Ada yang lebih buruk dari sebuah pengkhianatan? Kurasa, tidak. Pengkhianatan adalah titik terendah seseorang dalam hidupnya. Tak ada yang bisa dibanggakan yang tercipta di dalamnya. Tangis, dan luka. Tak dihargai, apalagi dicintai.
Seperti saat ini, ketika pengkhianatan itu berasal dari seseorang yang teramat sangat kucintai. Ketika semua yang keluar dari bibirnya adalah dusta.
Evan.
Dialah sumber dari segalanya. Sumber kebahagiaan, sekaligus kekecewaan. Sumber yang membuat hari-hariku indah, sekaligus kepayahan yang kualami. Tak ada yang lain, hanya dia.
Ketika aku memutuskan untuk mencintai sekali lagi, dialah orangnya. Tapi, aku ceroboh. Aku terlalu terburu-buru memilih dia sebagai teman hidup. Ya, kesalahan terbesar dalam hidupku adalah mencintai orang yang salah untuk kedua kali.
Evan.
.
Aku meremas secarik kertas. Evan berdiri mematung di hadapanku. Di sekitar, benda-benda sudah tidak pada tempatnya. Vas bunga, bantal sofa, dan masih banyak yang lainnya, berserakan begitu saja di lantai.
Itu belum seberapa dibanding hatiku yang telah hancur berkeping-keping, bukan?
"Ars ...."
PRANG!
Aku melemparkan piring dan gelas di hadapanku yang masih berisi sandwich dan teh hangat.
Biarlah. Aku suka ini. Aku suka ketika hatiku yang sedang bergemuruh mendapatkan 'teman'.
"Ars, dengerin aku dulu ...."
"Cukup!"
Napasku terengah. Entah berapa banyak tenaga yang sudah kuhabiskan untuk memporak-porandakan isi apartemen. Aku tak peduli.
Evan merangkul bahuku. Aku mencoba berontak, dan berhasil. Lalu terhempas duduk ke atas tempat tidur.
"Jangan sentuh aku!"
Evan menekuk lutut, memohon di hadapanku. Aku menutup kedua telinga. Sungguh, tak ingin mendengar satu kata pun kedustaan yang ke luar dari mulutnya.
"Ars ...."
"Jangan bilang kamu nggak kenal sama perempuan itu! Aku tau siapa dia! Aku tau!"
Dia Renata, perempuan yang selalu ada disetiap foto yang kulihat di lemari Evan.
Oh, begitu lambat aku menyadari bahwa perempuan itu bukan hanya masa lalunya. Kini, tak sepenuhnya mereka terlepas.
Ponsel Evan bergetar. Aku segera merebutnya. Satu pesan gambar dari Vanesha. Di dalam foto itu, Evan sedang tidur dengan Renata. Hatiku semakin bergemuruh melihatnya.
"Berapa kali?"
Evan mendongakan wajah.
"Berapa kali kamu tidur sama dia?"
"Ars ... aku nggak ...."
"Jawab!"
Tatapan nyalangku berhasil menundukan kepalanya. Napasku tak beraturan sekarang. Terlebih, seluruh tubuh rasanya semakin menggigil tak karuan. Dan perutku, terasa tak nyaman.
Evan menggeleng. "Aku nggak tau, Ars."
"Saking seringnya, begitu?" tanyaku sinis.
Dia bergeming, masih berlutut di hadapanku. Aku tak bisa menembus sorot matanya. Terlalu banyak luka di sana.
"Dulu, Ars."
Dulu, katanya?
"Lalu, ini apa?"
Aku mengangkat secarik kertas kusut yang sedari tadi kukepal. Memahami isinya sekali lagi. Bahwa, usia kehamilan Renata mencapai lima minggu. Persis, seperti tanggal yang tertera di foto yang Vanesha kirimkan.
"Ars, dengerin aku dulu."
"Apa? Apa lagi yang mau kamu jelasin? Semuanya udah jelas!"
"Aku mohon, Ars ...."
"Kamu tidur sama dia? Iya kan?"
Evan meremas rambut, dan mengusap wajahnya dengan kasar. Lalu, dia berdiri. Merebut kertas hasil USG Renata dari tanganku. Kemudian merobeknya.
"Aku nggak tau itu anakku atau bukan!"
Benarkah? Secara tak langsung, dia mengakui bahwa dia pernah tidur dengannya. Sama sekali bukan jawaban yang kuharapkan.
