Li tadi.
"Bukunya ..."
"Masih bisa khawatir dengan buku?. Lebih baik khawatirkan dirimu dulu. Kau menyembunyikan sesuatu dariku kan?. Apa selir itu melakukan sesuatu lagi padamu?" Nona Liu mulai bertanya karena tidak tahan.
"Ada bekas aneh di kedua pergelangan tanganmu ... aku hanya pernah melihat bekas-bekas aneh seperti itu di tubuh para tahanan yang habis diceburkan kedalam penjara air" terus Nona Liu dengan sengaja. Ia meminta penjelasan dari An Jia Li untuk membuktikan apakah tebakannya benar atau tidak. "Apa kau dimasukan kedalam sana oleh ular itu?!" Bisik Nona Liu dengan sedikit menekan kata binatang melata itu.
"Apa maksudmu, Nona Liu?. Aku tidak digigit ular" ucapnya asal dengan sengaja. An Jia Li tau maksud Nona Liu namun ia mencoba mengalihkannya. Disaat yang sama ia juga mengalihkan ingatannya sendiri saat malam itu. Dimana Ia bertemu dengan Chunyin yang tengah menyelinap entah apa tujuannya.
"Aih, kau mulai ngelantur" Nona Liu berfikir, karena demam An Jia Li yang tinggi jadi ia tak bisa fokus saat berfikir untuk menjawab pertanyaannya sehingga Nona Liu menahan pertanyaan lainnya dan membiarkan An Jia Li untuk istirahat. "Tidurlah. Jangan khawatirkan bukunya. Aku yang akan mengurus itu" pesan Nona Liu. Ia sibuk mengurus An Jia Li yang nampaknya terlihat seperti adik kecilnya yang harus ia khawatirkan berlebihan.
"Aku akan memanggil tabib. Tunggulah" ucap Nona Liu setelah ia memberikan handuk basah di kepala An Jia Li lalu pergi.
"Ada apa denganku?" An Jia Li mencoba berbicara dengan dirinya sendiri. Saat Nona Liu pergi, ia mulai melihat hal-hal yang aneh. Sebuah bayangan seseorang muncul di depannya lalu menghilang seperþi Nona Liu yang sudah pergi meninggalkannya. Kini di depan matanya hanya terlihat bunga dalam vas yang diberikan Chunyin malam itu. Bunga itu terlihat sedikit layu.
Perasaan khawatir merambat. An Jia Li kembali merasakan perasaan saat ia pertama kali membuka matanya saat itu. Sebuah perasaan takut kehilangan dan kesepian menguasainya.
Semua ingatan-ingatan singkat berjatuhan seperti fragmen kaca yang rapuh.
"Yi-Ge, jangan tinggalkan aku" gumam An Jia Li tanpa ia sadari. Dalam bayangannya, kini wajah Zhang Chunyin dan wajah kaisar Li Xi menyatu untuk membuat senyuman. Senyuman itu menyakitkan.
"Xing Yi ... Gege. Maafkan aku"
An Jia Li menutup matanya dan tertidur dalam perasaan menyesal menyelimutinya.
Dalam mimpi. An Jia Li menjelma menjadi kelopak-kelopak bunga rusak. Ia menumpang pada angin untuk mencari sesuatu yang penting. Sesuatu yang tak bisa lagi ia tahan. Lalu mimpi itupun berakhir dengan kehampaan. Ia tak menemukan satupun bintang dalam malamnya. Kelopak rusak itu akhirnya jatuh kedalam kegelapan.
Aku tidak membutuhkan bulan. Aku tidak membutuhkan matahari. Aku tak membutuhkan milyaran bintang. Aku hanya menginginkanmu seorang disisiku. Tolong jangan pergi. Bahkan jika kamu hanyalah sebuah bintang kecil yang redup dan jatuh. Biarkan aku menjadi debu bersama denganmu. Kamu satu-satunya cahayaku. Selamanya.
Rembulan kini telah naik menggantikan mentari - membiarkannya istirahat agar bisa kembali pada langit cerah karena tidak mungkin bulan akan bersinar di pagi hari.
An Jia Li akhirnya terbangun setelah penciumannya yang perlahan pulih mencium sebuah aroma yang kuat sehingga perutnya memaksanya untuk bangun. Aroma rempah yang pahit dan manis menusuk indra penciuman An Jia Li. Ia membuka matanya dan melihat seseorang yang tengah merapihkan meja di dekatnya.
An Jia Li secepat mungkin mengumpulkan kesadarannya. Ia menarik jiwanya sekuat tenaga dari alam mimpi yang mencengkramnya.
"Oh. Kau sudah bangun. Aku membawa rebusan daging dan kentang ini untukmu. Makanlah selagi hangat" Nona Liu menyerahkan sebuah nampan berisi seporsi mangkuk berisi rebusan daging dan kentang yang dimasak dengan rempah dan campuran gula, juga kedelai hitam yang telah diolah sehingga menjadi sebuah bumbu dapur yang manis.
"Ini ... " An Jia Li menatap hidangan berasap di deoan wajahnya.
