Suasana temaram namun damai dirasakan Mahendra ketika ia memasuki ruangan tempat ayahnya biasa melakukan tapa brata di malam hari. Secara perlahan lelaki muda berkulit sawo matang bertubuh atletis tersebut melangkahkan kakinya mendekati ayahnya dengan langkah-langkah sesunyi mungkin agar tidak mengganggu kegiatan rutin ayahnya yang hampir setiap hari dilaksanakan.
Mahendra mendekati ayahnya dan berusaha untuk tidak mengganggunya. Ia duduk di dekat Tuan Bagus dan berdiam diri menunggu ayahnya selesai melakukan tapanya. Dilihatnya ayahnya sedang duduk bersila sambil menangkupkan kedua tangannya di dada, kedua matanya terpejam. Raut muka Tuan Bagus terlihat amat damai dan bijaksana, menambah kehangatan suasana malam itu bagi Mahendra yang sedang mengamati ayahnya dari dekat. Wajah Tuan Bagus sesekali ditutupi bayangan lilin yang bergerak-gerak pelan ditiup angin yang berasal dari jendela ruangan yang terbuka di samping kanan.
Tuan Bagus perlahan membuka kedua matanya, ia tersenyum melihat putranya yang saat ini sedang memandangnya. Ia dapat merasakan kegelisahan anaknya dan mencoba untuk menenangkannya. Seorang ayah hapal di luar kepala akan kebiasaan anaknya. Mahendra akan menunggu dengan sabar di dekatnya pada saat melakukan tapa brata hanya jika ada hal-hal mendesak yang sangat mengganggu pikirannya.
"Ada apa anakku ? Apa gerangan yang sedang berada dalam pikiranmu ? Ayah dapat merasakan kerisauanmu." Tuan Bagus setengah merangkul pundak anaknya sambil tersenyum kembali.
"Begini Yah, soal kejadian malam ini di kafe Heaven Bliss, aku kuatir akan keselamatan Kirana. Aku rasa sudah saatnya kita menyiapkan Kirana sedikit ilmu beladiri agar ia dapat menjaga dirinya sendiri bila terjadi sesuatu seperti malam tadi. Hal tersebut benar-benar membuatku risau." Wajah Mahendra menunjukkan kegusaran sekaligus cemas ketika ia mengingat kembali peristiwa itu.
"Baiklah. Ayah rasa ini saatnya kita mempersiapkan Kirana menjadi sosok yang lebih tangguh. Ajarkan dia semua ilmu beladiri yang telah dimiliki keluarga kita secara turun menurun. Latih ia dua kali lebih keras, dua kali lebih lama dan dua kali lebih fokus dibandingkan dengan anggota keluarga kita yang lain. Jadikan Kirana sebagai gadis yang bisa diandalkan untuk menjaga dan meneruskan kelangsungan bisnis keluarga Bagus. Ayah percayakan Kirana di tanganmu, Nak." Tuan Bagus memberikan semangat kepada Mahendra. Ia percaya dan yakin bahwa Kirana berada di tangan yang tepat.
Suatu tempat di hutan di kaki Gunung Batur.
"Fokus Kira, fokus !" Teriak Mahendra dengan geram. "Kamu harus ingat bahwa aku tidak bisa selalu ada di dekatmu untuk melindungimu. Kau harus dapat melindungi dirimu sendiri."
"Aku tahu Hen, tapi aku lelah sekali. Sudah seharian kita berlatih di hutan ini. Ijinkan aku untuk istirahat sebentar." Wajah Kirana memerah terbakar sinar matahari. Tubuhnya basah kuyup karena keringat deras mengucur. Seluruh badannya sakit dan pegal-pegal setelah seharian berlari mengelilingi hutan, berlatih beladiri dengan Mahendra dan berkali-kali tubuhnya berhasil terkena pukulan karena ia tidak berhasil mengelak dengan cepat. Bahkan berulang kali ia merelakan tubuhnya dihempaskan ke tanah dengan mudahnya oleh pemuda rupawan itu.
