Chereads / WHEN ANGEL LOVES MAFIA [Bahasa Indonesia] - 2 / Chapter 4 - When We Meet Again [4]

Chapter 4 - When We Meet Again [4]

"Gek Kira ada keperluan yang ingin dibeli hari ini? Kebetulan aku dan Andika hendak ke pasar Badung untuk menagih hutang ke beberapa penjual di sana. Sekalian Gek Kira bisa mencari suasana baru di Denpasar, sudah lama Gek Kira tidak keluar jauh dari rumah beberapa bulan ini." Mahendra menawarkan Kirana untuk pergi dengannya sesampainya mereka di rumah.

"Denpasar?" Muka Kirana langsung berbinar-binar. Aku ikut ya, sebentar aku ganti baju dulu." Kirana setengah berlari menuju kamarnya.

Mahendra setengah ketawa melihat kelakuan Kirana siang itu.

"Kami pergi ke Denpasar dulu ya, Yah." Mahendra mohon pamit ke Tuan Bagus.

Kirana mencium tangan ayahnya dengan penuh hormat dan kasih sayang.

Tuan Bagus mengangguk dengan tersenyum. "Hati-hati ya di sana. Hendra, kamu harus benar-benar menjaga Kirana kali ini. Jangan sampai peristiwa seperti di Heaven Bliss terulang lagi."

"Saya berani jamin keselamatan Kirana, ayah tidak perlu kuatir. Siapapun yang berani menyentuh Kirana kali ini akan saya kirim ke rumah sakit selama enam bulan lamanya !" Mahendra menggeram kesal ketika mengingat kejadian di Kafe Heaven Bliss yang menimpa mereka beberapa waktu yang lalu.

Pasar Badung, Denpasar, sore hari.

Dua mobil Ford Ranger hitam metalik menepi di depan bangunan pasar yang baru diresmikan oleh Presiden beberapa bulan yang lalu.

Sore itu tidak terlalu terik seperti siang hari tadi. Angin bertiup sepoi-sepoi membuat sejuk suasana seketika saat Mahendra membukakan pintu mobil untuk Kirana. Ia melepaskan kacamata Rayban Aviator yang digunakannya.

"Kadek, Komang, kalian berdua berjaga-jaga di mobil saja. Kalau ada apa-apa kita bisa segera pergi dari sini. Parkir di depan sini saja kalau perlu." Mahendra menginstruksikan hal tersebut kepada kedua pengemudi yang juga merupakan anak buahnya.

"Baik Gus Hendra." Kedua pria tersebut mengangguk dari dari balik kemudi mobil masing-masing.

"Ayo Gek Kira, kita kelilingi pasar ini. Siapa tahu kamu tertarik dengan barang-barang di sini untuk dibeli." Mahendra mengulurkan tangannya ke Kirana yang langsung disambut dengan genggaman tangan Kirana yang lembut, kemudian bergegas mengikuti jejak langkah Mahendra yang tegas masuk menuju ke dalam pasar.

Sesampainya di dalam pasar Badung, tiba-tiba langkah Mahendra terhenti.

"Dika, kamu langsung saja ke kios-kios tempat orang-orang yang hendak kita tagih. Saya akan menemani Gek Kira untuk berbelanja di sini."

"Tapi Gus Hendra, Tuan Bagus tadi berpesan kepada saya dan yang lainnya untuk selalu menjaga keselamatan Gus Hendra dan Gek Kira di manapun kita berada." Andika terlihat ragu-ragu untuk menuruti keinginan tuan kecilnya itu.

"Ah sudahlah, kamu tidak perlu takut. Ini pasar tempat keramaian, kalaupun ada musuh kita di sini, mereka tidak akan berani macam-macam di tempat umum seperti ini." Mahendra terlihat gusar.

"Lagipula Kadek dan Komang juga sudah berjaga-jaga di mobil. Jadi kalau ada situasi yang mengancam, kita bisa langsung meninggalkan Pasar Badung ini. Sudah kamu pergi sana, hari sudah semakin sore."

"Baik Gus Hendra, kalau ada yang aneh-aneh tolong segera hubungi handphone saya ya."

"Ketut, Wayan, kalian ikuti Gus Hendra dan Gek Kira dari belakang. Jaga keselamatan mereka dengan nyawa kalian."

"Baik Bli Dika." Kedua anak buahnya mengangguk dengan hormat.

"Lihat songket itu Hendra. Bagus-bagus ya. Ibu pasti suka dengan songket warna merah itu." Kirana menunjuk ke arah kios yang menjual kain-kain songket Bali. Ia menarik tangan Mahendra untuk mengajaknya melihat ke dalam kios.