"Oh. Aku lupa mengatakannya. Ini resep baru dari koki kerajaan, tapi nampaknya Yang Mulia tidak terlalu suka, jadi masih ada banyak yang tersisa untuk dimakan para pelayan" jelas Nona Liu yang sebenarnya tidak dibutuhkan oleh An Jia Li.
An Jia Li yang berasal atau pernah hidup di era modern tentu saja mengetahui hidangan itu. Ia pernah memakannya di restoran timur tengah yang banyak menyajikan olahan daging dengan rempah-rempah yang kuat. Ia tau makanan apa di depannya itu, namun secara bersamaan ia juga sudah tidak ingat makanan itu, "apa namanya ya?" Batin An Jia Li. Ia bertanya-tanya namun tidak memikirkannya sama sekali. Nampaknya jiwanya masih terjebak di alam mimpi. Hanya raganya yang terbangun untuk menghabiskan semangkuk besar semur daging itu.
Jiwa An Jia Li masih berkeliaran di alam mimpi untuk mencari sesuatu yang ia ingat namun ia juga tidak ingat. Sangat aneh jika difikirkan. Tapi itulah yang terjadi.
"Makanan ini ... aku pernah memakannya di suatu tempat bersama dengan orang itu ..." jiwanya menemukan sebuah sosok bayangan. Sebuah ingatan berputar dengan tidak jelas gambarnya. "Siapa orang itu?" Pertanyaan itu akhirnya muncul dalam benak An Jia Li.
"Dimana itu?"
"Kenapa aku bersama dengannya?"
Ingatan itu lantas berganti lagi ke ingatan lainnya. Sebuah perpustakaan kini berdiri di depan jiwa An Jia Li. Ada begitu banyak buku-buku yang tidak jelas judul-judulnya. An Jia Li tidak dapat membacanya. Tapi saat itulah ia menerima sebuah buku dari 'orang itu' yang tidak ia ingat. Ia lantas membaca apa yang ada di sudut sampul buku. Ia melihat dua karakter.
"Xing Yi"
An Jia Li hampir meraih benang emas yang melintas di depannya, namun gagal. Benang itu menghilang. Kepala An Jia Li kembali merasakan putaran yang hebat. Detak jantungnya tak lagi beritme dengan normal. Rasanya seperti ada ribuan bintang jatuh dalam kepalanya. Ia merasa semua itu seperti sebuah bom yang siap meledak jika An Jia Li terus memaksakan dirinya untuk mencari benang emas itu.
An Jia Li terus berlari dan berhenti dengan lelah. "Tidak bisa ..." ia bergumam.
"Aku tidak bisa ingat apapun tentang orang itu ... aku ... aku tidak ingat apapun tentang Xing Yi" An Jia Li merasakan sesak lagi. Ia tiba-tiba sedih dan kesal secara bersamaan karena tidak dapat mengingat hal yang harusnya ia ingat.
"Kenapa aku tidak bisa mengingatnya?"
"Kenapa aku merasa mengingatnya?"
"Apa-apaan hal aneh ini?!"
An Jia Li terus membatin dengan gejolak emosinya yang benar-benar seperti menunggu waktunya tiba untuk meledak.
"Bukunya ... " gumam An Jia Li. Ia mencari-cari sesuatu dan akhirnya keluar mencari Nona Liu yang saat ini ada di dapur istana.
"Nona Liu!. Dimana bukunya?!" Tanya An Jia Li. Ia tergesa-gesa dengan wajah yang masih pucat lalu berteriak sehingga semua orang di dapur memperhatikannya dengan bingung. Mereka menatap aneh An Jia Li. Pelayan mana yang membicarakan buku di dapur?. Sangat tidak masuk akal. Harusnya kau menanyakan dimana pisaunya?, atau dimana daging dan sayur yang akan dimasak?. Tidak mungkin kau akan merebus sebuah tumpukan kertas untuk dihidangkan kepada kaisar kan?!. Lagipula, manusia mana yang mau makan bubur kertas?.
****
"Yang Mulia. Ini ada surat dari pusat Biro Literatur" ucap Wenhua. Ia menyerahkan sebuah gulungan kertas pada Chunyin.
Chunyin memasang wajah tenang meski ia sedikit bingung dan bertanya-tanya dalam diam, "dari pusat Biro Literatur?. Apakah meminta izin untuk pertukaran karya-karya dari luar kekaisaran?"
"Tapi. Tidak mungkin dia begitu tidak sopan hanya dengan menyerahkan surat seperti ini padaku. Harusnya dia membawa tubuh dan wajahnya untuk bicara langsung"
Chunyin segera melepas surat yang bahkan segelnya seperti tak ditujukan untuk seorang bangsawan sekalipun. Surat itu resmi namun juga tidak kaku seperti sebuah surat yang ditujukan untuk seorang sahabat lama. Setelah ia membuka gulungan, Chunyin segera membaca isinya.
Kepada Tuan Xing Yi.
Dari kepala Biro Literatur kekaisaran Li.