Air mataku tak bisa terbendung lagi. Aku kecewa. Aku terluka. Dia yang kucinta, dengan tega menorehkannya.
Aku beranjak, melangkah maju mendekati Evan. Meraih kerah kemeja, dan meremasnya kuat.
"Kamu jahat, Evan. Kamu, berkhianat. Aku ... kecewa!"
Aku menghempaskannya, dan terduduk di bawah tempat tidur. Menekuk lutut, menutup wajah dengan kedua tangan. Air mataku mengalir deras bersamaan dengan hati yang berdentum-dentum hebat.
"Jangan sentuh aku! Aku jijik sama kamu!" jeritku saat Evan mencoba mengusap rambut.
Evan menatapku nanar. Aku balas menatapnya tajam. Kini, tak ada lagi keindahan saat menatapnya. Hanyalah perasaan kecewa yang terpancar.
Tiba-tiba, kepalaku pusing. Perutku begitu sakit. Aku meremas-remas perutku. Mencoba untuk menahannya tanpa bersuara. Tapi, sepertinya Evan menyadari.
"Ars ... kamu kenapa?"
Perutku semakin sakit. Ini tak terhankan lagi. Aku semakin tak bisa melihat dengan jelas keadaan sekitar.
"Perut aku sakit, Evan ...." lirihku disela rintihan.
Sedikit samar, aku merasakan saat Evan menyentuh wajahku sesaat sebelum semuanya menjadi gelap.
***
Saat aku membuka mata, aku sudah terbaring lemah tak berdaya di sebuah ranjang rumah sakit. Di sisi ruangan, Bang Ash sedang memukuli Evan.
"Brengsek!"
BUG!
"Lu apain ade gue, hah?" Bang Ash mencengkram kuat kerah kemeja Evan.
BUG!
Kepalan tangannya tepat mengenai wajah Evan. Sama sekali tak ada perlawanan darinya.
"Bang ...," lirihku.
Sepertinya mereka belum menyadari kesadaranku.
"Udah gue bilang, jangan pernah sakitin Arsyana!'
BUG!
Kali ini kepalan tangannya meninju perut Evan. Aku harus mengencangkan suaraku untuk melerai Bang Ash dan Evan.
"Bang, stop!" jeritku lebih keras.
Bang Ash menghentikan aksinya. Wajahnya memerah, napasnya memburu. Kepalan tangannya dihempaskan kasar ke dinding, dan mengertakan rahangnya dengan kuat. Dia langsung menghampiriku.
"Ars ... lu baik-baik aja? Ada yang masih sakit, Ars?" tanyanya lembut. Tampak jelas kekhawatiran dari raut wajahnya.
Aku menggeleng, mencoba tersenyum.
"Ars ...."
Aku beralih menatap Evan. Dia sedikit babak belur. Tetap saja, itu tak sepadan dengan apa yang kurasakan.
"Pergi!"
"Ars ... aku khawatir sama kamu."
"Pergi! Aku nggak mau liat kamu!"
Aku ingin berontak. Mencoba duduk, tapi masih terlalu lemah.
"Udah, Ars. Tenang." Bang Ash menenangkanku.
"Pergi, Evan, pergi!"
"Ars, tenang! Lu lagi hamil."
Hamil?
Benarkah?
Kulihat Evan menunduk, lalu melangkah ke luar ruangan.
"Gue mau punya ponakan." Bang Ash tersenyum samar.
Bahkan, Bang Ash pun merasakannya. Ini bukan berita buruk. Juga bukan berita baik. Aku tak merasa sedikit pun untuk berbahagia atas ini. Di atas kekecewaan, aku sama sekali tak mengharapkan kehadirannya.
Entah keberapa kalinya air mataku luruh. Begitu sesak yang kurasakan saat ini. Aku mengusap perut yang tertutup selimut. Kenapa dia harus tumbuh di dalamnya?
"Kata dokter, usianya udah lima minggu."
Lima minggu. Sama dengan usia kehamilan Renata. Bagaimana bisa?
"Lu harus jaga dia baik-baik. Katanya, ini masih trimester pertama. Masih rentan."
Bang Ash menyeka air mataku.
"Dia akan tumbuh sehat kalo lu bahagia, Ars. Mulai sekarang, lu janji nggak boleh nangis lagi. Ya?"
Aku hanya mendengarkan Bang Ash berbicara tentangnya. Tentang dia, yang mulai sekarang akan tumbuh bersamaku. Membentuk dan berkembang dengan sempurna. Tak sepatah kata pun yang ke luar dari mulutku. Hingga aku tertidur.
