Suasana malam itu begitu hening. Terlihat Kirana tidak begitu bersemangat menyendokkan nasi bersama lauknya ke mulutnya. Wajahnya terlihat gelisah, tidak seperti biasanya. Terlihat ia hanya memainkan sendoknya di piring tanpa ada selera untuk menghabiskan makanannya malam itu.
Tuan Bagus menyadari hal itu. Ia sedari tadi mengamati anaknya yang cantik jelita tersebut, kemudian dengan suara lembut menyapanya.
"Ada apa gerangan Gek Kira? Tumben kamu tidak menikmati santap malammu kali ini ? Ibu sudah memasakkan lawar ayam kegemaranmu lho Nak..."
Kirana tersentak kaget mendengar teguran lembut dari Tuan Bagus. Ia tidak menyangka kalau sikapnya yang ia berusaha tutup-tutupi ternyata tidak berhasil.
"Ehmm... Tidak ada apa-apa Yah, mungkin karena hari ini Kira kurang enak badan. Kalau boleh, Kira lanjutkan makan malam saya di kamar saja, boleh ya Yah?" Kirana menatap mata Tuan Bagus dalam-dalam mengharap persetujuan dari ayahnya.
Ibu Laras tersenyum mengangguk mengiyakan sambil mengelus pundak Kirana dengan lembut. "Tentu boleh Gek Kira, Ibu rasa kamu perlu istirahat lebih awal malam ini. Ya kan Yah?" Bu Laras pun memandang Tuan Bagus masih dengan senyumannya yang khas dan keibuan.
Tuan Bagus menganggukkan kepala mengiyakan istri dan anaknya tersebut. "Jangan lupa minum obat kalau ternyata masih tidak enak badan ya, Nak." Ia terlihat sedikit cemas akan keadaan anak perempuannya saat itu.
"Baik Yah, Ayah tidak perlu kuatir, mungkin Kira hanya perlu istirahat sebentar. Nanti juga sembuh. Kira permisi duluan ke kamar ya Yah, Bu, Hen." Kirana kemudian bergegas pergi ke kamarnya.
"Hendra, kamu dari tadi main handphone terus, itu adikmu sakit begitu kamu tidak perhatikan?" Tuan Bagus menegur anaknya dengan tegas.
Mahendra langsung gelagapan ditegur ayahnya seperti itu. "Eh iya Yah, tadi siang Gek Kira masih sehat-sehat saja kok." Ujar Mahendra membela diri.
Namun dalam hatinya Mahendra merasa gelisah. Mengapa Kirana mendadak seperti itu ya? Biasanya kalau ada apa-apa dia selalu cerita kepadaku.
"Kamu harus lebih sering memperhatikan adikmu Hen, jangan sampai ada apa-apa dengannya namun kamu tidak mengetahuinya." Tuan Bagus mengingatkan anaknya dengan tegas.
"Baik Yah, Ayah tidak perlu cemas, itu sudah menjadi tugas saya. Kalau begitu saya pamit juga ya Yah, Bu. Saya hendak melihat keadaan Gek Kira ke kamarnya." Mahendra pun berlalu dari meja makan setelah kedua orangtuanya mengangguk bersamaan tanda setuju.
Angin bertiup cukup kencang malam itu. Mahendra bergegas dari pendopo ruang makan menuju paviliun kamar Kirana yang terletak di tengah-tengah kediaman Tuan Bagus.
Ia menyusuri koridor yang terlihat temaram dengan lampu taman yang tidak terlalu terang menyoroti sekitarnya. Pohon-pohon yang dilewatinya bergoyang-goyang ditiup angin. Mahendra merapatkan jaketnya dan mempercepat langkahnya hendak melewati kolam air mancur mini yang berisi ikan-ikan kesayangan peliharaan Tuan Bagus.
Tiba-tiba ia melihat sesosok perempuan mengendap-endap keluar dari kamar Kirana. Ia mengenakan jaket hitam bertudung menutupi sebagian wajah dan membawa tas ransel cukup besar di punggungnya.
Mahendra dengan cepat menyembunyikan diri di belakang air mancur. Dari kejauhan ia dengan mudah mengenali sosok yang sangat dekat dengan dirinya belakangan ini.
Mau kemana Kirana malam-malam begini? Mahendra bertanya dalam hati.