Selagi Kirana sedang asyiknya memilih-milih songket untuk dibeli, tiba-tiba tangannya dipegang oleh lelaki muda tak dikenal berperawakan asing nan rupawan.

"Annisa? Kamu kemana saja selama ini? Aku mencari kamu kemana-mana selama setahun ini, Nisa." Dave membelalakkan matanya, tak percaya melihat sosok tunangannya yang menghilang sejak setahun yang lalu.

Kirana kebingungan dan mencoba melepaskan lengannya yang dipegang oleh lelaki muda ganteng dari luar negeri tersebut.

"Kamu siapa?" Tanya Kirana sambil terus berusaha melepaskan pegangan tangan pria itu.

"Ini aku Dave, tunanganmu. Kenapa kamu sekarang jadi tidak mengenaliku aku lagi, Nisa?" Dave mendadak panik dan semakin mempererat genggaman tangannya.

Mahendra datang dari belakang Kirana dan menepis dengan kasar genggaman tangan Dave di lengan Kirana hingga terlepas. "Siapa orang ini, Gek? Kamu kenal?" Tanya Mahendra dengan curiga.

Kirana menggeleng dengan cepat, namun tanpa suara. Raut mukanya terlihat kebingungan dan ketakutan.

Ketut dan Wayan segera menghampiri Dave dari belakang dan memegangi kedua tangan dan bahu Dave untuk menghalanginya lebih dekat dengan Kirana.

Dave meronta-ronta hendak melepaskan diri, namun apa daya tenaganya dikalahkan dengan dua orang bertubuh besar-besar yang merupakan bodyguard keluarga Tuan Bagus dengan mudahnya.

"Nisa, ini aku Dave, tunanganmu. Nisa, dengarkan aku!" Dave berteriak-teriak sambil berusaha melepaskan diri.

Orang-orang di sekitar kios songket mulai berdatangan. "Ada apa ini... Ada apa?"

Mahendra merengkuh tubuh Kirana yang mungil dalam pelukannya, sambil berbisik dengan lembut di telinga Kirana. "Gek Kira, sebaiknya kita pergi dari sini sekarang juga."

Kirana mengangguk dengan lemah sambil memeluk tubuh Mahendra erat-erat. Ia mengikuti langkah Mahendra setengah berlari meninggalkan tempat itu. Namun sesekali ia masih melihat ke belakang ke arah Dave dengan muka penasaran.

Pendopo Kediaman Keluarga Tuan Bagus

"Ayah dengar ada sedikit keributan terjadi di Pasar Badung tadi sore. Apa yang sebenarnya terjadi Hen?" Tuan Bagus menanyakan anaknya dengan suara tegas namun penuh dengan kekhawatiran.

"Entahlah Yah, titiang juga kurang mengerti. Tiba-tiba ada seorang pemuda asing yang mengaku-ngaku tunangan Gek Kira. Namun Gek Kira tidak mengenali cowok bule tersebut, malah merasa ketakutan sekali." Mahendra mencoba menjelaskan peristiwa sore tadi ke Tuan Bagus.

"Ayah tak usah khawatir, aku rasa orang asing tersebut salah orang. Ia memanggil Gek Kira dengan nama Annisa. Aku yakin dia salah alamat." Mahendra berusaha menenangkan hati ayahnya.

"Baiklah kalau begitu, berarti tidak perlu ada yang dikhawatirkan sekarang." Tuan Bagus menghela napas lega.

"Oh iya Nak, Ayah ingin kamu bantu keluargamu ini untuk pergi berunding dengan partner bisnis kita di Roma minggu depan."

"Roma ? Itali maksud Ayah?" Mahendra tergagap dan hampir tersedak.

"Iya Itali, Gus Hendra. Kenapa? Kok kamu terkaget-kaget begitu?" Tuan Bagus tertawa terbahak-bahak sampai tubuhnya terguncang-guncang.

"Umm... Yah, apakah Ayah yakin akan mengirimku ke Itali untuk tugas sepenting itu?" Mahendra bertanya-tanya dengan penuh tidak percaya diri.

"Tentu saja Ayah yakin 100%. Kamu kan penerus Ayah nanti dalam menjalankan bisnis keluarga kita. Kamu harus yakin dan percaya pada kemampuan dirimu sendiri, Gus." Suara Tuan Bagus terdengar berat namun menenangkan jiwa.

"Baik Ayah, aku janji tidak akan mengecewakanmu." Sahut Mahendra dengan mantap.

