Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

WHEN ANGEL LOVES MAFIA [Bahasa Indonesia] - 2

🇮🇩ZanettaJeanne
--
chs / week
--
NOT RATINGS
12k
Views
Synopsis
"Aku harus terus berlari. Jangan sampai mereka menangkapku. Sebaiknya aku masuk ke dalam hutan lebih dalam lagi mencari tempat untuk bersembunyi." Wanita muda itu meneruskan larinya tanpa memperhatikan batu kerikil di depannya. Kakinya terantuk batu dan ia pun terjatuh terjerembab ke tanah yang mulai lembab karena hujan. Kepala wanita cantik itu keras menghantam batu besar yang teronggok dekat semak-semak belukar. Darah mengalir deras dari dahinya. Kesadarannya pelan-pelan menghilang. Pandangannya gelap dan ia tak sadarkan diri. ============================================================================ The sequel of my first novel, When Mafia Loves Angel. Kirana, awalnya adalah seorang gadis cantik nan rapuh, mencoba membuktikan bahwa dirinya mampu menjadi salah satu anggota keluarga Bagus, salah satu keluarga mafia yang terkenal di Bali, setelah keluarga tersebut menyelamatkan nyawanya dari bencana. Pencarian jati dirinya membawa Kirana menjelma menjadi seorang mafia cantik, jago bela diri, pintar dan ahli bernegosiasi, namun entah kenapa ia tidak bisa sepenuhnya dapat menjadi seorang mafia sejati karena kelembutan dan kebaikan hatinya yang setara dengan bidadari. ~ Zanetta Jeanne ~
VIEW MORE

Chapter 1 - The Breakable Angel [1]

Matahari makin tenggelam di ufuk barat. Hari kian menjelang malam. Daun-daun pepohonan di sekeliling terlihat bergoyang-goyang ditiup angin. Langit mulai mencurahkan air hujan secara perlahan. Deru napasnya terdengar keras menderu-deru. Ingin rasanya ia menyerah dan berhenti berlari. Namun ketakutannya yang sangat luar biasa akan sesuatu mengalahkan kepenatannya.

"Aku harus terus berlari. Jangan sampai mereka menangkapku. Sebaiknya aku masuk ke dalam hutan lebih dalam lagi mencari tempat untuk bersembunyi."

Wanita muda itu meneruskan larinya tanpa memperhatikan batu kerikil di depannya. Kakinya terantuk batu dan ia pun terjatuh terjerembab ke tanah yang mulai lembab karena hujan. Kepala wanita cantik itu keras menghantam batu besar yang teronggok dekat semak-semak belukar. Darah mengalir deras dari dahinya. Kesadarannya pelan-pelan menghilang. Pandangannya gelap dan ia tak sadarkan diri.

Desa Kusamba, Klungkung, Bali, satu tahun kemudian.

"Jadi kapan Bapak mau membayar cicilan hutang Bapak yang kian hari makin menumpuk ?" bentak seorang lelaki berbadan tinggi besar kepada bapak tua yang menundukkan kepalanya dalam-dalam penuh dengan ketakutan. Tangan lelaki yang berotot penuh dengan tato itu mencengkeram kerah baju bapak tua yang makin gemetar karena dikelilingi oleh sekelompok orang-orang dengan raut wajah amat tidak bersahabat.

"Maaf Bli, tiang belum ada uangnya untuk membayar cicilan itu, mohon diberi waktu sampai minggu depan, semoga sudah ada pisnya." Suara bapak tua itu sangat lirih terdengar, hampir tidak dapat mengeluarkan kata-kata karena lehernya berada dalam posisi setengah tercekik oleh lelaki berperawakan algojo tersebut.

"Minggu depan? Alasan saja! Setiap raga kemari selalu saja jawabannya minggu depan! Bapak pikir kami bisa gampang diatur-atur seperti itu? Bagaimana nanti raga kasi penjelasan ke Big Boss kalau begini?" Dengan kasar lelaki besar itu mendorong si bapak tua sampai terjengkang jatuh di pasir. Kepalanya nyaris terbentur ujung tepian kapal nelayan miliknya.

"Bulan ini musim sedang tidak bagus Bli, minggu ini saya hanya dapat sedikit ikan, malah kadang tidak dapat ikan sama sekali. Padahal saya sudah melaut dua kali sehari, dini hari dan sore hari." Bapak tua itu mencoba membela diri, namun ia tetap menundukkan kepala, tidak ada keberanian sedikit pun untuk melihat ke arah lawan bicaranya.