Mahendra kemudian mengikuti Kirana dari kejauhan dan berusaha sekeras mungkin tidak diketahui oleh gadis cantik tersebut.
Kirana diam-diam menaruh bungkusan di depan pintu rumah kecil nan reyot di pinggir hutan tersebut. Ia secara perlahan mengetuk pintu rumah dan kemudian bersembunyi di balik kumpulan pohon bambu di samping rumah itu.
Terdengar sayup-sayup anak kecil menangis dari dalam rumah. Pintu dibuka oleh pemilik rumah, terlihat seorang ibu tua menggendong anaknya keluar dan tiba-tiba tertegun melihat bungkusan yang tergeletak di depan rumahnya.
Ia kemudian meletakkan anaknya di kursi kayu lapuk yang terletak di sebelah kiri pintu. "Duduk sebentar ya Nak, Ibu mau lihat apa isi bungkusan ini."
Sambil celingak-celinguk ke kanan dan ke kiri, Ibu tua tersebut tidak menemukan seseorang pun di sana. Lalu ia membuka bungkusan koran di depannya sambil jongkok dengan raut muka penasaran.
"Astungkara, semoga orang baik yang memberikan bingkisan ini selalu mendapatkan bantuan di mana pun ia berada."
Mata ibu tersebut berbinar-binar setelah mengetahui isinya. Nasi beserta lawar ayam, ayam goreng, daging semur, beserta buah-buahan yang terdiri dari buah apel, pir dan pisang.
"Ayo Nak, kita masuk ke dalam dan segera menyantap makanan ini. Malam ini kita bisa tidur nyenyak tanpa perut lapar seperti malam-malam sebelumnya."
Anak kecil tersebut terlihat amat gembira setelah ibunya memberikan sebuah apel dan tanpa menunggu lama lagi ia pun langsung menggigit buah apel tersebut dan memakannya dengan lahap.
Setelah ibu dan anak kecil itu masuk kembali ke dalam rumahnya, Kirana bergegas pergi dari sana sambil tersenyum lebar.
Mahendra yang mengikutinya dari kejauhan terhenyak kaget, ia tak menyangka gadis cantik yang dikaguminya tersebut memiliki niat baik seperti itu. Ia kemudian memutuskan untuk tetap sembunyi-sembunyi mengawasi Kirana dari jarak jauh dan rasa penasaran menyelimutinya, tak sabar ia ingin mengetahui apa yang akan dilakukan oleh Kirana selanjutnya.
Kirana bergegas berjalan dengan cepat menuju rumah kayu sederhana di pesisir pantai. Mahendra mengendap-endap mengikutinya diam-diam.
Eh, itu kan rumahnya Pak Gunaja. Ada apa malam-malam begini ia bertamu ke sana. Mahendra bertanya-tanya dalam hati.
Kirana menyelipkan amplop putih lumayan tebal ke lubang di bawah pintu kayu lalu mengetuk pintu kayu tersebut tiga kali. Lalu cepat-cepat ia bersembunyi di balik dinding kayu di sebelah kanan rumah.
Mahendra mengamati gerak-gerik Kirana dari kejauhan di balik pohon besar yang terletak tak jauh dari rumah kayu tersebut.
Tak lama sesosok pria tua keluar dari rumah itu dan menemukan amplop putih yang mengganjal di bawah pintu. Ia membuka amplop tersebut dan seketika langsung terbelalak melihat isinya. Segepok uang seratus ribuan berada di dalam genggaman tangannya.
"Bu... Bu... Mai, Bu. Keluar Bu..." Teriak Pak Gunaja memanggil-manggil istrinya dari luar rumah.
"Wenten napi Pak? Malam-malam begini teriak-teriak?" Istri Pak Gunaja tergopoh-gopoh keluar dari dalam rumah.
"Ini Bu, ada orang yang menaruh amplop berisi uang di depan rumah kita". Pak Gunaja menunjukkan berlembar-lembar uang seratus ribuan di tangannya yang sedikit gemetar.
"Beneran Pak?" Ibu tua tersebut terkaget-kaget dengan raut muka tidak percaya melihat banyaknya uang di tangan suaminya.
"Astungkara..." Bu Gunaja mengatupkan kedua telapak tangannya di depan dadanya tanda terima kasih yang tak terhingga.