"Umm... Yah..." Suara Mahendra terdengar ragu-ragu kembali.

"Ada apa lagi, anakku sayang?" Tanya Tuan Bagus sambil tersenyum menahan tawa melihat anaknya yang tiba-tiba salah tingkah.

"Apakah aku boleh mengajak Gek Kira ikut serta ke Roma ? Aku pikir hal tersebut akan membuat Kirana senang." Mahendra bertanya ke Tuan Bagus sambil memalingkan muka, mencoba menyembunyikan wajahnya yang tiba-tiba bersemu merona.

"Tentu saja boleh dong nak bagus, justru menurut Ayah itu ide yang brilian. Kamu bisa mengajak Gek Kira jalan-jalan di sana, Kirana pasti akan senang sekali dan bisa melupakan kejadian-kejadian yang tidak mengenakan yang terjadi beberapa waktu yang lalu. Ayah rasa Gek Kira juga butuh refreshing." Sahut Tuan Bagus panjang lebar mengiyakan ide anaknya tersebut.

Bandara International Ngurai Rai Bali

Suasana saat itu cukup hiruk pikuk. Terdapat banyak orang lalu lalang di ruang tunggu keberangkatan internasional. Kirana terlihat cukup menikmati keadaan sekitar sambil menyeruput es hazelnut latte kesukaannya. Kafe kecil namun cozy di ruang tunggu bandara tersebut memiliki sofa-sofa yang empuk, membuat pengunjung menjadi betah dan nyaman sembari menunggu pengumuman akan keberangkatan pesawatnya.

Sambil mengenakan kacamata Rayban hitam pekat kesayangannya, Kirana bebas melirikan matanya kesana kemari tanpa ketahuan oleh siapa pun. Ia menopangkan tangan ke dagunya, sambil menyandarkan tubuhnya di sofa, yang makin lama posisi duduknya makin melorot karena perlahan-lahan rasa kantuk datang melanda.

Mahendra yang tiba-tiba datang dari depan dan setengah berjongkok di hadapannya tidak disadarinya. Seraya kebingungan Mahendra melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Kirana namun tidak ada respon dari gadis cantik berkulit putih mulus tersebut. Pelan-pelan Mahendra melepaskan kacamata Rayban yang dikenakan Kirana.

Mahendra tersenyum kecil melihat perempuan rupawan yang dikaguminya itu tertidur pulas di balik kacamata hitamnya. Dengan penuh kelembutan ia mengusap rambut Kirana yang menutupi sebagian dahinya dan timbul rasa isengnya untuk memencet hidung Kirana yang mungil namun mancung tersebut.

Seketika Kirana gelagapan tidak bisa bernafas dengan baik dan terbangun dari tidurnya sejenak. Ia sontak mencari-cari kacamatanya dan mendapati muka Mahendra yang begitu dekat dengan wajahnya. Entah kenapa tiba-tiba jantungnya berdegup kencang. Senyuman Mahendra yang jail membuatnya salah tingkah dan mukanya bersemu merah.

"Uuhh Gus Hendra iseng banget sih jadi orang... " Kirana memalingkan wajahnya ke samping kanan lalu mendorong bahu Mahendra menjauhi tubuhnya.

"Lagi enak-enak tidur kok digangguin sih... " Kirana cemberut sambil memonyongkan bibirnya.

"Haha... Kamu tuh ya, makin cemberut makin aku pengen cubit mulut kamu tuh yang mancung ke depan. Hahaha..." Sahut Mahendra yang sempat mencolek hidung Kirana yang bangir sebelum gadis itu menghindar darinya.

"Sebentar lagi kita boarding, Gek Kira mau ke toilet dulu ga ? Cuci muka dulu Gek, supaya segar kembali." Mahendra menyarankan Kirana untuk menyegarkan diri sebelum naik ke pesawat.

"Boleh, kamu tunggu di sini dulu ya." Sahut Kirana sambil ngeloyor pergi meninggalkan Mahendra.

"Eh... ehh... tunggu dulu Gek... ! Dika tolong jagain tas-tasnya !" Teriak Mahendra sambil berlari mengejar Kirana yang semakin menjauh.

Andika mengangguk pelan kepada Mahendra sambil tertawa kecil melihat kelakuan kedua tuannya tersebut.

Pengumuman keberangkatan pesawat dari Denpasar ke Roma telah terdengar melalui pengeras suara di ruang tunggu Bandara Ngurah Rai. Kirana bergegas keluar dari toilet menuju ke arah Mahendra yang telah menunggunya dengan sabar.