"Musuh bisa menyerangmu kapan saja, tidak peduli kamu dalam keadaan capek atau tidak. Kau harus siap membela diri dalam situasi apapun. Ayo ulangi lagi sampai kamu bisa !" Sebenarnya Mahendra merasa kasihan melihat gadis rapuh itu kewalahan dan kehabisan tenaga. Namun ia harus menguatkan hatinya untuk melatih Kirana lebih keras lagi. Ini demi kebaikan kamu Kira, ujar Mahendra dalam hati.
Di suatu dataran rumput luas di kaki Gunung Batur.
"Ayah yakin tempat ini aman untuk melatih Kirana ilmu meditasi keluarga kita ? Tempat ini cukup terbuka Yah. Apakah tidak sebaiknya kita cari tempat yang lebih sepi dan terlindungi ?" Mahendra secara hati-hati menyampaikan perasaan kuatirnya kepada Tuan Bagus. Ia memandang ke sekeliling dengan cemas. Sejauh mata memandang, dataran berumput yang terhampar luas di pinggir Danau Batur di sore hari itu cukup terbuka bagi siapa pun yang berada di sekitarnya. Wajar bagi Mahendra jika ia meragukan keamanan tempat itu.
"Tempat ini adalah tempat yang sempurna untuk Kirana berlatih ilmu meditasi keluarga kita. Kamu ingat dulu kamu juga berlatih di sini. Suasana alam yang indah dan asri serta suara-suara angin di pinggir danau ini merupakan sarana yang tepat untuk melatih kepekaan Kirana. "
"Baik Yah, kalau begitu silakan dimulai saja latihannya. Saya dan Dika akan berjaga-jaga di sekitar sini."
Mahendra kemudian berjalan menjauhi Tuan Bagus dan Kirana yang sedang duduk bersila di rerumputan yang hijau dan segar dipandang mata. Ia sibuk memberikan instruksi kepada Dika dan anak buahnya untuk membuat parameter penjagaan yang ketat di sekitar lokasi.
"Konsentrasikan seluruh panca inderamu ke seluruh semesta alam Kira." Tuan Bagus berbicara lirih namun tegas.
"Dengarkanlah suara-suara alam di sekitarmu. Dengarkan suara arus air danau yang tenang namun menghanyutkan. Dengarkan suara angin nan semilir yang menggoyang daun-daun di pepohonan maupun rerumputan. Dengarkan suara tanah yang berdiam diri di bawah kita. Serta dengarkanlah suara hembusan pelita yang menerangi kita selama ini. Terdengar helaan napas Tuan Bagus sebelum meneruskan.
"Buka panca inderamu lebih dalam lagi. Sekarang rasakan angin tersebut menyentuh kulitmu bak mengelus secara perlahan. Rasakan seolah-olah air danau yang tenang tersebut mengalir lembut di seluruh pembuluh darahmu. Rasakan kekuatan tanah yang menopang tubuhmu dengan kokoh. Dan rasakan semangat yang berapi-api yang memasuki tubuh dan jiwamu." Tuan Bagus menarik napasnya dalam-dalam.
"Udara, air, bumi, api. Keempat elemen alam tersebut perlu kamu kuasai dengan baik. Menyatulah dengan alam, karena berkat alamlah kita dapat hidup dan bernaung. Oleh karena itu selalu perlu diingat, kapan pun kita membutuhkan pertolongan, maka alam semesta akan membantu menjaga dan menolong kita, dalam bentuk apapun. Jangan ragu-ragu untuk meminta bantuan, karena sabda alam jauh lebih kuat dari yang kamu kira. Camkan itu".
Kemudian Tuan Bagus menepuk perlahan pundak sebelah kanan sebagai pertanda Kira untuk membuka matanya yang terpejam selama latihan meditasi berlangsung.