***
Sesuatu menyentuh tanganku hingga aku terbangun. Evan. Dia sedang duduk di hadapanku. Begitu eratnya dia menggenggam jemariku. Aku melepaskan genggamannya.
"Ngapain?" tanyaku sinis.
"Mami mau ke sini, Ars. Ashkara juga udah tau. Dia lagi makan dulu di kantin."
Wajahnya terlihat kusut. Dia masih mengenakan stelan baju yang tadi pagi. Tampak bekas luka lebam di beberapa bagian wajahnya.
"Mami, kan? Ya udah, kamu ke luar."
"Aku mau jagain kamu di sini."
Aku memalingkan wajah. Muak.
"Aku seneng, ada dia di dalam sini." Evan mengelus perutku.
Aku menepis tangannya. Tapi dia bersikeras meletakkan tangannya lagi di atas perutku, dan mengusapnya. Entah kenapa, ini terasa nyaman.
"Dia pasti seneng, bisa tumbuh di dalam seorang Ibu sehebat kamu."
Dia meraih tanganku, lalu sama-sama meletakkannya di atas perut. Mengusapnya bersamaan.
"Kamu rasain deh. Dia pasti seneng, karena dia sangat disayangi kedua orang tuanya."
"Pergi, Van. Aku nggak mau kamu ada di sini."
"Aku nggak akan pergi. Aku akan selalu jagain kamu."
Semua yang keluar dari mulutnya saat ini adalah, omong kosong. Aku tak bisa mempercayainya lagi. Apalagi memutuskan untuk tetap bersamanya dalam waktu yang panjang. Berat untukku.
"Arsyana ...."
Terdengar jeritan mami saat setelah membuka pintu. Mami langsung menghambur memelukku. Mengusap kedua pipi. Disusul oleh Erika.
"Ars, are you okay?"
"Aku baik-baik aja, Mam."
"Kamu apakan Arsyana, Evan? Kenapa dia bisa masuk rumah sakit kayak gini?" Mami bertanya dengan nada seolah aku ini anaknya, dan Evan menantunya. Aku sedikit terkikik geli dalam hati.
"Arsyana hamil, Mam."
Mereka tersentak kaget. Lalu tersenyum riang. Memberikan selamat padaku satu persatu.
"Mami mau punya cucu lagi," ucap mami sambil mengelus perutku.
Aku hanya tersenyum.
"Jaga baik-baik ya, Ars. Apalagi dalam tiga bulan pertama," sahut Erika.
Aku mengangguk.
Kulihat sedikit kelegaan dalam wajah Evan. Mungkin, dia lega bisa berlama-lama di sini karena ada mami. Menggelikan memang.
"Terus, muka kamu kenapa? Kamu abis berantem sama siapa?" tanya mami sambil menyentuh wajah Evan.
"Nggak apa-apa, Mam. Ini ... biasalah. Tadi ada masalah sedikit," elaknya.
Mami mendelik, menandakan curiga. Sedetik kemudian, dia kembali sibuk menanyaiku tentang kehamilan.
Setelah dirasa sudah cukup lama kami bercakap, mami dan Erika pamit pulang.
"Ars, jaga calon cucu mami baik-baik ya. Kamu harus selalu makan makanan sehat, nggak boleh sembarangan. Rajin cek kandungan ke dokter. Jangan lupa minum vitamin. Kamu juga, Van. Jagain Arsyana. Nggak usah lah kamu berantem-berantem nggak jelas kayak gitu."
"Iya, Mam." Hanya itu yang keluar dari mulutku. Evan hanya mengangguk.
Hingga mami dan Erika pergi ke luar ruangan, aku dan Evan berdiam diri. Terpaku, hanyut dalam pikiran masing-masing. Sampai Bang Ash kembali ke ruangan.
Dia menoleh pada Evan. "Lu pulang aja. Biar gue yang jagain Arsyana."
"Ash, tapi gue berhak di sini. Gue suaminya."
"Pulang, Van. Liat diri kamu. Kacau," sahutku pelan.
"Ars, tapi aku mau di sini ...."
"Van ... pulang!"
Evan menarik napas, mengembuskannya perlahan. "Oke ... kamu baik-baik ya."
Aku tak menjawab, membuang muka hingga Evan memulai langkahnya, dan menghilang di balik pintu.