Laki-laki itu membungkukkan badannya hendak meraih kerah baju bapak tua itu kembali, namun tiba-tiba ada tangan kurus kecoklatan namun sekal menepis dengan keras tangan lelaki tersebut.

"Beri waktu Pak Gunaja sampai minggu depan, Bli Dika. Kita semua tahu bulan ini memang bukan musim yang baik untuk melaut." Terdengar suara lembut mendayu namun tegas.

"Kamu sebaiknya jangan ikut campur Gek Kira. Tugasmu sebagai perempuan hanya menerima duit setoran dari hasil menagih hutang." Tangan besar Andika hendak menghalangi tubuh perempuan mungil itu yang hendak membantu Pak Gunaja untuk berdiri.

"Jaga sikapmu kalau berbicara dengan Kira, Dika! Sopan sedikit terhadap wanita!" Tiba-tiba terdengar suara laki-laki menggelegar dari belakang. Pria yang sedari tadi hanya mengamati dari kejauhan mendadak angkat bicara.

Andika tertegun kaget dan buru-buru mengganggukkan kepala, setengah membungkukkan badan ke arah empunya suara. "Nggih Gus Hendra, maafkan tiang."

Ia lalu menolehkan kepalanya kembali ke arah Pak Gunaja yang posisinya sekarang sudah berdiri dibantu oleh Kirana, gadis mungil cantik berkulit eksotis keemasan itu. "Ingat ya Pak, minggu depan raga balik ke sini lagi. Siapkan duitnya sebelum raga datang. Awas nah kalau sampai tidak bisa bayar lagi!" Ancam Andika kepada Pak Gunaja sambil mengepalkan tinjunya ke arah muka bapak tua itu.

Puri Penglipuran, di suatu tempat di kaki Gunung Batur.

"Lapor Bos Besar, hari ini tidak ada hambatan yang berarti. Bisnis kita berjalan lancar terkendali." Andika menghadap tuannya dengan mantap dan penuh percaya diri.

"Bagus! Kalau begitu kamu panggilkan Mahendra ke sini, saya mau bicara." Sahut seorang bapak setengah baya dengan raut muka sedikit menyeramkan dengan goresan luka bakar yang terlihat membekas di pipinya, namun sisa-sisa ketampanan masa muda masih tersirat dengan jelas di wajahnya.

"Nggih Gus Besar, saya akan panggilkan Gus Hendra sekarang."

"Ayah memanggil saya?" Mahendra menghampiri ayahnya sebelum terlebih dahulu membungkuk memberikan salam hormat kepada ayahnya.

"Duduk dekat sini anakku, sudah agak lama kita tidak berbincang-bincang. Ayah ingin mendengar kabarmu. Apakah semua berjalan dengan baik? Ada hal yang perlu Ayah bantu?" Tuan Bagus menepuk-nepuk pundak anak lelaki kesayangan satu-satunya dengan penuh kasih.

"Aku baik-baik saja. Ayah tidak perlu khawatir akan keadaanku. Aku bisa jaga diriku dengan baik. Keturunan seorang Bagus pasti bisa menghadapi segala macam rintangan yang menghadang." Mahendra meyakinkan ayahnya dengan mimik muka serius dan penuh keangkuhan.

"Bagus itu! Ayah yakin kamu tidak akan pernah mengecewakanku." Tuan Bagus tersenyum lebar, puas dengan jawaban anaknya.

"Bagaimana dengan Kirana? Ayah ingin tahu perkembangannya saat ini. Apakah ia bisa beradaptasi dengan dunia luar dengan baik?"

"Kirana sejauh ini bisa menempatkan dirinya di mana pun ia berada, Ayah. Ia sudah tidak takut lagi berada di keramaian. Aku rasa traumanya akan kejadian yang dulu perlahan-lahan bisa menghilang." Mahendra memberikan penjelasan panjang lebar, masih dengan arogansinya.

"Ayah senang sekali mendengarnya Nak. Kamu harus lebih sering lagi mengajaknya keluar rumah dan bertemu dengan orang banyak. Perlu baginya untuk menghirup udara segar dan berada di bawah sinar matahari lebih banyak lagi untuk kesehatannya."

"Tapi ingat, sebelum Kirana siap dengan posisinya sebagai salah satu anggota keluarga Bagus, kamu harus selalu siap menjaganya di mana pun ia berada. Kamu paham, Mahendra?" Tuan Bagus menatap wajah anaknya, mencari kepastian.