"Ayo Gek Kira, sudah waktunya kita masuk ke pesawat." Mahendra mengajak Kirana berjalan lebih cepat sambil menggandeng tangan Kirana dengan lembut, diikuti dengan langkah-langkah kecil Kirana berusaha mengimbangi langkah kaki Mahendra yang tegap dan cepat.

Tiba-tiba dari arah depan seorang laki-laki tampan berkebangsaan asing mengenakan topi biru bertuliskan BALI berpapasan dengan Kirana dan secara tak sengaja ranselnya yang terbuka lebar tersenggol oleh Kirana dan isinya pun tumpah ruah di lantai ruang tunggu yang putih bersih dan mengkilat tersebut.

"Oopss, Im really sorry Sir, Im sorry..." Kirana mencoba meminta maaf kepada pria tersebut dan berhenti sejenak berencana untuk menolongnya.

"No, it's okay. No worries. You can go ahead and catch your plane, Miss." Jawab lelaki tersebut sambil menunduk membelakangi Mahendra dan Kirana, berjongkok dan memunguti barang-barangnya yang jatuh keluar dari ranselnya.

"Yuk, Gek Kira. Dia sudah bilang tidak apa-apa. Kita sudah harus di dalam pesawat sekarang. Dika pasti sudah cemas menunggu kita." Mahendra melingkarkan tangannya di bahu Kirana mengajak Kirana untuk segera pergi dari tempat itu.

Kirana mengangguk dan menoleh untuk yang terakhir kalinya ke pria asing tersebut untuk memastikan dia baik-baik saja.

Lelaki tersebut tiba-tiba tertegun mendengar percakapan kedua pasangan yang menubruknya tadi. Suara-suara mereka terdengar sangat tidak asing di ingatannya beberapa hari yang lalu. Ia menoleh ke arah pasangan tersebut yang berjalan cepat menjauhinya.

Seketika matanya berpandang-pandangan dengan Kirana yang masih menoleh ke arahnya. Ia pun tercekat dan menyadari sesuatu.

"Annisa ? Nisa ! Nisa !" Teriak pria bule bertopi biru tersebut yang ternyata adalah Dave. Ia segera berlari meninggalkan tas ranselnya yang masih tergeletak di lantai dengan barang-barangnya yang masih berserakan.

Namun ia terlambat mengejar kedua orang tersebut. Mereka sudah memasuki garbarata dan petugas bandara tidak mengijinkan Dave untuk ikut masuk ke pesawat tanpa tiket.

Dave berjalan teramat lunglai. Untuk kedua kalinya ia gagal bertemu dengan gadis yang ia yakini sekali mirip dengan tunangannya yang hilang setahun yang lalu.

"Apa kamu yakin perempuan itu adalah Annisa, Dave? Kamu tidak salah lihat?" Sahut Raka setengah berteriak di telepon, meragukan penglihatan Dave.

"Benar Raka, aku yakin sekali itu Annisa. Memang dia agak sedikit berubah sekarang. Mukanya terlihat lebih segar dan badannya menjadi atletis jika dibandingkan dengan yang dulu. Tapi aku tahu pasti bahwa gadis itu adalah Annisa setelah pertemuan yang kedua ini." Jawab Dave setengah berteriak juga dan sedikit geram karena Raka tidak mempercayai ucapannya.

"Sudah dua kali aku bertemu dengannya bersama dengan lelaki yang sama. Aku tidak tahu siapa pria tersebut. Tolong bantu aku lagi Raka. Bantu aku untuk mendapatkan Annisa kembali." Dave melanjutkan pembicaraannya dengan suara lirih dan gemetar.

"Baik Dave, akan aku coba cari tahu siapa gerangan mereka. Aku harap kali ini kamu benar tentang keberadaan adik kandungku. Sudah setahun ini kita mencoba mencarinya namun tiada hasil. Kamu teruskan dulu saja rencanamu pulang ke Mexico untuk mengunjungi keluargamu, Dave. Nanti kalau ada update selanjutnya pasti aku akan kabari kamu, okay brother?" Sahut Raka di ujung telepon mencoba untuk menenangkan Dave yang hatinya sedang dilanda gundah gulana.

"Ok Raka, aku tidak akan lama di Mexico, dua minggu lagi aku akan kembali ke Bali. Kalau ada apa-apa tolong secepatnya kabari aku. Salam hormatku untuk Pak Tjok dan Bu Sukma ya." Dave kemudian menutup telepon genggamnya dan bergegas menuju ke dalam pesawat yang hendak membawanya pulang ke Mexico.