Kira menghirup napasnya dalam-dalam, ia merasakan sensasi yang luar biasa selama latihan berlangsung. Seluruh panca inderanya terbuka dan tubuhnya terasa lebih segar dan ringan. Semangatnya menjadi menggebu-gebu dan ia merasa yakin akan bisa menghadapi seluruh tantangan yang akan datang.
"Terima kasih Ayah, saya tidak akan mengecewakanmu." Kira menundukkan kepalanya sebagai rasa hormat kepada orang tua yang bersila di hadapannya yang sangat ia kagumi itu.
"Kira ! Gek Kira ! Kamu di mana ? Jangan cepat-cepat larinya !" Mahendra menggerutu sebal karena tiba-tiba Kirana menghilang dari pandangan matanya. Ia mulai merasakan kepanikan yang seketika timbul, karena kondisi hutan yang mulai gelap seiring dengan waktu senja yang kian mendekat.
Mahendra menyesali keputusannya mengiyakan ajakan Kira untuk latihan lari di hutan sore itu. Tadinya ia pikir latihan fisik hari itu akan bagus untuk mendukung proses latihan Kira yang semakin lama semakin berkembang pesat. Bahkan gadis cantik itu kian bugar dan atletis sekarang. Tidak seperti dulu, saat ia menemukannya tergeletak pingsan tak berdaya dengan kepala yang penuh darah, di hutan ini. Di hutan yang sama. Setahun yang lalu.
Mengingat kembali hal itu, Mahendra mendadak dilanda kecemasan yang luar biasa. Ia berlari kesana kemari tak tentu arah. Berusaha menemukan Kirana sebelum malam benar-benar menyelimuti bumi.
"Aku ada di mana sekarang ?" Keluh Kirana lirih.
"Aku pasti sudah tersesat. Huuh, kenapa aku bisa senekat ini. Harusnya tadi aku tidak perlu lari secepat itu untuk mendahului Mahendra."
Niat Kirana yang semula bercanda menjadi bumerang untuk dirinya sendiri.
Gerimis mulai turun. Hujan rintik-rintik mulai membasahi tanah. Kirana berhati-hati berjalan menelusuri hutan. Tanah menjadi semakin licin karena hujan. Ia berusaha untuk tenang dan mengingat-ingat apa yang dikatakan oleh ayahandanya selama latihan-latihan sebelumnya.
"Tenang Kirana, jangan panik." Kirana berkata pada dirinya sendiri.
"Ingat apa yang diajarkan oleh Ayah. Alam akan membantu kita. Perhatikan lingkungan sekitar."
Kirana menghentikan langkahnya. Ia memandang jauh ke depan. Berusaha mengamati sekelilingnya. Mencari tanda-tanda alam yang bisa menolongnya.
Angin semakin bertiup kencang. Ia pun merapatkan jaket olahraga larinya ke tubuhnya yang mungil. Serta menaikkan tudung jaketnya ke kepalanya untuk melindungi rambutnya yang mulai basah oleh gerimis hujan. Kirana lalu mendongakkan kepalanya ke atas. Langit yang gelap terlihat bersih tanpa bintang malam itu. Tiba-tiba terlihat olehnya rasi bintang pari bersinar terang di sebelah kanan.
"Terima kasih bintang !" Terima kasih telah menunjukkan aku jalan pulang !" Kirana melompat kegirangan. Ia pun bergegas berjalan menuju arah selatan ke arah pulang seperti yang telah ditunjukkan rasi bintang pari kepadanya.
Kirana mencoba mempercepat langkahnya. Setengah berlari ia menuju jalan pulang. Gerimis hujan sudah berhenti sejak beberapa waktu yang lalu, namun entah mengapa tiba-tiba perasaannya tidak enak. Mendadak waswas karena merasakan ada sesuatu yang tidak beres di sekitarnya. Ia merasakan ada yang mengikutinya sejak belokan ke kiri tadi sesudah melewati pohon buni besar yang berbuah ranum.