Mahendra menatap balik mata ayahnya, menatap dalam-dalam, mencoba menghalau kerisauan orang tuanya. "Itu hal yang mudah, Yah. Serahkan semuanya padaku. Kirana akan aman di dalam penjagaanku. Don't worry, ok?" Lelaki muda tampan itu dengan tingkat kepercayaan yang tinggi menganggap tugas yang diberikan oleh ayahnya itu sebagai sesuatu yang tidak sulit untuk dijalankan.

Kafe Heaven Bliss, Semarapura, Klungkung.

Dua mobil Ford Ranger hitam metalik secara beriringan menepi tepat di depan pintu gerbang kafe yang berbentuk gapura berbahan bata merah. Pintu gerbang tersebut berhiaskan naga hitam dengan mata merah menyala, sedang menyemburkan api membara berwarna oranye kekuningan di kedua sisinya.

"Kamu tunggu di sini saja Kira. Aku bersama Dika harus menyelesaikan masalah dulu sebentar ke dalam. Terlalu berbahaya untuk kamu ikutan masuk ke kafe." Mahendra mengenakan kacamata Ray-Ban Aviator hitam kesayangannya lalu bergegas keluar mobil. Kirana menggangguk pelan terdiam sambil mengawasi situasi kafe dari kejauhan.

Andika keluar dari mobil Ford Ranger hitam kedua yang parkir di belakang diiikuti dengan tiga orang bodyguard anak buahnya yang setia. Ia berjalan mendahului Mahendra menuju ke dalam kafe Heaven Bliss.

Suasana di dalam kafe malam itu teramat hingar bingar dengan dentuman electronic dance music menghentak-hentak, membuat jantung berdegup kencang dan adrenalin meningkat bagi para pengunjung kafe yang mendengarnya.

Rombongan Andika dan Mahendra berjalan melewati bar yang penuh sesak dengan orang-orang yang sedang dance sambil menikmati minuman favorit masing-masing. Alunan EDM yang disajikan DJ Violet saat itu cukup membuat pengunjung terlarut dengan suasana dugem yang menggelora. Mereka berlalu dengan tergesa-gesa ke arah belakang bar, menuju ke pintu kaca hitam yang dijaga oleh dua orang bodyguard berbadan besar.

Seorang laki-laki terlihat duduk di kursi coklat empuk di balik meja besar berwarna coklat kehitaman. Lelaki yang sedang menopangkan kedua kakinya di atas meja itu terkaget-kaget dengan kehadiran Mahendra beserta anak buahnya yang secara mendadak muncul di hadapannya. Ia lalu segera menurunkan kedua kakinya dan dengan gugup serta merta berdiri dan mempersilakan Mahendra duduk di kursi yang sebelumnya ia tempati.

"Selamat datang Bos Hendra. Mengapa tidak memberitahukan kami sebelumnya kalau Bos mau datang? Kami bisa mempersiapkan segala sesuatunya terlebih dahulu untuk Bos Hendra. Makanan, minuman, bahkan wanita penghibur lengkap bisa kami sediakan." Lelaki tersebut setengah membungkuk memberikan hormat kepada Mahendra sambil memberikan kursi coklat empuk itu kepada bosnya untuk diduduki.

"Tak perlu basa-basi denganku Arya. Coba jelaskan secara to the point kepadaku ada masalah apa yang sedang dihadapi oleh Kafe Heaven Bliss selama tiga bulan belakangan ini. Mengapa pemasukan dari kafe ini menurun drastis dibandingkan dengan bulan-bulan sebelumnya?" Gigi Mahendra bergemeretak tajam tidak sabar menanti jawaban Arya yang sedang gugup mencari sapu tangan di saku kiri atas kemejanya. Ruangan kecil namun cozy itu terasa sejuk dengan air conditioner menyala dengan baik, tapi hal tersebut nampaknya tidak dirasakan oleh Arya yang sedang berpikir keras untuk memberikan jawaban yang memuaskan untuk Mahendra.

"Umm, begini Bos permasalahannya. Sudah tiga bulan ini kami harus mengeluarkan biaya yang cukup besar untuk keamanan kafe ini. Ada kelompok baru di daerah Semarapura ini yang menamakan dirinya sebagai Laskar Semara. Mereka mengklaim daerah ini sebagai daerah kekuasaaan mereka yang baru. Jika kami tidak membayar sejumlah tertentu yang mereka minta tiap bulannya, maka mereka mengancam akan memporak-porandakan kafe ini dan membuat kami semua babak belur. Mereka juga sering mangkal di depan kafe pada saat jam-jam ramai dan menawarkan transportasi kepada para pengunjung secara memaksa sehingga membuat para langganan takut untuk datang kembali ke kafe ini."