"Minggu ini kita bisa bayar utang ke Bli Andika, Bu..."Sahut Pak Gunaja dengan mata berkaca-kaca.
"Semoga orang yang menolong kita diberikan rejeki yang berlimpah oleh Tuhan ya Pak." Doa istrinya yang langsung diamini oleh suaminya.
Kirana yang mendengarkan percakapan suami istri tersebut merasa amat sangat bahagia. Tak terasa air mata mengalir di pipinya saking terharunya. Ia perlahan mengelap air matanya dan beringsut pergi diam-diam dari rumah kediaman Pak Gunaja.
Hari sudah menjelang tengah malam. Aku harus segera kembali ke rumah.
Kirana kemudian bergegas mempercepat langkahnya setengah berlari pulang ke rumah.
Mahendra yang sedari tadi mengamati seluruh kejadian yang mengharukan tersebut merasakan ada kesejukan dalam hatinya. Ia tersenyum-senyum tak henti-hentinya melihat apa yang dilakukan Kirana malam itu.
Setelah ia memastikan Kirana kembali dengan selamat pulang ke rumah dan memasuki kamarnya, Mahendra pun kembali ke kamarnya sendiri untuk beristirahat.
Sungguh malam yang melelahkan, namun penuh dengan kejutan. Gumam Mahendra yang tidak lama langsung tertidur pulas di ranjangnya yang empuk.
Andika menggedor-gedor pintu rumah Pak Gunaja keras-keras. Tak sabar ia menunggu pemilik rumah membukakan pintu untuknya.
Kirana yang berada di belakang Andika menepuk pundaknya dengan tegas. "Sabar Bli, tunggu dulu sebentar."
Andika yang hendak membantah teguran gadis cantik tersebut seketika membatalkan niatnya melihat muka Mahendra yang garang berdiri di samping Kirana.
Terdengar bunyi pintu rumah berderit dibuka. Pak Gunaja keluar dengan muka berseri-seri. "Selamat pagi Bli Andika."
"Sudah tak perlu basa-basi Pak Gunaja, saya kesini hendak menagih hutang yang Bapak janji bayar minggu lalu." Andika menunjukkan gelagat tidak sabar.
"Baik Bli Andika, kebetulan kali ini kami diberikan rejeki, jadi kami bisa membayar seluruh hutang kami ke Tuan Bagus." Pak Gunaja pun memberikan sejumlah uang sesuai dengan jumlah hutangnya ke Andika.
"Hah, tumben Bapak bisa lunasi seluruh hutang Bapak kali ini. Dapat uang dari mana ?" Andika setengah melotot mengamati muka Pak Gunaja dengan seksama.
"Begini Bli, jadi beberapa waktu yang lalu kami kedatangan dedari yang turun dari langit yang tiba-tiba menaruh sejumlah uang di depan rumah kami." Cerita Pak Gunaja dengan semangat berapi-api.
"Ah, Bapak ini mengada-ada. Mana ada dedari di jaman milenial seperti ini. Pak Gunaja pikir saya gampang dibohongi seperti itu?" Andika tertawa terbahak-bahak, yang diikuti oleh tawa dari beberapa anak buahnya yang berdiri di sampingnya.
"Benar, saya tidak bohong Bli. Warga yang lain juga rumahnya didatangi oleh dedari tersebut. Ada yang diberi makanan, buah-buahan, uang, dan lain-lain sesuai dengan yang kami butuhkan. Seolah-olah dedari tersebut bisa mendengar doa-doa kami selama ini. Kalau Bli Andika tidak percaya dengan saya, Bli bisa tanya ke penduduk yang lain." Sahut Pak Gunaja mencoba membuat Andika percaya.
Kirana langsung memalingkan mukanya, hendak menyembunyikan raut wajahnya yang bersemu merah.
Mahendra pun tak tahan menyembunyikan perasaannya, ia kemudian pura-pura batuk. "Sudahlah Dika, apalagi yang kamu ingin tahu. Yang penting Pak Gunaja sudah membayar hutangnya. Ayo kita segera pergi dari sini. Ayah pasti sudah menunggu kita."
"Baik, Gus Hendra." Andika pun membungkukkan badannya penuh rasa hormat. Ia memberikan kode ke anak buahnya untuk segera pergi dari tempat itu. Rombongan tersebut pun bergegas meninggalkan rumah Pak Gunaja.