Ia mencoba melirik dari sudut mata kirinya, melihat bahwa dedaunan dan semak-semak tak jauh dari dirinya bergerak-gerak seolah-olah ada orang yang sedang bersembunyi mengamatinya.
Mungkin hal tersebut hanya perasaannya saja namun Kirana tidak ingin mengambil resiko untuk mengabaikannya. Badannya mulai gemetar ketakutan namun ia berusaha sekuat tenaga untuk menenangkan diri dan melanjutkan perjalanannya dengan cepat.
Kirana bergegas menuju belokan ke kanan berharap ia bisa menghindari siapapun yang ia pikir mengikutinya sejak tadi. Tiba-tiba ada tangan kokoh menariknya ke balik pohon jati besar dan memeluknya dengan erat dari belakang. Dan sebelum Kirana berteriak, tangan kokoh yang satu lagi sudah menutup mulutnya sehingga ia tidak bisa mengeluarkan suara apapun. Kirana berusaha meronta-ronta sekuat tenaga untuk menyelamatkan diri sampai suara yang begitu menenangkan hatinya terdengar merdu berbisik di telinganya.
"Kira, jangan panik, ini aku Hendra. Ada dua orang yang mengikutimu dari ujung jalan tadi. Lebih baik kita bersembunyi saja dulu di sini."
Kirana mengangguk perlahan mengiyakan. Ia mulai merasakan kehangatan dan keamanan dirinya akan hadirnya Hendra di sisinya saat itu.
"Sebenarnya aku bisa saja mengalahkan mereka sekarang." Kata Hendra setengah berbisik.
"Namun keselamatan kamu adalah yang utama. Jadi kita tunggu saja sampai mereka pergi."
Tak lama kemudian lewatlah dua orang pemuda berperawakan besar-besar melewati mereka.
"Eh, kemana perginya perempuan cantik tadi ?" Tanya salah satu dari mereka.
"Entahlah, mungkin sudah lari cepat ketakutan. Hahaha !" Sahut temannya.
"Ah ya sudahlah. Bukan rejeki kita kali ini untuk bermain-main dengan gadis itu. Ayo kita cari minum saja kalau begitu !"
Kedua pemuda tak dikenal tersebut pun berlalu dengan segera dari tempat itu.
Mahendra dan Kirana menghela napas lega. Mahendra lalu membalikkan badan Kirana ke hadapannya. Tiba-tiba ia mendorong tubuh Kirana dengan lembut menempel membelakangi pohon. Badan Mahendra bergetar menahan emosi bercampur dengan kekuatiran. Masih dalam pelukannya, Mahendra mengangkat wajah Kirana dengan tangan yang satunya lagi.
Kirana yang tidak bisa menduga akan reaksi Hendra yang seketika berubah cepat tersebut hanya bisa pasrah.
"Kamu beruntung kali ini Kira. Apa jadinya kamu kalau aku tidak ada di sini. Jangan pernah lari lagi dari diriku seperti tadi !" Suara Mahendra tersengal-sengal karena emosi.
Kirana memandangi wajah Mahendra erat-erat. Terlihat olehnya raut muka Mahendra yang sangat cemas akan keselamatan dirinya. Mendadak Kirana meneteskan airmatanya dengan deras tanpa ia sadari.
Kirana memeluk erat-erat tubuh Mahendra sambil menangis tersedu-sedu.
"Maafkan aku Hendra. Aku tadi hanya bercanda. Sungguh beruntung aku memilikimu. Kamu selalu menjadi penyelamatku."
"Sudahlah tidak apa-apa. Yang penting kamu selamat sekarang. Ayo kita pulang, pasti Ayah sudah menunggu kita di rumah." Mahendra mengelus rambut Kirana dengan lembut dan mencium keningnya.
Angin bertiup dengan lembut saat itu, sedamai hati kedua insan yang sedang dilanda perasaan indah yang sudah mulai tumbuh di antara keduanya tanpa mereka sadari.