"Apa! Kurang ajar!" Mahendra menggebrak meja kayu coklat di depannya teramat kencang dengan tangannya yang terkepal keras.

"Berani-beraninya mereka menganggap remeh kita! Apa mereka tidak pernah mendengar nama Bala Bagus sebelumnya! Lalu apa saja kerja para bodyguard yang kita sewa untuk menjaga kafe ini, hah!" Muka Mahendra mendadak memerah seperti udang rebus naik pitam mendengar penjelasan anak buahnya.

Andika yang tadinya berdiri di samping Mahendra lalu menghampiri Arya yang sedang duduk di depannya. Arya tak berani menatap mata bosnya, ia menunduk dalam-dalam dengan posisi badan yang sedikit gemetar. Kedua tangan Andika memegang bahu Arya dan menekan kedua bahu tersebut secara perlahan namun kemudian mengeras dan bersiap-siap mengambil posisi seolah-olah hendak mencekik leher Arya dari belakang.

Mata Arya membelalak ketakutan dan buru-buru memberikan penjelasan kepada Mahendra dengan suara lirih sedikit melengking seperti tikus yang ekornya terhimpit pintu.

"Para bodyguard kita kalah kuat dengan kelompok mereka Bos Hendra. Pada bulan pertama mereka datang kemari, kami sudah berusaha untuk melawan, namun kami kalah jumlah dan kami pun babak belur dibuatnya. Salah satu anggota kita bahkan sempat dilarikan ke rumah sakit karena mereka mematahkan jemari tangannya."

"Lalu mengapa kalian tidak lapor sejak awal kejadian! Kenapa kamu biarkan hal ini berlarut-larut! Kamu sengaja ya menutup-nutupi kejadian ini dariku!" Mahendra tambah marah mendengar alasan dari Arya yang dianggapnya tak masuk akal itu.

Tiba-tiba terdengar suara gaduh dari arah luar. Suara perempuan berteriak-teriak dengan kencang seketika mendobrak pintu memasuki ruangan.

"Lepaskan aku! Lepaskan tanganku, dasar orang brengsek! Kamu tidak tahu siapa aku hah!" Kirana berlari menghambur ke arah Mahendra. Di belakangnya mengejar dua orang bertubuh gempal sambil tertawa-tawa melecehkan.

"Mengapa kamu lari Nona Cantik, kami hanya ingin bermain-main sebentar denganmu. Jangan jual mahal begitu, kami sanggup bayar kok. Kamu minta bayaran berapa Non, tinggal sebut saja! Hahaha!

Mahendra serta merta refleks berdiri setengah meloncat dari tempat duduknya. Ia menarik tubuh Kirana ke belakangnya untuk melindunginya. Andika beserta anak buahnya mengambil posisi berjaga-jaga merapat di depan Mahendra dan Kirana.

"Wah, sedang ada tamu rupanya. Coba kamu perkenalkan kami dulu kepada tamu kalian, Arya." Seringai salah satu pria yang tadi mengejar Kirana sambil mengelus janggutnya yang sedikit panjang, berbicara dengan nada memerintah.

"Siapa orang-orang brengsek ini Arya? Berani-beraninya mereka kurang ajar masuk tanpa ijin ke ruangan ini dan merendahkan Kirana!" Mahendra menggeram menahan amarah yang setiap saat bisa meledak bagaikan bom waktu.

Arya menelan ludahnya sejenak berusaha mengatur suaranya yang mendadak serak dan tenggorokannya yang serasa teramat kering. Ingin rasanya ia menghilang ditelan bumi pada saat itu.

"Ini orang-orang Laskar Semara yang saya sebut barusan Bos."

"Bli Jaya, ini Bos Hendra, putra pemilik kafe ini, anak Pak Bagus, penguasa Bala Bagus." Arya memperkenalkan Mahendra kepada dua orang tersebut.

"Oh Bos Kecil sedang berkunjung toh. Baiklah, kami tidak berniat untuk mengganggu pertemuan kalian. Kami hanya ingin gadis cantik yang bersembunyi di belakang bos kecil kalian untuk melayani kami. Tentunya Bos Hendra bisa mencari banyak gadis cantik yang lain untuk dirinya, ya kan? Biarkan Kirana bermain-main sebentar dengan kami. Hahaha!" Jaya tertawa lebar sambil memandangi tubuh Kirana dari atas sampai bawah yang sekarang ini sedang ketakutan berlindung di balik tubuh Mahendra.

"Kurang ajar!" Mahendra mendorong tubuh Andika ke samping dan langsung menyerbu Jaya dengan tinju yang bertubi-tubi. Tubuh Jaya limbung ke belakang dan terjatuh karena tidak siap akan serangan Mahendra yang mendadak. Posisi Mahendra menduduki tubuh Jaya yang saat ini telentang dan terus menghujani mukanya dengan pukulan tanpa henti.

Sementara itu laki-laki yang bersama Jaya langsung dikeroyok oleh anak buah Andika. Andika bergegas mengambil posisi melindungi Kirana, sedangkan Arya langsung bersembunyi di balik meja.

Dalam keadaan Jaya setengah sadar, Mahendra mencekik leher Jaya dan memperingatinya. "Camkan ini baik-baik. Bilang sama bos besarmu dan semua orang di jaringanmu, jangan sekali-sekali berani datang ke kafe Heaven Bliss ini lagi dan mengganggu bisnis Keluarga Bagus. Bila hal ini dilanggar, maka itu berarti Laskar Semara menantang perang dengan Bala Bagus."

Mahendra berhenti sejenak untuk menghela napas, kemudian ia meneruskan perkataannya. "Satu hal lagi yang perlu kamu ketahui, Kirana itu putri angkat Keluarga Bagus. Melecehkan Kirana otomatis berarti merendahkan Keluarga Bagus. Dan dia itu milikku. Semua orang yang menginginkan Kirana harus berhadapan denganku. Mengerti!"

Mahendra menoleh ke arah Andika dan kemudian berdiri. "Dika, usir orang ini beserta anteknya keluar dari kafe kita. Aku muak melihat muka mereka!"

Andika menggangguk setengah membungkuk. "Baik, Gus Hendra." Ia memerintahkan anak buahnya untuk menyeret tubuh kedua orang anggota Laskar Semara yang telah berdarah-darah tersebut keluar kafe.

"Kamu tidak apa-apa Kira? Kamu sudah sempat diapakan saja tadi oleh kedua begundal itu?" Mahendra tiba-tiba teringat akan kondisi Kirana dan memandang gadis cantik itu dengan cemas sambil memegang kedua tangannya dengan lembut.

"Aku baik-baik saja, Hendra!" Kirana menarik kedua tangannya dari genggaman Mahendra, berusaha untuk menyembunyikan memar dan lebam di kedua lengannya akibat ditarik-tarik oleh kedua orang Laskar Semara tadi.

Mahendra kembali mengambil kedua tangan Kirana dan memeriksanya dengan seksama. "Ini memar merah-merah kehitaman lebam seperti ini kamu bilang baik-baik saja? Lain kali kalau aku menyuruh kamu untuk tinggal di mobil, turuti! Dan selalu kunci pintu mobil sampai aku datang. Jangan bukakan pintu mobil untuk orang lain selain aku. Mengerti!" Mahendra menggerutu kesal menyalahkan Kirana.

"Aku bukan anak kecil lagi, Hendra! Jangan perlakukan aku seperti itu!" Kirana membantah perkataan Mahendra sembari merengut.

"Ini demi keselamatanmu, Kira! Beruntung kamu bisa lolos dari mereka. Kalau tadi tidak ada aku, apa jadinya kamu sekarang!" Mahendra membentak Kirana dengan kasar. Namun hati kecilnya berkata sebaliknya, ia sangat mengkhawatirkan gadis cantik itu. Raut mukanya mendadak menjadi sedih karena cemas akan keselamatan Kirana. Dia pun segera membuang mukanya ke samping untuk menyembunyikan hal tersebut dan buru-buru bergegas kembali ke mobil meninggalkan Kirana yang tertegun karena dimarahi oleh Mahendra.

"Apalagi yang kamu tunggu Kira? Ayo cepat naik ke mobil! Hari sudah menjelang pagi. Ayah pasti sudah cemas menunggu kita di rumah."

Lelaki tersebut membukakan pintu mobil Ford Ranger hitam itu untuk Kirana dan meminta gadis itu untuk segera masuk ke dalam mobil. Di belakangnya Andika beserta para anak buahnya yang lain tergopoh-gopoh mengikuti berjalan di belakang Kirana dan bergegas memasuki mobil Ford Ranger hitam yang satunya lagi.